Menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) Indonesia tahun
2014, isu nasionalisme kembali menghangat, terutama di sektor minyak dan gas
bumi (migas). Sejumlah partai politik mengusung tema nasionalisme dalam kampanyenya.
Sasarannya adalah agar sejumlah kontrak blok-blok migas yang akan habis masa
kontraknya dikembalikan ke pemerintah dan kemudian diserahkan ke Pertamina.
Dengan demikian, diharapkan masyarakat akan berbondong-bondong memilih mereka
sebagai wakil rakyat. Tapi apakah iya, Indonesia sudah siap dengan
nasionalisme?
Ingat nasionalisme, tentunya ingatan kita akan
melayang ke gerakan sosialisme yang diterapkan mantan Presiden Venezule Hugo
Chavez. Di masa kepemimpinannya Chavez berhasil melakukan nasionalisasi asset
asing dalam pengelolaan sumber daya alam, terutama minyak dan emas. Nasionalisasi
ini menjadi alasan kuat Chavez lantaran di pemerintahan sebelumnya, perusahaan-perusahaan
asing dianggap tidak memberikan kesejahteraan yang signifikan pada Venezuela.
Maklum saja Venezuela tercatat memiliki cadangan
minyak terbesar di dunia dan memproduksi tiga juta barel minyak per hari,
meskipun OPEC mematok angka 2,3 juta barel per hari. Sementara cadangan minyak
Venezuela mencapai 300 miliar barrel. Jadi Chavez sangat percaya diri bahwa
tanpa asing pun. Venezuela bisa bertahan dengan kekayaan sumber daya alamnya.
Kontan saja keputusan nasionalisasi tersebut tentu saja bikin
perusahaan asing berang namun tidak dapat menolak kebijakan tersebut.
Perusahaan minyak sekelas dunia, seperti
ExxonMobil. Chveron dan ConocoPhilips juga tak luput dari penyitaan asset. Ada
pula bank Spanyol dengan merek Bank Venezuela dari Grup Santander, perusahaan
semen Swiss Holcim, Cemex Meksiko, perusahaan tambang emas Rusoro Mining milik
Rusia, perusahaan telekomunikasi Verizon Communications yang berbasis di
Amerika, semua sudah dinasionalisasi yang memberikan keuntungan besar untuk
menyejahterakan rakyat negara itu. Dalam tempo singkat, biaya hidup di Venezule
menjadi murah.
Ide Chavez untuk menasionalisasi
perusahaan-perusahaan asing di negaranya, tetap menginspirasi negara-negara
berkembang, tak terkecuali Indonesia. Makanya tak heran, para calon-calon
presiden menjadikan isu nasionalisme sebagai barang dagangan mereka, janji-janji
surga yang belum tentu bisa diterapkan di Indonesia.
Tapi lihat saja Venezuela kini, selepas Chavez
wafat pada tahun 2013 akibat penyakit kanker yang dideritanya bertahun-tahun.
Di bawah kepemimpinan presiden yang baru Nicolas Maduro, perkeonomian Venezuela
morat-marit. Ekonomi Venezuela terpukul oleh inflasi lebih dari 50 persen per
tahun. Barang-barang kebutuhan pokok juga mulai langka di negara itu. Akibatnya
terjadi kerusuhan alias chaos. Kerusuhan ini telah memakan korban belasan jiwa
yang menjadi tewas dan juga puluhan lain luka-luka.
Pemerintahan Maduro menyalahkan kaum
"borjuis" yang memiliki kepentingan bisnis lokal untuk mencoba
mendapatkan keuntungan dari krisis tersebut. Dan terbukti, Maduro bukanlah
Chavez. Di tangannya nasionalisasi perusahaan-perusahaan tidak memberikan hasil
yang signifikan bagi perekonomian nasional.
Kini kembali ke Indonesia, partai-partai politik
baik calon presiden maupun calon anggota legislative ramai-ramai lantang
menyuarakan nasionalisasi. Mereka terinspirasi oleh Chavez yang sering dijuluki
sebagai ‘the greatest man’. Tapi apakah mereka telah melihat data konkret
cadangan migas Indonesia?
Ternyata menurut data Kementrian Energi dan Sumber
Daya Mineral (ESDM), cadangan minyak Indonesia hanyalah 0,3 persen dari
cadangan dunia. Indonesia bukanlah lagi negara yang kaya dengan sumber energi
minyak bumi. Jika dibandingkan dengan Venezuela hanya mencapai 300 miliar, maka
cadangan Indonesia hanya 1/100-nya.
Bisa dilihat dari data produksi nasional, produksi
rata-rata saat ini merosot hingga 745.000 barrel per hari dari target sebesar
840.000 barrel per hari. Sementara pada tahun-tahun sebelumnya, Indonesia juga
gagal dalam mencapai target produksi minyak dan gas nasional. Maka tak heran,
kalau tahun ini pemerintah kembali berwacana untuk menurunkan target produksi
yang telah ditetapkan dalam Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara (APBN) 2014.
Alasannya, selain cuaca ekstrem, tak tercapainya target lifting juga disebabkan
karena produksi minyak di Blok Cepu mengalami kemunduran. Seharusnya Cepu
berproduksi pada Juli 2014. Namun karena terkendala teknis maka Blok Cepu
ditargetkan berproduksi November 2014.
Belum
lagi jika dilihat kemampuan perusahaan nasional, baik dari aspek kemampuan
finansial, teknologi dan Sumber Daya Manusia (SDM). Contoh kasus adalah Blok Mahakam
yang merupakan sebuah blok lepas pantai tua yang telah digenjot produksinya
sejak tahun 1968. Dibutuhkan biaya setidaknya $2,5 miliar per tahunnya untuk
menahan laju penurunan produksi, yang jika tidak dilakukan usaha apapun bisa
jeblok ke angka 50 persen.
Bagaimana
mungkin perusahaan nasional mampu mengalokasikan dana sebesar tersebut hanya untuk
mengelola satu blok saja? Selain itu apakah teknologi perusahaan nasional sudah
mumpuni untuk dapat mengelola Mahakam? Sebutlah Pertamina. Mari kita lihat portfolio
Pertamina, pada tahun 2013 saja perusahaan plat merah tersebut gagal mencapai
target produksinya. Lalu bagaimana jika memang pengelolaan Mahakam 100 persen
diambil alih Pertamina? Akankah produksi akan stabil?
Pengambilalihan
blok ONWJ dan WMO tentunya tidak bisa disamaratakan. ONWJ memang terletak di
lepas pantai juga, namun ingat, selain membeli saham BP di blok itu, Pertamina
juga mengambilalih seluruh SDMnya. Jadi keberhasilan Pertamina dalam mengelola
ONWJ tak lepas dari mantan SDM BP pula. Dengan demikian, campur
tangan Total tetap dibutuhkan agar menjaga produksi Mahakam tidak jeblok. Saat
lima tahun masa transisi itu lah Pertamina dapat belajar banyak dari Total.
Bagaimanapun juga dibutuhkan kemampuan teknologi, finansial dan SDM dalam
mengelola Mahakam.
Kesimpulannya, nasionalisme di Indonesia hanyalah retorika. Hanya mampu diterapkan di atas kertas. Tapi jika direalisasikan? Jangan penah bermimpi!



