Friday, 27 December 2013

Quo Vadis Industri Migas Indonesia?

merdeka.com
Indonesia dan produksi minyaknya senantiasa menjadi bahan menarik untuk menjadi sorotan media dan masyarakat. Hal ini tak lepas dari carut marutnya industri migas nasional yang menyebabkan produksi menurun drastis. Dalam tempo belasan tahun, produksi yang semula bisa mencapai 1.6 juta barel per hari melorot tajam ke angka 800.000an barel per hari. Quo vadis industri migas nasional?

Berita tidak tercapainya target produksi minyak nasional akhir-akhir ini menjadi hal lumrah. Tercatat hampir lima tahun terakhir Indonesia selalu gagal mencapai target produksi yang telah dipatok Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan. Ironis bukan, mengingat dalam APBNP adalah angka revisi dari produksi minyak nasional yang sebelumnya telah tertulis dalam APBN original.

Tahun ini, pemerintah kembali gagal mencapai target angka produksi. Dari target yang dipatok APBNP sebesar 840.000 barel per hari, Indonesia hanya mampu memproduksi sebesar 826.000 barel per hari. Menurut Kepala Pelaksana Satuan Khusus Kerja Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Johanes Widjonarko penyebab kegagalan pencapaian produksi tersebut didominasi oleh lapangan-lapangan tua dengan laju penurunan (decline rate) mencapai 4,5 persen per tahun.

Decline rate ini menyebabkan Indonesia kehilangan potensi produksi sebesar 34.500 barel per hari. Hal-hal lainnya adalah mundurnya sejumlah proyek migas yang menyumbangkan opportunity loss sebesar 1.000 barel per hari, teknis produksi dan kejadian operasi sebesar 1.000 barel per hari, penyerapan yang tidak optimal 500 miliar kaki kubik per hari dan unplanned shutdown yang mencapai 1.600 kejadian selama tahun 2013 sehingga menyumbangkan opportunity loss sebesar 11.000 barel per hari.

Pada tahun 2012, kejadian serupa juga terjadi. Pemerintah hanya berhasil mencapai angka 860.000 barel per hari dari target sebesar 830.000 barel per hari. Sementara produksi gas hanya mencapai 8.196 miliar kaki kubik per hari dari target sebesar 8,926 miliar kaki kubik.

Itu saja? Belum. Di tahun 2014, SKK Migas Indonesia lagi-lagi akan gagal mencapai target yang ditetapkan APBN sebesar 870.000. Dari hasil work program and budget yang didiskusikan antara SKK Migas dan seluruh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), produksi migas yang realistis bagi Indonesia pada tahun depan hanyalah 804.000 barel per hari…….jauh dari target dari APBN. Salah satu penyebabnya adalah ditekannya cost recovery dalam APBN 2014 sehingga menyebabkan KKKS tidak dapat melakukan eksploitasi secara bebas.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik sendiri mengakui bahwa kegiatan eksplorasi migas di tanah air masih jauh dari cukup. Untuk itu pemerintah akan menggiatkan kegiatan eksplorasi agar dapat merasakan peningkatan produksi dalam 10-15 tahun mendatang. Wacik juga menuturkan bahwa pada 2013 penerimaan hulu migas mencapai $31,315 miliar, lebih rendah dibandingkan target sebesar $31,7 miliar. Sementara realisasi penerimaan hulu pada tahun 2012 mencapai $35,082 miliar.

Peningkatan eksplorasi memang satu-satunya cara yang diambil untuk meningkatkan produksi. Namun, apakah pemerintah lupa bahwa keberhasilan eksplorasi itu secara tidak langsung tak lepas dari insentif dan iklim investasi di negara ini. Jadi tidak usah jauh-jauh melihat keberhasilan eksplorasi dari cadangan migasnya dulu.

Baru-baru ini dari tender yang dilakukan pemerintah terlihat jelas bahwa minat investor migas mulai menurun drastis. Pada penawaran langsung tahap I tahun 2013, dari 16 blok migas yang ditawarkan, namun hanya enam yang diminati investor dan lima yang dimenangkan. Padahal jika dilihat dari segi potensi cadangan blok migas yang ditawarkan, blok-blok migas tersebut memiliki cadangan yang menarik dan menjanjikan.

Sejumlah pihak menilai kondisi ini ditengarai sebagai akibat akumulasi permasalahan di hulu migas, baik terkait sistem pengelolaan yang memakai pola pemerintah – swasta maupun masalah nonteknis seperti terkait ketidakpastian aturan main, koordinasi pemerintah lemah, kendala pembebasan lahan, dan kendala sosial.

Tak hanya itu lambannya pemerintah dalam mengambil keputusan strategis dalam industri migas, turut memberikan ketidaknyamanan bagi investor. Lambannya pemerintah terlihat dari sejumlah kasus perpanjangan blok yang nasibnya terkatung-katung hingga kini. Sebut saja Blok Mahakam yang dioperatori Total dan Inpex dan juga Blok Masela yang dikelola Inpex. Total telah menyatakan komitmennya untuk menginjeksikan investasi sebesar $7,3 miliar hingga 2017 jika pemerintah memperpanjang blok tersebut.

Proposal perpanjangan Blok Mahakam sendiri sudah diajukan Total sejak 2008, namun hingga kini belum ada keputusan. Sementara pemerintah harus berkejaran dengan waktu agar produksi di Mahakam tidak menurun drastic akibat ketidakjelasan ini. Apalagi Mahakam adalah pemasok gas terbesar, yaitu sebesar 80 persen bagi kilang LNG Bontang di Kalimantan Timur. Kilang itu sendiri sebagian besar diperuntukan ekspor ke negara-negara Asia, seperti Jepang, Taiwan dan Korea Selatan. Jika saja produksi Mahakam turun, maka sudah pasti penerimaan negara juga akan anjlok.


Kini saatnya pemerintah serius menggarap kebijakan migas dan memberikan kepastian bagi investor. Bagaimanapun juga Indonesia masih membutuhkan investor asing mengingat industri migas adalah industri yang padat karya, padat modal dan padat teknologi. Apalagi cadangan migas yang tersisa saat ini hanya tinggal di wilayah laut dalam yang lebih membutuhkan investasi besar.

Wednesday, 18 December 2013

Mengungkap Dominasi Ani Yudhoyono Dalam Pengambilan Keputusan Strategis Indonesia

kompas.com
Ani Yudhoyono kembali menghebohkan sejumlah media nasional dan internasional. Bukan karena hobby fotografi atau kicauannya di twitter, melainkan berkaitan dengan dijadikannya sebagai sasaran penyadapan Australia. Peran ibu negara Republik Indonesia tersebut dinilai sangat dominan dalam pengambilan keputusan strategis.

Isu penyadapan para kepala negara yang terungkap oleh mantan karyawan Central Intelligence Agency (CIA) yang menjadi kontraktor untuk National Security Agency (NSA),  Edward Snowden baru-baru belum juga usai. Setidaknya bagi Indonesia. Baru-baru ini media di Australia bernama The Australian melansir alasan disadapnya ibu negara Republik Indonesia Kristiani Herawati atau dikenal sebagai Ani Yudhoyono oleh Defense Signal Directorate (Direktorat Pertahanan Signal Australia yang kini dikenal sebagai Australian Signal Directorate) yang menyitir bahwa Ani Yudhoyono adalah salah satu orang yang turut andil, bahkan dominan, dalam mempengaruhi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam mengambil keputusan.

Sepak terjang Ani Yudhoyono di dunia politik memang tidak asing lagi. Ia adalah putri Sarwo Edhie Wibowo, seorang letnan jenderal yang mengepalai pasukan khusus Indonesia saat penumpasan gerakan komunis tahun 1960-an. Jadi tidak heran bahwa sejak awal terjun ke kancah dunia politik, karis SBY sejak awal telah disokong penuh oleh sang istri, terutama ketika masa-masa kampanye untuk menjadi orang nomer satu di republik ini. Inteligen sendiri sangat sulit untuk mengungkapkan isi pikiran SBY karena sosoknya yang penyendiri dan cenderung introvert.

Target penyadapan ibu Ani tersebut dilakukan untuk mempelajari strategi dinamika politik di Jakarta. Tidak hanya itu, keamanan nasional juga menjadi faktor penyadapan dilakukan.  Peran Bu Ani, masih menurut Wikileaks, memang sangat luar biasa. Ia adalah satu-satunya orang yang mendapatkan kepercayaan penuh dari SBY dalam mengambil setiap keputusan, terutama perjalanan menuju RI-1 tahap dua pada tahun 2009. Saking dominannya peran ibu negara dalam setiap mengambil keputusan, Ani Yudhoyono ditengarai telah menyebabkan sejumlah tokoh penasihat kunci menjadi tidak diperlukan lagi.
Maka tak heran, selama 2009, badan-badan intelijen Australia berusaha mengungkap peranan Ani, khususnya untuk memastikan posisi keluarganya setelah batas maksimal dua periode kepresidenan yang disandang SBY berakhir pada 2014 mendatang.
Wikileaks berdasar dokumen tertanggal 17 Oktober 2007 tersebut juga ungkap kedekatan Ketua Umum Partai Gokar Aburizal Bakie dan sang ibu negara. Ical yang notabene adalah Mantan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, pernah melakukan pendekatan intensif dengan Ibu Negara Ani Yudhoyono pada tahun 2005 lalu, terkait penangan lumpur Lapindo.

Langkah ini dia lakukan setelah di-reshuffle dari jabatannya sebagai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian.

Dalam kawat diplomatik itu disebutkan juga bahwa kedekatan Aburizal BAkrie dengan ibu Negara sempat membuat hubungan antara Wakil Presiden Jusuf Kalla dengan Ani kritis. apalagi JK berseloroh soal agama yang dianut Ibu Ani saat pertarungan Pilpres 2009. Kedubes AS mengidentifikasi dia sebagai pengaruh utama di balik keputusan SBY menyingkirkan Wakil Presiden Jusuf Kalla dari calon wakil presiden pada Pemilu 2009.

Selain itu, ternyata Ani juga memiliki mimpi-mimpi lain. Ia berambisi untuk mejadikan anak tertuanya lulusan Harvard University, Agus Harimurti Yudhoyono, sebagai presiden yang dinilai juga sebagai bentuk dari pembangunan dinasti keluarga.

Selain itu, memang agen intelijen Australia ingin mempelajari hubungan antara istana negara dengan negara-negara kelompok Islam terbesar, dimana terdapat para kelompok Islam ekstrim. 

Menanggapi hal tersebut mantan KSAD yang juga merupakan adik kandung Ani Yudhoyono, Jendral (Purn) Pramono Edhie Wibowo mengatakan bahwa kakaknya  tak pernah mengganggu urusan negara. Keberadaan Ani hanya mendampingi dan menguatkan kepemimpinan SBY.

Juru Bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha menampik kabar yang sama. Menurutnya isu tersebut tidak mendasar dan tidak diketahui siapa sumbernya sehingga tidak dapat dipercaya.
  

Thursday, 12 December 2013

Mengkritisi Penerapan Pajak Bumi dan Bangunan dalam Eksplorasi Blok Migas di Indonesia


Bicara mengenai permasalahan di kegiatan hulu industri minyak dan gas di Indonesia tak akan ada habisnya. Belum selesai dengan urusan insentif yang dianggap kurang memadai, lagi-lagi investor migas digegerkan oleh penerapan Pajak Bumi dan Bangunan dalam kegiatan eksplorasi. Akibat adanya kebijakan baru tersebut, biaya yang dikeluarkan investor jadi berlipat ganda, padahal pajak itu diterapkan di suatu daerah yang belum menghasilkan apapun sehingga kebijakan tersebut dianggap tidak masuk akal.

Satuan Kerja Khusus Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) sudah membicarakan masalah ini dengan pemerintah. Kebijakan ini dianggap kontraproduktif dengan keinginan upaya pemerintah untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif dan juga meningkatkan produksi migas nasional. SKK Migas memperkirakan setidaknya terdapat 19 sumur eksplorasi migas di Indonesia yang berpotensi untuk tidak dikerjakan akibat adanya kebijakan tersebut.  Akibatnya tentu akan berpengaruh pada produksi migas nasional di masa mendatang. Jika tidak segera dianulir dikhawatirkan investor akan segera angkat koper Indonesia dan mengalihkan tujuan investasinya ke negara lainnya, seperti Brunei Darussalam, Vietnam dan Malaysia.

PBB tersebut diterapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 79 tahun 2010. Peraturan tersebut menyatakan bahwa seluruh perusahaan migas harus membayar PBB dengan memperhitungkan seluruh luas wilayah kerja lepas pantai walaupun belum dimanfaatkan seluruhnya. Direktorat Jenderal Pajak mengeluarkan tagihan PBB sejumlah Rp 2,6 triliun kapada 15 perusahaan hulu migas yang mengoperasikan 20 blok migas lepas pantai untuk tahun buku 2012 dan 2013. Besaran PBB yang dikenakan pada tiap blok mencapai Rp 30 hingga Rp 190 miliar. Sontak hal tersebut membuat pelaku usaha migas terkejut.

Untuk itu lah Indonesia Petroleum Association (IPA) juga secara tegas meminta pemerintah meninjau kembali kebijakan fiscal dalam pengenaan PBB tersebut. Apalagi menurut IPA, sebelum Peraturan Pemerintah No 79 tahun 2010, pajak yang dimaksud ditanggung pemerintah bukan investor. Investor bersedia membayar PBB hanya untuk blok yang telah berproduksi karena sudah pasti memberikan keuntungan bagi investor.

Kegiatan eksplorasi adalah kegiatan awal dalam rangkaian kegiatan produksi migas yang sangat panjang. Kegiatan eksplorasi saja setidaknya membutuhkan waktu minimal tiga tahun. Resiko yang dihadapi investor dalam melakukan eksplorasi juga sangat tinggi, apalagi pemerintah tidak akan mengganti seluruh  biaya yang dikeluarkan jika memang blok tersebut tidak dapat diproduksikan secara komersial. Hal tersebut memang sesuai dengan ketentuan cost recovery yang diterapkan di Indonesia.

Menurut catatan IPA, setidaknya terdapat 12 perusahaan migas yang tidak berhasil menemukan cadangan migas secara ekonomis di blok-blok yang terletak di lepas pantai (offshore) dalam kurun waktu 2009-2012. Padahal mereka telah menghabiskan sekitar US$ 2 miliar dalam melakukan kegiatan eksplorasi tersebut. Jika resiko yang ditanggung investor sudah sedemikian berat, bagaimana jika diterapkan lagi PBB dalam kegiatan eksplorasi?

IPA juga mengingatkan bahwa reserve replacement ratio minyak Indonesia hanya mencapai 52 persen pada tahun 2012. Artinya, cadangan minyak baru yang ditemukan pada tahun lalu itu hanya 52 persen dari produksi minyak nasional. Sementara realisasi pengeboran sumur eksplorasi hanya 50 persen dari target yang direncanakan. Jika ini terus berlangsung, maka sudah pasti SOS bagi industri migas nasional dan produksi migas Indonesia di masa mendatang. Padahal pemerintah telah mencanangkan target produksi minyak di angka 1 juta barrel per hari mulai 2014 hingga 2025. Namun kenyataannya, target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar 840.000 barel per hari sulit dicapai. Bahkan dalam beberapa tahun belakangan, target produksi yang telah disepakati pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hanya menjadi target angka semata tapi sulit direalisasikan.

Masalah PBB ini bukanlah satu-satunya masalah yang dihadapi industri migas. Sejumlah keluhan telah disampaikan para investor sebelumya, namun tidak ada penyelesaian apapun dari pemerintah. Masalah-masalah itu antara lain kepastian perpanjangan kontrak kerja sama, dimana pemerintah dianggap lama untuk memberikan kepastian bagi investor untuk membuat perencanaan jangka panjang. Juga masalah cost recovery yang dipatok dalam APBN. Adanya batasan cost recovery ini dianggap membatasi investasi investor. Itu saja? Belum. Masalah split (bagi hasil) dianggap harus ditinjau kembali. Porsi 85:15 untuk bagi hasil minyak dan 70:30 untuk gas dianggap kurang menarik saat ini.

Tidak bisa tidak, pemerintah harus mendengar masukan investor jika ingin produksi migas nasional jeblok di masa mendatang. Bukankah Indonesia ingin mengurangi ketergantungan impor? Sebelum pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono selesai pada tahun 2014, sudah seharusnya sejumlah PR itu diselesaikan untuk memberi kepastian bagi kelangsungan industri migas nasional di masa mendatang.

Wednesday, 4 December 2013

Menelaah Langkah Ambisius Pertamina dalam Mengakuisisi Blok Migas

tempo.co
Akhir-akhir ini berita ekspansi blok minyak dan gas Pertamina di mancanegara begitu mendominasi. Bahkan beberapa diantara blok tersebut terletak di daerah konflik, seperti Algeria dan Irak. Langkah berani Pertamina? Tapi apakah perusahaan plat merah ini cukup modal dan teknologi untuk mengembangkan seluruh blok tersebut?

Sebagai Badan Usaha Milik Negara, sudah selayaknya harapan pemerintah dan masyakat terhadap Pertamina sangat besar. Entah dari sisi produksi, prestasi ataupun performa. Tidak usah jauh-jauh membayangkan Pertamina dapat bersaing dengan perusahaan-perusahaan minyak besar, seperti Total, Chevron, Exxon ataupun BP. Rakyat hanya berharap setidaknya keberadaan Pertamina dapat menyaingi BUMN asal Malaysia asal Petronas. Apalagi seperti kita ketahui, Petronas itu ibarat murid bagi Pertamina. Petronas banyak mengadopsi kontrak kerja sama (production sharing contract) dari Indonesia. Hitungannya, Petronas masih jauh lebih muda dibanding Pertamina, namun siapa sangka dalam beberapa tahun setelahnya sang murid berhasil mengalahkan sang guru. Sementara sang guru terseok-seok mengejar ketertinggalannya terhadap sang murid.

Sebagai perbandingan produksi migas Pertamina pada 2012 mencapai 461.640 boepd (barrels of oil equivalent per day/barel setara minyak per hari), naik tipis dibanding pencapaian 2011 sebesar 457.640 boepd. Produksi migas ini sudah dianggap lebih tinggi di tengah tren penurunan produksi migas nasional.

Peningkatan produksi tersebut juga diikuti dengan penambahan cadangan migas yang mencapai 453,37 juta barel setara minyak selama 2012. Sementara pada 2013, Pertamina (Persero) menargetkan produksi minyak mencapai 243.920 barel per hari atau naik 24,4 persen dibandingkan 2012 sebesar 196.060 barel per hari.

Pertamina juga mencatatkan laba bersih sepanjang 2012 sebesar Rp 25,89 triliun, naik dibanding pencapaian 2011 sebesar Rp 20,47 triliun. Kenaikan laba ini merupakan tertinggi sepanjang sejarah Pertamina berdiri. Laba tersebut juga meningkatkan EBITDA perseroan sebesar 8,32 persen dari 52,45 triliun menjadi Rp 56,82 triliun.

Lalu bagaimana dengan Petronas? Pada tahun 2012, Petronas berhasil memproduksikan 2,01 juta barrel setara minyak, turun dibandingkan 2,07 juta barrel setara minyak di tahun 2011. Baru-baru ini Pertamina mengambilalih 10% partisipasi saham ExxonMobil Iraq Limited di West Qurna I, Irak. Kemudian mengakuisisi asset ConocoPhillips di Algeria dan bersama perusahaan Thailand PTTEP, Pertamina turut mengambilalih asset perusahaan asal Amerika, Hess, di Indonesia. Hat trick Pertamina ini patut diacungi jempol meski sekelumit pertanyaan masih membayangi aksi korporasi ini.

Tak hanya beringas di mancanegara, Pertamina juga mengincar sejumlah blok-blok migas di dalam negeri. Sebut saja Blok Masela yang dioperatori perusahaan Jepang, Inpex, proyek deepwater di Selat Makassar milik Chevron dan juga tidak ketinggalan Blok Mahakam yang akan habis kontraknya pada 2017. Berbeda dengan Deepwater dan Masela dimana Pertamina hanya menginginkan 10 persen saham, di Mahakam perusahaan ini menginginkan 100 persen kepemilikan pasca kontrak selesai. Mampukah Pertamina menanganinya sendiri?

Di blok-blok yang baru diakuisisi tersebut, Pertamina tidak menjadi operator tunggal. Masih ada sejumlah perusahaan yang menjadi partnernya sehingga kesinambungan produksi dan pengelolaan blok dapat terjaga. Pun seandainya Pertamina mendapatkan participating interest di Masela dan Deepwater. Di sana masih ada Inpex, Shell dan juga Chevron. Lalu bagaimana di Mahakam?

Pertamina ingin menjadi operator tunggal dengan 100 persen saham di Mahakam. Artinya Pertamina akan bekerja sendirian dengan menggunakan sumber daya manusia, teknologi dan modalnya. Tapi Pertamina lupa, blok yang letaknya di lepas pantai ini, memiliki karakteristik sendiri. Tidak semua perusahaan bisa menyedot gas dari dalam perut Mahakam. Keberhasilan Pertamina dalam mengakuisisi blok West Madura Offshore and Offshore North West Java tidak bisa dijadikan “jurisprudensi” atau justifikasi bahwa perusahaan ini akan mampu mengelola Mahakam.

Investasi yang dibutuhkan untuk menahan laju penurunan Blok Mahakam sangatlah tinggi, yaitu sekitar $2.5 miliar dolar. Capital expenditure ini digunakan untuk menahan laju penurunan yang bisa mencapai sekitar 50 persen per tahun.  Pada tahun ini Mahakam diperkirakan memproduksi 1,7 miliar kaki kubik gas per hari. Angka ini jauh menurun dibandingkan produksi-produksi tahun sebelumnya yang sempat menyentuh angka 2,6 miliar kaki kubik per hari.

Dibutuhkan teknologi dan Sumber Daya Manusia yang berpengalaman untuk dapat menahan laju penurunan tersebut. Selain itu dibutuhkan dana yang juga tidak sedikit. Mungkin saja Pertamina sanggup berinvestasi di Mahakam, namun tentunya sumber dana perusahaan itu hanya akan tersedot ke blok itu saja. Ruang gerak Pertamina untuk melakukan ekspansi-ekspansi bisnis di luar negeri akan terkendala. Pengembangan Blok East Natuna juga bisa jadi tidak lancar. Dengan demikian rencana Pertamina untuk menjadi World Class Energy Company di tahun 2025 akan terganggu.

Total dan Inpex telah mengajukan proposal ke pemerintah mengenai scenario perpanjangan blok. Disebutkan, keduanya berkomitmen untuk menanamkan  investasi sebesar $7,3 miliar hingga 2017. Investasi tersebut sangat vital demi mempertahankan level produksi agar tidak melorot tajam. Diperkirakan laju produksi Mahakam mencapai 1,1 miliar kaki kubik per hari pada tahun 2017 dengan berbagai kegiatan pengembangan yang membutuhkan dana besar. Namun tanpa aktivitas pengembangan lapangan apa pun, maka produksi gas Mahakam akan jeblok ke level 800.000 kaki kubik per hari.


Total dan Inpex juga menyodorkan scenario masa transisi pada lima tahun pertama pasca 2017, dimana Pertamina dapat masuk ke dalam konsorsium ini. Total pun berjanji untuk mengajarkan alih teknologi kepada Pertamina. Agaknya proposal ini adalah bentuk yang ideal dalam menjawab kisruh kasus Mahakam.