Thursday, 27 February 2014

Wacana Nasionalisme Migas di Indonesia Hanya Retorika

Menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) Indonesia tahun 2014, isu nasionalisme kembali menghangat, terutama di sektor minyak dan gas bumi (migas). Sejumlah partai politik mengusung tema nasionalisme dalam kampanyenya. Sasarannya adalah agar sejumlah kontrak blok-blok migas yang akan habis masa kontraknya dikembalikan ke pemerintah dan kemudian diserahkan ke Pertamina. Dengan demikian, diharapkan masyarakat akan berbondong-bondong memilih mereka sebagai wakil rakyat. Tapi apakah iya, Indonesia sudah siap dengan nasionalisme?

Ingat nasionalisme, tentunya ingatan kita akan melayang ke gerakan sosialisme yang diterapkan mantan Presiden Venezule Hugo Chavez. Di masa kepemimpinannya Chavez berhasil melakukan nasionalisasi asset asing dalam pengelolaan sumber daya alam, terutama minyak dan emas. Nasionalisasi ini menjadi alasan kuat Chavez lantaran di pemerintahan sebelumnya, perusahaan-perusahaan asing dianggap tidak memberikan kesejahteraan yang signifikan pada Venezuela.

Maklum saja Venezuela tercatat memiliki cadangan minyak terbesar di dunia dan memproduksi tiga juta barel minyak per hari, meskipun OPEC mematok angka 2,3 juta barel per hari. Sementara cadangan minyak Venezuela mencapai 300 miliar barrel. Jadi Chavez sangat percaya diri bahwa tanpa asing pun. Venezuela bisa bertahan dengan kekayaan sumber daya alamnya. Kontan saja keputusan nasionalisasi tersebut tentu saja bikin perusahaan asing berang namun tidak dapat menolak kebijakan tersebut.

Perusahaan minyak sekelas dunia, seperti ExxonMobil. Chveron dan ConocoPhilips juga tak luput dari penyitaan asset. Ada pula bank Spanyol dengan merek Bank Venezuela dari Grup Santander, perusahaan semen Swiss Holcim, Cemex Meksiko, perusahaan tambang emas Rusoro Mining milik Rusia, perusahaan telekomunikasi Verizon Communications yang berbasis di Amerika, semua sudah dinasionalisasi yang memberikan keuntungan besar untuk menyejahterakan rakyat negara itu. Dalam tempo singkat, biaya hidup di Venezule menjadi murah.

Ide Chavez untuk menasionalisasi perusahaan-perusahaan asing di negaranya, tetap menginspirasi negara-negara berkembang, tak terkecuali Indonesia. Makanya tak heran, para calon-calon presiden menjadikan isu nasionalisme sebagai barang dagangan mereka, janji-janji surga yang belum tentu bisa diterapkan di Indonesia.

Tapi lihat saja Venezuela kini, selepas Chavez wafat pada tahun 2013 akibat penyakit kanker yang dideritanya bertahun-tahun. Di bawah kepemimpinan presiden yang baru Nicolas Maduro, perkeonomian Venezuela morat-marit. Ekonomi Venezuela terpukul oleh inflasi lebih dari 50 persen per tahun. Barang-barang kebutuhan pokok juga mulai langka di negara itu. Akibatnya terjadi kerusuhan alias chaos. Kerusuhan ini telah memakan korban belasan jiwa yang menjadi tewas dan juga puluhan lain luka-luka.

Pemerintahan Maduro menyalahkan kaum "borjuis" yang memiliki kepentingan bisnis lokal untuk mencoba mendapatkan keuntungan dari krisis tersebut. Dan terbukti, Maduro bukanlah Chavez. Di tangannya nasionalisasi perusahaan-perusahaan tidak memberikan hasil yang signifikan bagi perekonomian nasional.

Kini kembali ke Indonesia, partai-partai politik baik calon presiden maupun calon anggota legislative ramai-ramai lantang menyuarakan nasionalisasi. Mereka terinspirasi oleh Chavez yang sering dijuluki sebagai ‘the greatest man’. Tapi apakah mereka telah melihat data konkret cadangan migas Indonesia?


Ternyata menurut data Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), cadangan minyak Indonesia hanyalah 0,3 persen dari cadangan dunia. Indonesia bukanlah lagi negara yang kaya dengan sumber energi minyak bumi. Jika dibandingkan dengan Venezuela hanya mencapai 300 miliar, maka cadangan Indonesia hanya 1/100-nya.

Bisa dilihat dari data produksi nasional, produksi rata-rata saat ini merosot hingga 745.000 barrel per hari dari target sebesar 840.000 barrel per hari. Sementara pada tahun-tahun sebelumnya, Indonesia juga gagal dalam mencapai target produksi minyak dan gas nasional. Maka tak heran, kalau tahun ini pemerintah kembali berwacana untuk menurunkan target produksi yang telah ditetapkan dalam Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara (APBN) 2014. Alasannya, selain cuaca ekstrem, tak tercapainya target lifting juga disebabkan karena produksi minyak di Blok Cepu mengalami kemunduran. Seharusnya Cepu berproduksi pada Juli 2014. Namun karena terkendala teknis maka Blok Cepu ditargetkan berproduksi November 2014.

Belum lagi jika dilihat kemampuan perusahaan nasional, baik dari aspek kemampuan finansial, teknologi dan Sumber Daya Manusia (SDM). Contoh kasus adalah Blok Mahakam yang merupakan sebuah blok lepas pantai tua yang telah digenjot produksinya sejak tahun 1968. Dibutuhkan biaya setidaknya $2,5 miliar per tahunnya untuk menahan laju penurunan produksi, yang jika tidak dilakukan usaha apapun bisa jeblok ke angka 50 persen.

Bagaimana mungkin perusahaan nasional mampu mengalokasikan dana sebesar tersebut hanya untuk mengelola satu blok saja? Selain itu apakah teknologi perusahaan nasional sudah mumpuni untuk dapat mengelola Mahakam? Sebutlah  Pertamina. Mari kita lihat portfolio Pertamina, pada tahun 2013 saja perusahaan plat merah tersebut gagal mencapai target produksinya. Lalu bagaimana jika memang pengelolaan Mahakam 100 persen diambil alih Pertamina? Akankah produksi akan stabil?


Pengambilalihan blok ONWJ dan WMO tentunya tidak bisa disamaratakan. ONWJ memang terletak di lepas pantai juga, namun ingat, selain membeli saham BP di blok itu, Pertamina juga mengambilalih seluruh SDMnya. Jadi keberhasilan Pertamina dalam mengelola ONWJ tak lepas dari mantan SDM BP pula. Dengan demikian, campur tangan Total tetap dibutuhkan agar menjaga produksi Mahakam tidak jeblok. Saat lima tahun masa transisi itu lah Pertamina dapat belajar banyak dari Total. Bagaimanapun juga dibutuhkan kemampuan teknologi, finansial dan SDM dalam mengelola Mahakam.

Kesimpulannya, nasionalisme di Indonesia hanyalah retorika. Hanya mampu diterapkan di atas kertas. Tapi jika direalisasikan? Jangan penah bermimpi!


Wednesday, 19 February 2014

Mempertanyakan Konsistensi Pemerintah Indonesia dalam Mematuhi Kontrak Migas

Konsistensi pemerintah Indonesia terkait dalam kontrak minyak dan gas (production sharing contract) dipertanyakan. Pasalnya investor menilai terlalu banyak hal-hal baru yang sebenarnya di luar kesepakatan antara pemerintah dan kontraktor bagi migas, tiba-tiba dimunculkan sebagai wacana.

Baru-baru ini pemerintah tengah mengkaji kemungkinan untuk membayar bagi hasil migas dalam bentuk uang, bukan dalam bentuk produk seperti yang dilakukan saat ini. Pemerintah berdallih bahwa hal serupa itu telah diterapkan di lapangan Wailawi, Kalimantan Timur. Terkait dengan hal tersebut pemerintah tengah melakukan studi untuk melakukan renegoisasi dengan para pelaku usaha migas untuk mendapatkan kontrak terbaik dari pengelolaan sektor migas.
Saat ini berdasarkan Kontrak Kerja Sama Migas, investor mendapatkan bagian sebesar 30 persen untuk gas dan 15 persen untuk minyak. Sedangkan pemerintah mendapatkan porsi terbesarnya yaitu 70 persen untuk gas dan 85 persen untuk minyak. Meski demikian prosentase tersebut bisa berubah berdasarkan karakteristik suatu blok. Jika letaknya berada di remote area atau laut dalam, maka porsi bagi hasil untuk investor diperbesar.
Dalam pola bagi hasil ini, investor tidak mendapatkan dalam bentuk uang tunai, melainkan dalam bentuk produksi (in kind). Selanjutnya para pelaku industri migas dapat secara bebas memasarkan bagian produksinya, baik untuk diekspor ataupun untuk konsumsi dalam negeri.
Keinginan pemerintah untuk dapat memperoleh sebesar-besarnya produksi migas untuk kebutuhan nasional memang dapat dimaklumi. Saat ini produksi minyak domestik hanya berada di kisaran 800.000an. Angka ini adalah angka total produksi, baik bagian milik pemerintah maupun kontraktor. Bagian milik pemerintah pun tidak semuanya digunakan untuk kebutuhan domestik karena spesifikasinya dinilai terlalu bagus. Pemerintah memutuskan untuk mengekspor jenis-jenis minyak tertentu, seperti Sumatran Light Crude, demi menambah pendapatan negara.
Yang menjadi masalah adalah konsumsi bahan bakar minyak (BBM) nasional sangat tinggi. Untuk tahun 2013 dan  2014 saja, pemerintah menganggarkan volume BBM bersubsidi sebesar 48 juta kiloliter per tahunnya. Untuk memenuhi kebutuhan domestic, mau tidak mau pemerintah harus melakukan impor minyak mentah yang akan dioleh di kilang dan juga impor BBM.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik mengakui bahwa saat ini Indonesia membutuhkan dana sekitar US$ 120 juta atau hampir Rp 1,5 triliun per hari hanya untuk mengimpor BBM termasuk solar, avtur dan jenis lainnya. Pemerintah memperkirakan impor BBM dan minyak Indonesia akan mencapai hingga Rp 1,8 triliun per hari di tahun 2019.
Wacana untuk menggantikan bagi hasil dalam bentuk uang diharapkan dapat menambah produksi minyak nasional yang bisa diolah di kilang dalam negeri. Meski pemerintah sanggup membeli dengan harga pasar, namun dipastikan Indonesia masih bisa melakukan penghematan karena tidak adanya ongkos transportasi dalam komponen pembelian minyak mentah tersebut.
Lalu bagaimana reaksi investor atas wacana tersebut? Indonesia Petroleum Association (IPA) menolak tegas adanya kemungkinan renegoisasi kontrak kerjasama terkait perubahan pola bagi hasil produksi minyak dan gas bumi. Menurut Direktur Eksekutif IPA, Dipnala Tamzil, KKKS tetap menginginkan mekanisme bagi hasil yang sudah disepakati dalam kontrak kerjasama. Dia tidak setuju apabila bagi hasil produksi diubah menjadi bagi keuntungan dalam bentuk uang.
"Sesuai dengan PSC, KKKS membawa minyak bagiannya. Di situ perusahaan diperkenankan memproduksi dan membawa minyaknya," kata Dipnala, seperti yang dikutip situs berita Berita Satu.com
Sebenarnya bukan kali ini pemerintah menuai kritik. Sebelumnya Indonesia dinilai terlampau sering tidak mematuhi kontrak (sanctity of contract) dan tidak transparan. Pemerintah diminta menerapkan prinsip kejelasan, konsistensi, dan kepastian dalam semua peraturan dan ketentuan di sektor minyak dan gas bumi. Misalnya terkait perpanjangan kontrak kerja sama minyak dan gas bumi. Untuk itu IPA juga telah meminta transparansi pemerintah terkait ketentuan dalam perpanjangan kontrak kerja sama migas. Ketidakjelasan mengenai keputusan perpanjangan kontrak dinilai akan mengganggu rencana investasi minyak dan gas bumi yang berpotensi menurunkan produksi migas nasional.

Saat ini terdapat sejumlah kontrak kerja sama yang akan habis masa kontraknya, misalnya saja Blok Mahakam yang dikelola Total E&P Indonesie bersama partnernya Inpex. Kontrak Blok Mahakam akan habis tahun 2017 dan proposal perpanjangan telah diajukan sejak 2008. Namun hingga kini belum ada kejelasan pemerintah terkait nasib Blok Mahakam.

Menurut paparan Wood Mackenzie Asia Pasifik, produksi migas Indonesia dalam kondisi mengkhawatirkan akibat ketidakpastian perpanjangan kontrak kerja sama. Dalam lima tahun ke depan, tercatat ada 20 kontrak kerja sama di blok berproduksi yang akan berakhir masa kontraknya, dan berkontribusi 635.000 setara barrel minyak per hari pada tahun 2013 atau setara dengan 30 persen dari total produksi migas Indonesia.


Untuk itu IPA berharap agar transparansi mengenai perpanjangan kontrak dapat dimasuk dalam revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas). Dalam UU Migas yang berlaku saat ini memungkinkan pemerintah memperpanjang kontrak 10 tahun sebelum kontrak berakhir.

Wednesday, 12 February 2014

Komitmen Investasi Total dan Eni di Industri Migas Indonesia

pedomannews
Sejumlah kabar baik di industri minyak dan gas nasional bermunculan pada beberapa pekan ini, yaitu komitmen investasi dari Total E&P Indonesie dan Eni dalam pengembangan laut dalam. Munculnya berita tersebut ibarat desiran angin segar di tengah gurun pasir.
Perusahaan asal Italia misalnya, Eni, memulai proyeknya di Blok Muara Bakau. Pengembangan lapangan senilai US$ 4,136 miliar segera dimulai. Eni akan melakukan pengeboran lepas pantai sebanyak 11 sumur pengembangan. Kedua lapangan itu, yaitu Jangkrik dan North East Jangkrik diperkirakan mulai produksi pada awal tahun 2017 dengan produksi puncak sebesar 450 juta kaki kubik gas bumi per hari selama enam tahun,” kata dia. Seperti layaknya lapangan migas yang lain, setelah produksi puncak, produksi kedua lapangan itu akan menurun secara alamiah dan diperkirakan dapat diproduksikan selama 14 tahun.

Satuan Kerja Khusus Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) memperkirakan manfaat yang diperoleh dari pengembangan lapangan ini diperkirakan akan memberikan pendapatan negara sebesar US$ 5 miliar atau lebih dari Rp 50 triliun.

Dari kedua lapangan tersebut diharapkan dapat memenuhi kebutuhan gas untuk kelistrikan dan industri di Kalimantan Timur, Jawa, Sumatera Selatan, Sumatera Bagian Tengah, Sumatera Utara, dan Aceh dalam bentuk gas alam cair (LNG) dan gas pipa. Walaupun dalam persetujuan POD telah ditetapkan alokasi gas sebesar 70 persen untuk ekspor dan 30 persen untuk domestik dari lapangan ini, SKK Migas dan eni sepakat untuk berusaha keras agar alokasi gas domestik tersebut dapat mencapai 47 persen. Selama keekonomiannya memungkinkan dan didukung dengan infrastruktur gas di dalam negeri.

Lain lagi halnya dengan Total E&P Indonesie. Di tengah ketidakpastian nasib kontraknya di Blok Mahakam yang akan habis pada 2017, tetap menyatakan kesiapannya untuk berinvestasi sebesar US$ 2,5 miliar pada tahun ini. Sasarannya tak jauh-jauh dari upaya mempertahankan laju produksi agar tidak terjun bebas akibat usia sumur-sumur minyak dan gas yang telah menua.

Pada tahun ini, Mahakam diperkirakan bisa memproduksi di level 1,6-1,7 miliar kaki kubik per hari. Sedangkan pada tahun lalu, blok yang terletak di Kalimantan Timur itu berhasil memproduksi 11 persen di atas target yang ditetapkan bersama SKK Migas.

Total saat ini menyuplai 80% kebutuhan gas kilang LNG Bontang dengan produksi pada 2013 sebesar 1.761 dan 67.600 bod untuk minyak dan kondensat. Total juga aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan eksplorasi di Indonesia dengan mengambil saham-saham partisipasi di 14 blok eksplorasi di Indonesia pada akhir 2013 dengan menargetkan khususnya wilayah eksplorasi laut dalam dan wilayah-wilayah under-explored frontier.

Pada Oktober 2012, Total mulai berproduksi 2 bulan lebih cepat di lapangan Stupa yang baru sebagai bagian dari Wilayah South Mahakam Fase 1 dan 2. Pada 2013 ini, Total mengebor 2 sumur eksplorasi di Blok South East Mahakam (Sumur Tongkol 1) dan Blok Southwest Bird’s Head (Sumur Anggrek Hitam 1X) dan lebih dari 100 sumur pengembangan sebagai bagian dari operasi Blok Mahakam.

Tak berhenti disitu, Total berencana mengebor sebuah sumur eksplorasi laut dalam di Blok Bengkulu 1 – Mentawai pada tahun ini. Investasi yang dibutuhkan untuk kegiatan eksplorasi itu lebih dari Rp 400 miliar. Adapun Blok Bengkulu merupakan blok ekplorasi migas yang terletak di laut dalam (offshore) Blok tersebut mempunyai luas 8,034 km2 dengan kedalaman air laut sekitar 400 sampai dengan 1000 meter. Adapun rencana kegiatan ekplorasi akan berada sekitar 75 km dari daratan Kabupaten Muko-Muko, Provinsi Bengkulu.

Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono menyambut baik rencana kegiatan eksplorasi migas di laut dalam yang akan dilaksanakan di Bengkulu, dan berharap kegiatan itu akan membawa kemajuan bagi provinsi ini. Pesan itu disampaikan presiden ketika menyampaikan sambutan pada Hari Pers Nasional di Bengkulu, Minggu, 9 Februari 2014.

Melihat semangat para investor ini –di tengah ketidakpastian kontrak dan iklim investasi migas nasional-, pemerintah seharusnya banyak bersyukur. Namun bersyukur saja tidak cukup. Pemerintah juga harus melakukan perbaikan-perbaikan di semua lini, dengan menyelesaikan sejumlah pekerjaan rumah di sector migas yang telah dikeluhkan sejumlah investor sejak lama. Tanpa itu semua, maka kegiatan eksplorasi dan produksi akan jeblok. Akibatnya Indonesia akan menjadi totally net oil importer dalam jangka pendek.


Lalu apakah PR yang harus dikerjakan pemerintah? Jawabannya simple saja: menciptakan iklim investasi yang kondusif dan juga memberikan paket insentif yang menarik. Iklim investasi yang kondusif diantaranya adalah memberikan kepastian hukum, misalnya terkait masalah perpanjangan kontrak. Kasus Mahakam yang tidak jelas kepastiannya itu adalah contoh buruk bagi iklim investasi migas. Investor membutuhkan kepastian perpanjangan karena terkait dengan rencana investasi jangka panjang untuk mempertahankan atau meningkatkan produksi suatu blok. Kita hanya bisa berharap, semoga sebelum masa pemerintahan Kabinet Bersatu Jilid Dua usai, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono segera menjawab kekhawatiran investor tersebut.


Tuesday, 11 February 2014

Antara Seks, Skandal dan Kekuasaan di Indonesia

news.liputan6.com
Seks dan kekuasan di Indonesia adalah dua hal yang berbeda, namun ternyata selalu memiliki keterkaitan yang lekat. Sering kita temui, tak hanya di Indonesia namun juga di belahan dunia manapun, bahwa kekuasaan tak lepas dari seks. Di dunia politik, bisa jadi urusan seks dan skandal bisa menjadi isu yang lebih hot dan lebih sensitif daripada kasus korupsi.
Di Indonesia sendiri, urusan skandal dan seks ini sering kali menimpa pejabat publik. Tak hanya pejabat pemerintah daerah, namun juga anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Tak tanggung-tanggung, entah sengaja ataupun tidak, sering kali adegan percintaan mereka tersebar ke public. Penyebarannya bisa melalui rekaman di telepon selular yang pada akhirnya tersebar di dunia maya.
Sudah menjadi rahasia umum, terkadang untuk melancarkan negosiasi di dalam dunia para pejabat, diperlukan penghibur. Ada yang hanya menjadi teman ngobrol dan ada pula yang sampai ke ranjang. Kondisi ini memang merupakan contoh konket bagaimana munafiknya dunia politik ini. Bagaimana mereka tampil bersahaja di depan para konsituennya, namun ternyata di balik itu semua mereka tak lepas dari manusia yang terlibat dalam skandal seks.
Penyebaran adegan seks ini di ruang public bertentangan dengan Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Hingga akhirnya penyebarnya bisa diganjar hukuman penjara. Hal inilah yang terjadi pada artis terkenal kita Nazril Irham  yang terkenal dengan Ariel Peterpan. Beberapa tahun lampau, video syur Ariel beradegan seks dengan Luna Maya dan Cut Tari menyebar luas. Ujungnya Ariel divonis tiga tahun enam bulan penjara oleh majelis hakim di Pengadilan Negeri Bandung dan dikenai denda Rp 250 juta karena dinilai menyebarkan adegan seks tersebut. Namun masalahnya, hukuman yang sama tidak pernah menimpa satupun anggota parlemen dan pejabat daerah yang videonya tersebar di masyaakat.
Tentu kita tak akan lupa, sudah sekian banyak pejabat dan anggota DPR yang terlibat dalam skandal seks. Sebut saja Yahya Zaini politisi dari Partai Golkar pada pada Desember 2006 lalu. mantan Sekretaris Fraksi Partai Golkar Yahya Zaini ketahuan berbuat mesum dengan pedangdut Maria Eva. Masalahnya mereka mendokumentasikan perbuatan asusila tersebut dan akhirnya tersebar. Awalnya Yahya Zaini membantah dirinya ada dalam video asusila tersebut. Dia bersikeras video itu hanya rekaan. Namun kemudian Maria Eva muncul dengan pengakuan bahwa benar video itu melibatkan dirinya dan Yahya Zaini.
Yahya yang waktu itu menjabat sebagai Ketua bidang Kerohanian Partai Golkar itu akhirnya meminta maaf atas kesalahan dan kekhilafannya. Dan, ia pun mundur dari kursi anggota DPR.
Selain itu ada pula Max Moein, mantan Wakil Ketua Komisi XI DPR, Max Moein. Tampak foto topless antara Max beserta perempuan yang usianya jauh lebih muda. Max berdalih bahwa foto tersebut adalah foto lama yang diambil ketika dirinya akan berenang. Namun tak lama setelah itu, Max dituduh melakukan pelecehan seksual kepada mantan asistennya di DPR bernama Desi Vidyawati. Desi mengaku dirinya dipaksa bugil, sering mengalami pelecehan seksual, bahkan diperkosa oleh Max, dan membuat Desi mengalami trauma psikologis.
Max membantah keras tuduhan tersebut. Namun kenyataan berbicara lain, Badan Kehormatan (BK) akhirnya memecat Max Moein dari keanggotaan di DPR atas alasan pelanggaran etika.
Tak hanya itu di medio 2012, mencuat mencuat video asusila yang 'pemainnya' mirip dua anggota DPR. Dalam video yang kemudian beberapa adegannya difoto dan beredar di dunia maya, terlihat keduanya tengah melakukan adegan percintaan.

Skandal seks tak hanya terjadi di Indonesia, namun juga negara-negara lain. Amerika bahkan tak lepas dari perhatian publik karena cukup menggemparkan. Misalnya saja skandal antara Presiden Bill Clinton dengan seorang pegawai magang Gedung Putih bernama Monica Lewinsky pada tahun 1997. Skandalnya itu bahkan dikenal dengan sebutan Lewinsky Scandal.. Akibat kasus ini, Clinton hampir saja kehilangan pekerjaannya. Lewat yang diserahkan kepada DPR AS, Presiden Clinton saat itu dianggap melakukan tindakan yang memungkinkan dirinya untuk dipecat dari jabatannya sebagai Presiden AS. Clinton dinyatakan bersalah dalam dua hal, yakni memberikan sumpah palsu dan mengganggu upaya penegakan hukum.

Beda lagi dengan Perdana Menteri Italia MilanSilvio Berlusconi. Ia dituduh melakukan skandal seks dengan perempuan di bawah umur. Belusconi juga dituduh membayar pekerja seks asal Maroko, Karima El Mahroug yang diketahui masih di bawah umur pada tahun 2010, saat ia masih menjabat sebagai Perdana Menteri. Kala itu sang 'pelayan nafsu' masih berusia 17 tahun. Belusconi memang dikenal flamboyant dan sering mengadakan pesta seks di kediaman mewahnya di sekitar kota Milan.

Isu perselingkuhan juga menerpa Presiden Prancis Francois Hollande. Ia dikabarkan terlibat perselingkuhan panas dengan seorang aktris bernama Julie Gayet. Namun Hollande tidak terima gosip tersebut dan mempertimbangkan mengambil langkah hukum.

Pada akhirnya, para politisi dan para pejabat publik memang harus pandai-pandai menjaga sikap. Sebab segala polah tingkah anggota DPR akan disorot publik. Skandal seks bisa menjadi salah satu senjata untuk menghancurkan karir politik seseorang. Namun tentunya sebagai pejabat publik dan politisi, sudah barang tentu harusnya mereka memberi contoh suri tauladan yang baik bagi publik.