![]() |
| merdeka.com |
Indonesia
dan produksi minyaknya senantiasa menjadi bahan menarik untuk menjadi sorotan
media dan masyarakat. Hal ini tak lepas dari carut marutnya industri migas
nasional yang menyebabkan produksi menurun drastis. Dalam tempo belasan tahun,
produksi yang semula bisa mencapai 1.6 juta barel per hari melorot tajam ke
angka 800.000an barel per hari. Quo vadis industri migas nasional?
Berita
tidak tercapainya target produksi minyak nasional akhir-akhir ini menjadi hal
lumrah. Tercatat hampir lima tahun terakhir Indonesia selalu gagal mencapai
target produksi yang telah dipatok Anggaran Pendapatan Belanja Negara
Perubahan. Ironis bukan, mengingat dalam APBNP adalah angka revisi dari
produksi minyak nasional yang sebelumnya telah tertulis dalam APBN original.
Tahun
ini, pemerintah kembali gagal mencapai target angka produksi. Dari target yang
dipatok APBNP sebesar 840.000 barel per hari, Indonesia hanya mampu memproduksi
sebesar 826.000 barel per hari. Menurut Kepala Pelaksana Satuan Khusus Kerja
Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Johanes Widjonarko penyebab kegagalan
pencapaian produksi tersebut didominasi oleh lapangan-lapangan tua dengan laju
penurunan (decline rate) mencapai 4,5
persen per tahun.
Decline rate ini menyebabkan Indonesia
kehilangan potensi produksi sebesar 34.500 barel per hari. Hal-hal lainnya
adalah mundurnya sejumlah proyek migas yang menyumbangkan opportunity loss sebesar 1.000 barel per hari, teknis produksi dan
kejadian operasi sebesar 1.000 barel per hari, penyerapan yang tidak optimal
500 miliar kaki kubik per hari dan unplanned
shutdown yang mencapai 1.600 kejadian selama tahun 2013 sehingga
menyumbangkan opportunity loss sebesar 11.000 barel per hari.
Pada
tahun 2012, kejadian serupa juga terjadi. Pemerintah hanya berhasil mencapai
angka 860.000 barel per hari dari target sebesar 830.000 barel per hari.
Sementara produksi gas hanya mencapai 8.196 miliar kaki kubik per hari dari
target sebesar 8,926 miliar kaki kubik.
Itu
saja? Belum. Di tahun 2014, SKK Migas Indonesia lagi-lagi akan gagal mencapai
target yang ditetapkan APBN sebesar 870.000. Dari hasil work program and budget
yang didiskusikan antara SKK Migas dan seluruh Kontraktor Kontrak Kerja Sama
(KKKS), produksi migas yang realistis bagi Indonesia pada tahun depan hanyalah
804.000 barel per hari…….jauh dari target dari APBN.
Salah satu penyebabnya adalah ditekannya cost
recovery dalam APBN 2014 sehingga menyebabkan KKKS tidak dapat melakukan
eksploitasi secara bebas.
Menteri
Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik sendiri mengakui bahwa kegiatan
eksplorasi migas di tanah air masih jauh dari cukup. Untuk itu pemerintah akan
menggiatkan kegiatan eksplorasi agar dapat merasakan peningkatan produksi dalam
10-15 tahun mendatang. Wacik juga menuturkan bahwa pada 2013 penerimaan hulu
migas mencapai $31,315 miliar, lebih rendah dibandingkan target sebesar $31,7
miliar. Sementara realisasi penerimaan hulu pada tahun 2012 mencapai $35,082
miliar.
Peningkatan
eksplorasi memang satu-satunya cara yang diambil untuk meningkatkan produksi.
Namun, apakah pemerintah lupa bahwa keberhasilan eksplorasi itu secara tidak
langsung tak lepas dari insentif dan iklim investasi di negara ini. Jadi tidak
usah jauh-jauh melihat keberhasilan eksplorasi dari cadangan migasnya dulu.
Baru-baru
ini dari tender yang dilakukan pemerintah terlihat jelas bahwa minat investor
migas mulai menurun drastis. Pada penawaran langsung tahap I
tahun 2013, dari 16 blok migas yang ditawarkan, namun hanya enam yang diminati
investor dan lima yang dimenangkan. Padahal jika dilihat dari segi potensi
cadangan blok migas yang ditawarkan, blok-blok migas tersebut memiliki cadangan
yang menarik dan menjanjikan.
Sejumlah pihak menilai kondisi ini ditengarai
sebagai akibat akumulasi permasalahan di hulu migas, baik terkait sistem
pengelolaan yang memakai pola pemerintah – swasta maupun masalah nonteknis
seperti terkait ketidakpastian aturan main, koordinasi pemerintah lemah,
kendala pembebasan lahan, dan kendala sosial.
Tak hanya itu lambannya pemerintah dalam
mengambil keputusan strategis dalam industri migas, turut memberikan
ketidaknyamanan bagi investor. Lambannya pemerintah terlihat dari sejumlah
kasus perpanjangan blok yang nasibnya terkatung-katung hingga kini. Sebut saja
Blok Mahakam yang dioperatori Total dan Inpex dan juga Blok Masela yang
dikelola Inpex. Total telah menyatakan komitmennya untuk menginjeksikan
investasi sebesar $7,3 miliar hingga 2017 jika pemerintah memperpanjang blok
tersebut.
Proposal perpanjangan Blok Mahakam sendiri
sudah diajukan Total sejak 2008, namun hingga kini belum ada keputusan.
Sementara pemerintah harus berkejaran dengan waktu agar produksi di Mahakam
tidak menurun drastic akibat ketidakjelasan ini. Apalagi Mahakam adalah pemasok
gas terbesar, yaitu sebesar 80 persen bagi kilang LNG Bontang di Kalimantan
Timur. Kilang itu sendiri sebagian besar diperuntukan ekspor ke negara-negara
Asia, seperti Jepang, Taiwan dan Korea Selatan. Jika saja produksi Mahakam
turun, maka sudah pasti penerimaan negara juga akan anjlok.
Kini saatnya pemerintah serius menggarap
kebijakan migas dan memberikan kepastian bagi investor. Bagaimanapun juga
Indonesia masih membutuhkan investor asing mengingat industri migas adalah
industri yang padat karya, padat modal dan padat teknologi. Apalagi cadangan
migas yang tersisa saat ini hanya tinggal di wilayah laut dalam yang lebih
membutuhkan investasi besar.




