Wednesday, 29 January 2014

Kasus Suap SKK Migas Seret Nama Dirut Pertamina Karen Agustiawan

tribunnews.com
Kasus suap yang melibatkan mantan Kepala Satuan Kerja Khusus Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Rudi Rubiandini selalu penuh kejutan. Sejumlah nama-nama baru terus bermunculan. Setelah sebelumnya mantan Sekretaris Jenderal Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Waryono Karno ikut tersebut, kini nama Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Karen Agustiawan ikut terseret.

Pada awal pekan ini, Karen diperiksa selama lebih kurang 11 jam oleh tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai saksi bagi Waryono Karno yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tersebut. Waryono ditengarai menerima uang sebesar US$ 150.000 dari Rudi Rubiandini sedangkan KPK menemukan uang sebesar US$ 200.000 di ruang kantornya, sehari setelah penangkapan Rudi.

Nama Karen ikut terseret dalam kasus suap SKK Migas ini karena adanya rekaman pembicaraan telepon antara dirinya dengan Rudi Rubiandini terkait dugaan permintaan dana untuk Tunjangan Hari Raya (THR) anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sebelumnya pada tahun lalu Karen memang sempat mengalami beberapa kali pemeriksaan KPK terkait kasus suap ini.

Masih soal pemeriksaan awal pekan ini, menurut penuturan pengacara Karen, Rudy Alfonso, Karen Agustiawan mengaku sempat diancam Rudi karena menolak untuk menyumbang dana THR Komisi VII DPR. Karen mengatakan, Rudi mengancam melaporkannya ke seorang menteri. Namun, Karen tidak menyebut nama menteri yang dimaksudnya tersebut.

Menurut pengacaranya, Karen sudah berjanji bahwa Pertamina tidak akan dijadikan sapi perah oleh siapa pun, termasuk partai penguasa ataupun pemerintah.
Sementara pengacara Rudi, Rusdi A Bakkar mengakui, memang ada pembicaraan kliennya dengan Karen Agustiawan, namun hanya untuk menyampaikan apa yang diminta Waryono Karyo saja. Rusdi mengakui kliennya terkesan diperalat oleh Waryono untuk menghubungi Karen.
Rusdi mengatakan, kliennya telah memberikan US$ 150.000 sebagai uang pembuka atau pemberian awal kepada Waryono Karno. Namun, Waryono kembali meminta untuk uang penutup dan Rudi menolaknya. Oleh karena itu, Waryono meminta Rudi untuk menghubungi Karen. Namun, Rusdi mengaku kliennya sekali lagi hanya meneruskan permintaan Waryono untuk memberikan duit yang diistilahkan 'Tutup Kendang' itu.
Adapun uang itu akan dipergunakan untuk pembukaan dan penutupan rapat antara Kementerian ESDM dengan DPR.



Ihwal THR untuk anggota DPR ini pertama kali terungkap dalam dokumen BAP Rudi yang mengatakan bahwa Ketua Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Demokrat Sutan Bhatoegana pernah meminta THR kepadanya sekitar awal bulan puasa 2013 untuk anggota Komisi VII DPR.
Rudi mengaku memberikan THR kepada Komisi VII DPR melalui anggota Komisi VII Tri Yulianto. Dugaan aliran dana ke DPR ini diakui Rudi saat bersaksi dalam persidangan beberapa waktu lalu. Sementara itu, baik Sutan maupun Tri membantah telah meminta atau menerima uang THR dari Rudi.
Melihat alur cerita kasus suap ini, masyarakat seperti disuguhi drama ala Hollywood dimana semua unsur pengambil kebijakan dan pelaku bisnis ikut berperan. Alangkah mengerikannya sektor minyak dan gas bumi nasional kita!
Dulu Pertamina memang dikenal sebagai sapi perah pemerintah. Dimana selain berfungsi sebagai juragan blok-blok migas di Indonesia, Pertamina juga dikenal sebagai ladang korupsi. Maklum saja, sebagai Badan Usaha Milik Negara, perusahaan yang dulu berlogo kuda laut itu selalu memiliki keistimewaan (privileged) sehingga potensi untuk melakukan tindak pidana korupsi sangat lebar. Misalnya dalam melakukan impor Bahan Bakar Minyak (BBM) dan minyak mentah yang selama ini dilakukan melalui anak perusahaannya yang berkedudukan di Singapura, Petral. Selain potensi penyalahgunaan dalam proses ekspor-impor tersebut, adapula dugaan Pertamina sebagai BUMN, selalu menutup diri soal pengelolaan dana subsidi BBM. Pertamina juga diduga mark up dalam menyewa kapal tanker untuk ekspor dan impor minyak. Masih banyak kasus lain yang diperkirakan berpotensi untuk korupsi.
Terkait soal Petral, isu korupsinya yang terus santer tersebut akhirnya sempat membuat Menteri Negara Badan Umum Milik Negara (Menneg BUMN) Dahlan Iskan melemparkan wacana untuk membubarkan entitas bisnis tersebut pada tahun 2011. Bahkan Ketua DPR Marzuki Alie meminta agar KPK membongkar kasus dugaan korupsi yang dilakukan PT Petral. Toh nyatanya wacana tersebut dibantah habis-habisan dan akhirnya hilang ditelan waktu.

Pertamina sendiri saat ini tengah menegakkan good corporate governance untuk menghindari terpaan isu-isu korupsi. Memang kita tidak tahu seberapa efektif hal tersebut berlaku efektif dan apakah benar bisa memberantas korupsi, namun setidaknya sudah ada langkah perbaikan yang dilakukan Pertamina.

Monday, 20 January 2014

Dahlan Iskan, Pertamina dan Mahakam

www.merdeka.com
Bicara mengenai sosok kontroversial Dahlan Iskan memang tak bisa lepas dari Pertamina dan Blok Mahakam. Kaitan ketiganya sangat kuat. Pasalnya Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di setiap kesempatan tanpa basa basi selalu menyatakan dukungannya kepada Pertamina untuk mengambilalih Blok Mahakam setelah kontrak kerjasamanya usai pada tahun 2017.
Dahlan mengaku pihaknya tak ingin Mahakam dikelola dan jatuh ke tangan pihak asing. Dengan demikian Dahlan secara intensif melakukan pertemuan dengan Pertamina untuk membahas kemampuan perusahaan plat merah itu untuk mengelola Mahakam. Dan dari hasil diskusi tersebut, Dahlan memastikan bahwa Pertamina mampu secara profesional dengan skema pendanaan yang ada.
Tak lupa Dahlan juga menambahkan bahwa, “Bicara Blok Mahakam ini adalah bicara soal hak, tidak ada hubungannya dengan peninjauan kontrak. Ibarat kontrakan rumah, rumahnya ini sudah selesai dikontrak, sehingga terserah yang punya rumah mau diakhiri atau tidak." (Jawa Pos, 15 januari 2014).
Sekilas jika dilihat apa yang dikatakan Dahlan memang menarik. Tampak ia sangat nasionalis dan terkesan anti asing. Tapi apakah segala sesuatu yang bernuansa asing itu buruk? Dan apakah keberpihakan Dahlan terhadap Pertamina dalam pengelolaan Mahakam itu dilakukan berdasarkan data empiris?
Tentu masyarakat paham bahwa Dahlan adalah salah satu peserta konvensi Calon Presiden dari Partai Demokrat yang akan menjajal peruntungannya untuk menjadi orang nomor satu di republik ini. Banyak tingkah polahnya yang berhasil menarik perhatian publik, seperti misalnya proyek mobil murah, naik kereta api dari Jakarta ke Bogor untuk menghadiri sidang kabinet, dan lain sebagainya. Awalnya tampak menarik dan terlihat ‘down to earth’ alias merakyat, tapi lama-lama sebagian masyarakat, terutama yang memiliki latar belakang pendidikan sarjana, mulai jengah dengan politik pencitraan ala Dahlan.
Baru-baru ini Jaringan Advokat Publik menyurati panitia konvensi Calon Presiden Partai Demokrat terkait Dahkan Iskan. Mereka menuding, Menteri BUMN itu terlibat korupsi di perusahaan setrum Perusahaan Listrik Negara (PLN) saat ia menduduki posisi sebagai Direktur Utama. Dahlan diduga terlibat dugaan korupsi terkait dengan penyalahgunaan uang negara PT PLN (Persero) periode 2009-2010 senilai Rp 37,6 triliun di Medan, Sumatera Utara.

Dugaan itu terungkap dari hasil audit BPK pada 2011, yang menyebut Dahlan menyalahgunakan delapan pembangkit tenaga uap dan akhirnya menggunakan mesin turbin semen.
Bagaimana tanggapan Dahlan? Ia menanggapinya dengan dingin, tidak ada komentar apapun mengenai tuduhan itu, baik membantah ataupun memberi penjelasan. Dahlan bahkan memilih namanya dicoret dari konvensi Capres Partai Demokrat jika panitia berkeyakinan terhadap pengaduan tersebut. Dan lagi-lagi banyak masyarakat yang memuji langkah Dahlan tersebut. Apa yang menjadi sepak terjang Dahlan selalu mengundang decak kagum pada sebagian orang.
Kembali ke soal Mahakam. Dahlan paham betul bahwa Mahakam adalah salah satu isu kunci untuk dapat mengambil hati konsituen. Dalam sebuah seminar baru-baru ini, Forum Rektor Indonesia mengatakan bahwa untuk menjadi Presiden Republik Indonesia, hal utama yang harus dilakukan adalah dengan memulainya dari sektor energi. Persoalan energi Indonesia saat ini dianggap persoalan yang esensial dan sangat kritis. Forum tersebut juga menyoroti masalah kepemilikan sumber-sumber energi di Indonesia. Menurutnya yang terpenting dalam hal tersebut adalah penguasaan operasionalisasinya. Dan salah satu butir dalam pernyataan sikapnya, Forum Rektor Indonesia mengatakan bahwa pemerintah seharusnya menetapkan bahwa sejak 2017 kontrak Blok Mahakam diserahkan pengelolaannya kepada Pertamina. Nah, tak heran jika Dahlan Iskan teramat concern terhadap urusan Mahakam dan Pertamina.
Peran Blok Mahakam sangat lah vital dalam laju perekonomian negara ini, baik dalam memenuhi kebutuhan gas domestik dan juga mengisi kocek pemerintah. Salah satu pasokan gas untuk domestic ini adalah, pasokan gas bagi 3.960 rumah tangga di wilayah Bontang dengan volume gas sejumlah 1.500 MMBTU per hari, terhitung sejak 28 Januari 2013 hingga 2017. Sementara untuk keperluan ekspor,  Mahakam memasok sekitar dua per tiga dari total kebutuhan PT Badak untuk memenuhi komitmen ekspor LNG Indonesia ke Jepang, Taiwan dan Korea Selatan.

Pada 2014, produksi Mahakam diperkirakan sekitar 1,5-1,7 miliar kaki kubik gas per hari. Angka ini jauh menurun dibandingkan produksi-produksi tahun sebelumnya yang sempat menyentuh angka 2,6 miliar kaki kubik per hari. Namun seiring dengan makin tuanya usia lapangan-lapangan di Blok Mahakam, maka produksi pun mengalami penurunan (declining rate) yang mencapai hingga 50 persen per tahun, Penurunan alamiah tersebut terutama terjadi di dua lapangan yaitu lapangan Tunu dan Peciko. Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka Total menginjeksikan dana (capital expenditure) rata-rata $2,5 miliar per tahun. Total juga terus melakukan pengembangan-pengembangan lapangan agar dapat menahan laju penurunan di level 1,1 miliar kaki kubik per hari pada 2017 melalui injeksi investasi sebesar $7,3 miliar. Namun tanpa pengembangan lapangan apa pun, maka produksi gas Mahakam akan jeblok ke level 800.000 kaki kubik per hari.
Jika Pertamina mengambilalih Mahakam, sanggupkah menginjeksikan dana sebesar $2,5 miliar per tahun dan mempertahankan level produksi saat ini? Bukankah sudah terlalu banyak blok-blok migas di luar negeri yang telah diakusisi Pertamina, yang notabene membutuhkan dana yang tak sedikit? Dan bukankah masih banyak blok-blok migas Pertamina yang terbengkalai, yang sebaiknya dikelola dengan baik oleh Pertamina? Satu lagi yang harus diingat pemerintah, Mahakam bukanlah Blok ONWJ, bukanlah WMO..karakteristiknya jauh berbeda.

Jika taruhannya adalah pendapatan pemerintah yang turun dan produksi yang jeblok, alangkah baik pemerintah mempertimbangkan proposal Total dan Inpex untuk membentuk joint operatorship dengan Pertamina pasca 2017. Langkah itu adalah win-win solution dimana pemerintah tidak akan mengalami kerugian.

Wednesday, 15 January 2014

Larangan Ekspor Mineral Indonesia, Tuduhan Pro Asing dan Lambannya Pemerintah


Setelah melewat serangkaian proses, akhirnya pemerintah memutuskan untuk menerapkan pelarangan ekspor mineral mentah (ore) mulai 12 Januari 2014 lalu. Ekspor mineral hanya diizinkan jika terlebih dahulu diolah di dalam negeri –dikenal dengan sebutan konsentrat- untuk memberi nilai tambah pada perekonomian. Yang menarik tudingan pemerintah pro asing pun segera mengemuka menyusul adanya kebijakan tersebut. Pemerintah dituduh menganakemaskan dua perusahaan tambang terbesar di Indonesia asal Amerika: Freeport Indonesia dan Newmont Nusa Tenggara.

liputan6.com
Sesuai dengan amanat Undang Undang Mineral dan Batubara yang diterbitkan pada tahun 2009, seluruh perusahaan tambang harus membangun fasilitas pengolahan (smelter) di dalam negeri lima tahun setelahnya atau 2014. Selama ini, Indonesia banyak mengekspor kerukan tanah ke luar negeri yang kemudian akan dicari mineral yang terkandung di dalamnya. Dengan adanya kewajiban pembangunan smelter, pemerintah mengharapkan adanya nilai tambah melalui dalam kegiatan ekspor mineral.

Pada akhir pekan lalu, akhirnya pemerintah aturan pelaksanaan Undang-Undang Minerba, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014, yang salah satunya mengatur larangan ekspor mineral ore. Meski demikian mineral yang telah diolah atau dimurnikan (konsentrat) dalam kadar tertentu masih diperbolehkan diekspor, hanya saja akan dikenai bea keluar (BK). Relaksasi ini akan diberikan hingga tahun awal 2017. Artinya masih ada ruang bagi para pemegang Kontrak Karya (KK) dan Ijin Usaha Pertambangan (IUP) untuk membangun smelter di dalam negeri, baik dengan cara membangun sendiri ataupun bekerjasama dengan pihak lain. Pemerintah selanjutnya akan memberikan persetujuan dengan sejumlah syarat.

Adapun beberapa kriteria yang harus dipenuhi antara lain, pertama, melihat jumlah cadangan mineral perusahaan tersebut. Kedua, feasibility study untuk membangun smelter baik secara mandiri maupun patungan. Kriteria ketiga adalah perusahaan pertambangan harus menyerahkan dokumen pendukung lingkungan. Keempat adalah IUP tersebut harus berstatus clean and clear (CnC).

Kriteria lain yang juga disyaratkan oleh pemerintah adalah kadar konsentrat minimum seperti tembaga dengan kadar minimum 15%, kemudian pasir besi dengan kadar minimum 58%, dan bijih besi dengan kadar minimum 62%. Sementara untuk kadar minimum laterit, seng, dan timbal, masing-masing sebesar 51%, 52%, dan 57%. Terakhir, pemerintah menetapkan kadar minimum mangan yang boleh diekspor adalah sebesar 49%. Singkat kata, aturan tersebut menyebabkan dua perusahaan tambang raksasa PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara tetap diperbolehkan untuk mengekspor konsentrat.

Sebelumnya memang kedua perusahaan ini yang paling vocal dalam penerapan UU Minerba. Bahkan Freeport memperingatkan bahwa bila aturan larangan ekspor mineral diterapkan maka pendapatan perusahaan akan berkurang 65 persen. Akibatnya Indonesia akan kehilangan penghasilan US$1,6 miliar pada 2014 atau 0,6 persen dari pertumbuhan Pertumbuhan Domestic Bruto. Bank sentral memperkirakan pertumbuhan PDB akan mencapai sekitar 6 persen pada 2014, dibandingkan dengan 5,7 persen tahun lalu.
Banyak kalangan yang pro dan kontra dengan adanya aturan tersebut. Para pelaku usaha, tentunya menyambut gembira, Namun
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia merasa kecewa dengan keputusan pemerintah yang masih mengizinkan perusahaan pemegang Kontrak Karya seperti Newmont Nusa Tenggara dan Freeport Indonesia melakukan ekspor mineral.
KSPI menuding pemerintah menganak emaskan Freeport dan Newmont yang terbukti masih diizinkan mengekspor mineral mentah dengan tidak ada kejelasan batas waktu untuk kedua perusahaan tersebut membangun fasilitas pengolahan.  
Tak hanya itu, entah kebetulan atau tidak, usai pengumuman adanya kelonggaran untuk mengekspor konsentrat, nilai tukar mata uang Rupiah terhadap US$ langsung menguat dengan menyentuh level Rp 11.000 setelah sebelumnya berada di kisaran Rp 12.000. Lagi-lagi, nilai tukar Rupiah ini dituding sebagai rekayasa perusahaan-perusahaan tambang besar yang tidak setuju dengan larangan ekspor mineral namun melunak setelah adanya relaksasi.

Lepas dari itu semua, seharusnya semua pihak paham atas kondisi perekonomian nasional yang tengah gonjang ganjing. Nilai mata uang Rupiah telah melemah sejak akhir tahun lalu, sedangkan di satu sisi subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) terus melambung seiring dengan naiknya harga minyak dunia. Jika pemerintah bersikeras untuk menerapkan aturan tersebut, sudah barang tentu kondisi perekonomian Indonesia makin terpuruk. Akan banyak pemutusan hubungan kerja (PHK) dari perusahaan-perusahaan tambang yang tidak dapat melakukan ekspor. Dan jika demikian, krisis ekonomi 1998 bukan tidak mungkin terulang kembali.

Kesimpulannya, tidak selamanya apa yang dilakukan pemerintah itu pro-asing. Apapun yang dilakukan, tentunya telah melalui proses studi yang panjang.  Meski demikian, memang disayangkan lambatnya pemerintah dalam mengambil keputusan tersebut. Tentunya waktu lima tahun sejak UU Minerba berlaku pada tahun 2009 sangat cukup bagi pemerintah untuk memberi peringatan dan kajian mengenai bisa tidaknya amanat UU tersebut diterapkan. Namun nyatanya pemerintah baru sibuk melakukan kajian marathon menjelang masa penerapan aturan tersebut.


Pekerjaan Rumah pemerintah masih sangat banyak, tidak hanya mengenai pertambangan, tapi juga minyak dan gas. Terdapat sejumlah Kontrak Kerja Sama (KKS) yang akan habis masa kontraknya, namun belum mendapat kepastian dari pemerintah mengenai perpanjangannya. Sebut saja Blok Mahakam misalnya. Belajar dari kasus UU Minerba tersebut, adanya baiknya pemerintah segera memberikan keputusan jauh sebelum kontrak berakhir pada tahun 2017. Jangan sampai keputusan yang tergesa-gesa akan merugikan Indonesia pada akhirnya. Ingatlah, pengalaman adalah guru yang terbaik.

Monday, 13 January 2014

2014, Produksi Migas Indonesia Bertumpu Pada Cepu dan Mahakam

jpnn.com
Bayang-bayang penurunan produksi masih membayangi Indonesia. Tidak adanya penemuan signifikan ditambah dengan laju penurunan alami membuat target sebesar 870.000 barrel per hari yang telah ditetapkan pemerintah dan Dewan Perwakilan rakyat dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2014 sulit dicapai.

Meski demikian, Satuan Khusus Kerja Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) ternyata masih bisa bertumpu pada 13 proyek minyak dan gas bumi yang direncanakan berproduksi tahun 2014. Total kapasitas produksi dari seluruh proyek tersebut adalah 954 juta kaki kubik gas per hari (mmscfd) dan 194.121 barel minyak per hari.  SKK Migas berkomitmen agar proyek-proyek tersebut dapat terealisasi tepat waktu.

Jika ada yang terlambat akan memengaruhi besaran lifting migas tahun ini.

Tapi siapa sangka, dari 13 proyek tersebut, ternyata Indonesia masih mengandalkan keberadaan Blok Mahakam dan Blok Cepu. Mahakam yang dikelola Total E&P Indonesie diharapkan dapat berproduksi total sebesar 645 juta kaki kubik per hari dan 6.521 barrel liquid per day pada tahun ini. Sedangkan Cepu yang dikelola ExxonMobil Oil Indonesia diharapkan dapat mencapai kapasitas produksi sebesar 165.000 barrel per hari pada kuartal keempat 2014 dengan sejumlah tantangan yang bakal dihadapi, yakni masalah sosial ekonomi dan keterlambatan dalam proses rekayasa, pengadaan, dan konstruksi fasilitas.

Lalu dari mana saja kah Mahakam bisa menambah produksi baru padahal kontraknya akan habis pada 2017? Dari daftar SKK Migas, setidaknya terdapat pengembangan empat lapangan baru dari Mahakam. Pengembangan lapangan Peciko 7B diharapkan bisa memproduksi sebesar 170 kaki kubik per hari dan 4.000 barrel per hari mulai kuartal pertama 2014. Ada juga lapangan Sisi Nubi 2B dengan estimasi produksi 350 juta kaki kubik per hari mulai kuartal pertama. Masih ada lagi pengembangan lebih lanjut (plan of further development) dari lapangan Bekapai phase 2A yang diperkirakan akan menambah produksi sebesar 1.021 barrel liquid per hari di kuartal pertama. Dan terakhir adalah Peciko 7C dengan produksi sebesar 125 juta kaki kubik per hari 1.500 barrel liquid per hari mulai kuartal kedua.

Total E&P Indonesie memang telah menargetkan pembangunan tiga anjungan (platform) proyek pengembangan lepas pantai Sisi Nubi 2B dan Peciko 7B selesai pada Januari 2014. Sesuai dengan rencana pengembangan (plan of development) yang telah disetujui, proyek Peciko 7B akan membor 23 sumur tambahan dan pada proyek Sisi-Nubi 2 ada 35 sumur tambahan.
Biaya keseluruhan proyek pengembangan Sisi Nubi fase 2 dan Peciko 7B ini mencapai US$2 miliar sesuai POD yang disetujui. Dan dua proyek tersebut merupakan wujud komitmen Total/Inpex untuk terus berinvestasi di Blok Mahakam meski kepastian perpanjangan kontrak yang akan berakhir pada 2017 belum mendapat kepastian. Pada tahun 2012 Total E&P Indonesie membangun tiga platform, yakni: Stupa, West Stupa,  dan East Mandu yang kesemuanya berada di proyek South Mahakam fase 1 & 2 dan pertengahan 2013 menambah enam platform baru pada blok Mahakam.

Total dan Inpex sendiri telah mengajukan perpanjangan kontrak Mahakam sejak tahun 2008. Namun pemerintah belum memberikan kepastian. Dalam proposal terakhirnya, Total dan Inpex telah menyatakan kesediaannya untuk memberi kesempatan pada Pertamina untuk menjadi salah satu pemegang saham di Mahakam pasca 2017. Selain itu Total juga bersedia mentransfer teknologi dan juga menanamkan investasi sebesar $7.3 miliar hingga 2017. Keberadaan Total dalam pengelolaan Mahakam masih sangat dibutuhkan mengingat karakteristik blok tersebut yang sangat sulit. Ditambah lagi, kondisi produksi migas yang terus melorot membuat pemerintah tidak bisa main-main dalam pemilihan operator.

Selain Mahakam dan Cepu, SKK Migas juga berharap pada sejumlah operator lain di tahun 2014 meski dengan jumlah yang tidak signifikan. Misalnya pengembangan gas Senoro dengan operator JOB Pertamina-Medco Tomori Sulawesi direncanakan mulai produksi 8 juta kaki kubik dan 250 barel minyak per hari pada kuartal ketiga.
 Tiga proyek yang sebelumnya ditargetkan produksi tahun 2013 lalu juga akan mulai berproduksi pada kuartal pertama tahun 2014 ini. Ketiga proyek itu adalah Lapangan Ridho dengan kontraktor Odira Energy Karang Agung berproduksi 1.200 barel minyak per hari, Lapangan Gundih yang dikembangkan Pertamina EP berproduksi sebesar 50 mmscfd dan 600 barel minyak per hari, dan Proyek Bayan A dengan kontraktor Manhattan Kalimantan Investment berproduksi 15 mmscfd dan 250 barel minyak per hari.




SKK Migas memberi perhatian penuh pada tiga proyek terkait dengan besarnya produksi yang dihasilkan dan tantangan yang dihadapi. Yang pertama adalah Lapangan Bukit Tua, Blok Ketapang 2 dengan kontraktor Petronas Carigali. Proyek direncanakan berproduksi 70 juta kaki kubik dan 20.000 barel minyak per hari ini pada kuartal empat 2014. Hal yang perlu dicermati adalah proses negosiasi harga gas dan perubahan calon pembeli. Selain itu, proyek ini menggunakan skanario hulu dan hilir, sehingga ada kebijakan strategis yang diambil di luar kewenangan SKK Migas.

Hal serupa terjadi di Lapangan Muriah, Blok Kepodang yang juga dioperatori Petronas. Proyek dengan produksi 116 juta kaki kubik ini bergantung pada selesainya pipa penyalur gas di hilir.