Saturday, 31 May 2014

Pemerintah Percepat Ijin Proyek IDD, Akankah Proyek Migas Lain Menyusul?

Kabar bahagia buat pelaku industri migas, pemerintah akan mempercepat proposal perijinan pengembangan proyek Indonesian Deepwater Development (IDD) di Selat Makassar milik Chevron. Pemerintah mentargetkan beberapa minggu ke depan perizinan yang dibutuhkan dapat diselesaikan sehingga produksi gas dari proyek tersebut bisa dimulai pada tahun 2016, dua tahun lebih cepat dari perkiraan proyek yang akan molor ke tahun 2018, meski setahun terlambat dari rencana awal. Untuk itu, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) akan secepatnya melakukan audit terkait perubahan plan of development baru yang diajukan, sehingga proses eksplorasi bisa segera dilakukan.

Keputusan itu diambil setelah Menteri Koordinator Perekomian yang baru Chairul Tanjung –akrab dipanggil dengan CT- mendengar keluhan Chevron yang merasa kesulitan untuk berinvestasi sebesar $12 miliar, padahal ijin sudah disampaikan sejak 2008. Maka 30 Mei 2014, Chairul Tanjung mengelar rapat koordinasi tersebut yang melibatkan sejumlah instansi terkait, seperti Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Badan Koordinas Penanaman Modal (BKPM), Satuan Khusus Kerja Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas), dan Kementerian Keuangan, serta BPKP.

Proyek IDD adalah salah satu proyek gas andalan pemerintah di masa mendatang. Proyek tersebut seharusnya sudah mulai berproduksi pada 2015 namun terhambat masalah perijinan karena adanya pembengkakan nilai proyek hampir 100 persen dari sebelumnya $6,9 miliar menjadi $12 miliar. Perubahan angka investasi tersebut terkait dengan lamanya proses perizinan, perubahan kurs dan biaya eksplorasi dari pengajuan awal pada 2008.

Namun angka tersebut tidak serta merta disetujui karena terkait dengan mekanisme cost recovery yang dianut Indonesia. Melalui mekanisme ini, maka pemerintah harus mengganti uang investasi yang dikeluarkan oleh investor. Maka dari itulah persetujuan perubahan plan of development menjadi terganjal. SKK Migas meminta pihak ESDM untuk memberikan persetujuan namun hal tersebut tak kunjung keluar. Padahal 2015 sudah di depan mata.

Chairul Tanjung mengakui molornya proyek itu salah satunya disebabkan terjadinya serentetan kasus di dalam Kementerian ESDM dan khususnya SKK Migas. Mulai dari perubahan BP Migas menjadi SKK Migas, hingga kasus korupsi di tubuh Kementerian ESDM dan SKK Migas, menjadi hambatan utama realisasi proyek itu.
Menurut Chairul, jika proyek tersebut jalan, pemerintah akan mendapatkan pendapatan yang cukup signifikan. Sedang di satu sisi, cadangan gas Indonesia akan bertambah signifikan seiring dengan meningkatkan kebutuhan gas domestik.

Sebenarnya masalah ini tak hanya terjadi di IDD, namun juga proyek migas lain yang membutuhkan persetujuan pemerintah dengan cepat. Sebut saja, proyek hulu yang dimotori oleh Pertamina, yaitu Blok East Natuna. Proyek pengerjaan gas di Blok East Natuna tersebut akan menjadi proyek gas besar di Indonesia, selain Blok Masela di Maluku. Masalahnya proyek yang digadang-gadang sebagai salah satu pemasok gas andalan Indonesia di masa mendatang itu hingga kini terkatung-katung, padahal rencana awalnya Natuna diharapkan bisa mulai konstruksi tahun ini sehingga produksi awal diperkirakan tahun 2018.

Namun apa daya, proyek tersebut masih mengalami kendala dengan terganjalnya insentif yang belum keluar dari Kementerian Keuangan. Salah satu insentif yang masih mengganjal adalah insentif pembebasan pajak (tax holiday) selama lima tahun yang diminta oleh konsorsium Blok East Natuna. Permintaan tax holiday yang diminta oleh konsorsium betujuan agar proyek dapat mencapai internal rate of return (IRR) 12 persen. Namun hingga kini Kementrian Keuangan belum mengabulkan proposal tersebut karena menganggap tax holiday dalam industri migas sudah masuk dalam cost recovery.

Tanpa adanya persetujuan dari Kementrian Keuangan, maka Kontrak Kerja Sama Blok East Natuna antara Pertamina dan pemerintah tidak dapat ditandatangani. Molornya penandantangan tersebut juga akan mengakibatkan mundurnya pengerjaan proyek blok ini. Kini, nasib proyek tersebut masih terkatung-katung menanti kejelasan Kementerian Keuangan terkait insentif.

Selain Natuna, juga ada Blok Mahakam yang hingga kini masalah perpanjangan kontraknya yang akan habis tahun 2017 belum jelas. Padahal proposalnya juga diajukan pada tahun 2008. Total dan Inpex juga komit untuk menanamkan modal sebesar $7,3 miliar hingga 2017.

Saat ini Total E&P menginjeksikan dana sebesar US$ 2,5 miliar per tahun untuk menahan laju penurunan produksi yang bisa mencapai 50 persen per tahun. Pada tahun ini, Mahakam diperkirakan bisa memproduksi di level 1,6-1,7 miliar kaki kubik per hari. Sedangkan pada tahun lalu, blok yang terletak di Kalimantan Timur itu berhasil memproduksi 11 persen di atas target yang ditetapkan bersama SKK Migas.

Total sendiri bukan tidak menyadari pentingnya Pertamina untuk hadir dalam pengelolaan Mahakam pasca 2017. Maka dalam proposalnya, Total mengajukan joint operatorship selama masa transisi lima tahun pertama. Di masa transisi itulah otal akan mentransfer ilmunya sehingga Pertamina dapat mengoperasikan Mahakam sendiri pada suatu saat.

Dengan demikian jika pemerintah memutuskan untuk memperpanjang Total sekaligus memberi tempat untuk Pertamina di Mahakam, percayalah.itu tidak ada urusannya dengan nasionalisme. Keberadaan perusahaan-perusahaan asing di negeri tidak akan membuat paham nasionalisme kita luntur karena bagaimanapun kita harus menyadari, bahwa Indonesia masih membutuhkan investasi dan teknologi.

Thursday, 22 May 2014

Pembatasan Kepemilikan Asing di Sejumlah Sektor, Akankah Ganggu Kegiatan Eksplorasi Migas?

Sebelum berakhirnya masa pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid Dua pada Oktober mendatang, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada akhir bulan lalu mengeluarkan peraturan presiden mengenai daftar investasi negatif (Investment Negative List). Yang menjadi pertanyaan, perpres ini tidak diumumkan ke publik secara terbuka, seperti misalnya melalui konferensi pers, melainkankan hanya diumumkan melalui situs Sekretaris Kabinet. Lebih jauh, aturan ini dikhawatirkan bisa mengganggu kegiatan eksplorasi dan produksi di masa mendatang.

Perpres nomer 39 Tahun 2014 merupakan revisi dari Perpres No 36 tahun 2010 yang berisikan daftar bidang usaha yang tertutup dan terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman modal. Salah satu bidang yang diatur tersebut adalah sektor energi, meski terbatas pada bidang konstruksi dan pengeboran. Disitu dijelaskan terdapat sejumlah bidang yang hanya dikhususkan untuk pengusaha dalam negeri.

Perpres tersebut terbagi dalam tiga grup bisnis, yaitu bidang usaha tertutup; bidang usaha terbuka dengan persyaratan yaitu bidang usaha yang dicadangkan untuk Usaha Kecil Menengah dan Koperasi, bidang usaha yang dipersyaratkan dengan kemitraan, dan bidang usaha yang yang dipersyaratkan dengan kepemilikan modal, lokasi tertentu dan perizinan khusus; serta bidang usaha yang terbuka.
Regulasi ini diterbitkan untuk lebih meningkatkan penanaman modal di Indonesia, dan dalam rangka pelaksanaan komitmen Indonesia dalam pelaksanaan ASEAN Economic Community (AEC), seperti yang dikutip dari situs Sekretariat Kabinet.

Di sektor energi, pemerintah juga melakukan deliberalisasi, yakni mengurangi porsi kepemilikan maksimal saham asing di sejumlah sektor, seperti pembangkit tenaga listrik skala kecil, dan jasa pemboran migas di darat (onshore). Jasa pengeboran migas untuk onshore hanya boleh dilakukan oleh perusahaan migas yang dimiliki lokal 100 persen, padahal sebelumnya tidak ada aturan baku mengenai  hal kepemilikan tersebut. Selain itu perusahaan asing hanya boleh memiliki saham maksimal 75 persen di usaha pengeboran laut (offshore), turun dalam dari ketentuan sebelumnya sebesar 95 persen.

Sementara di sektor kelistrikan, pemerintah membuka kesempatan asing untuk membangun pembangkit listrik,  terutama pembangkit tenaga listrik dengan skala 10 megawatts (MW), kesempatan untuk Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS) 100 persen selama konsesi, transmisi KPS 100 persen dan non KPS 95 persen. Untuk distribusinya, KPS sebesar 100 persen dan non KPS 95 persen.

Menanggapi hal tersebut pro dan kontra segera bermunculan. Sejumlah pengamat menilai bahwa aturan tersebut tidak efektif, bahkan menyarankan pemerintah baru untuk menelaah urgensinya perpres ini. Timbul kekhawatiran adanya pembatasan kepemilikan asing di suatu jasa pengeboran akan mengganggu jalannya kegiatan eksplorasi dan produksi. Misalnya ketika seluruh perusahaan dalam negeri telah mengisi kebutuhan tersebut, namun masih dibutuhkan perusahaan lain yang artinya hanya harus berasal dari luar negeri.

Padahal, lanjut anggota Komisi VII DPR RI tersebut, Indonesia harus menggenjot habis-habisan kegiatan eksplorasi dan produksi untuk meminimalisir impor bahan bakar minyak (BBM) dan minyak mentah. Jika aturan tersebut ternyata hanya mengganggu kegiatan hulu migas, maka aturan ini harus segera diamendemen.

Selain itu ada pihak lain yang menilai aturan tersebut kurang jelas dan harus diperjelas, misalnya mengenai boleh tidaknya suatu barang diimpor atau tidak. Jika memang diperbolehkan diimpor, maka aturan tersebut dinilai sama sekali tidak efektif. Dan yang paling penting, kemampuan perusahaan lokal juga diragukan. Apalagi standarisasi perusahaan lokal dengan perusahaan kelas internasional jelas berbeda. Ditakutkan apa yang digarap oleh perusahaan nasional ini tidak dapat memenuhi spesifikasi suatu perusahaan migas. Bahkan lebih jauh dikhawatirkan jika aturan tersebut hanya akan menguntungkan segelintir pihak yang bermodal saja.

 Masih ada waktu beberapa bulan untuk melihat bagaimana implikasi aturan tersebut terhadap dunia usaha, khususnya migas. Jika memang benar-benar lebih banyak membawa mudharat ketimbang manfaat, maka pemerintah baru harus segera melakukan revisi.

Tuesday, 20 May 2014

Pertamina, Total dan Mahakam

Pertamina, Total dan Mahakam adalah tiga hal yang tak dapat dipisahkan. Ketiganya berkaitan erat karena adanya masalah perpanjangan kontrak kerjasama pengelolaan blok migas dan tarik menarik hak pengelolaan (operatorship) blok tersebut.

Sebetulnya ini adalah kasus lama, namun menjadi tidak jelas juntrungannya karena kunjung tidak ada kepastian dari pemerintah. Sementara waktu Kabinet Indonesia Bersatu Jilid Dua akan segera berakhir pada Oktober 2014, menyisakan pertanyaan: akankah kasus Mahakam bisa dituntaskan sebelum Oktober tiba?

Baru-baru ini Direktur Hulu Pertamina (Persero) Muhammad Husen mengatakan bahwa pihaknya sudah tiga kali mengirim surat ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral yang menyatakan kesiapan mengelola Blok Mahakam. Husen menilai bahwa sebagai badan usaha milik negara, Pertamina harus mendapatkan hak istimewa untuk dapat mengelola blok tersebut seratus persen. Terlebih sudah 50 tahun blok tersebut dikelola oleh asing.

Pertamina sendiri mengaku optimis dapat menggenjot produksi Blok Mahakam usai kontraknya saat ini habis pada 2017. Perusahaan plat merah itu sudah menyiapkan dana yang besar dan sumber daya manusia (SDM) dan lainnya untuk mengelola blok migas yang sampai saat ini menjadi produksi gas bumi paling besar di Indonesia. Apalagi Pertamina juga mengklaim bahwa pihaknya telah berhasil meningkatkan produksi di dua blok yang diambilalih, yaitu Offshore North West Java (ONWJ) dan West Madura Offshore (WMO). Kedua blok inilah yang dijadikan indikator akan berhasilnya Pertamina dalam meningkatkan produksi Mahakam.

Sebetulnya Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan juga menyokong keinginan Pertamina tersebut. Menurutnya Pertamina mampu dan mumpuni dalam mengelola Mahakam.

Padahal sebelumnya Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Susilo Siswoutomo mengatakan mengambilalih Mahakam tidak lah mudah. Untuk itu Pertamina disarankan untuk menggandeng partner lain mengingat kompleksitas dan tingginya pengelolaan blok tersebut.

Menurutnya, ada tiga prinsip dasar yang dipegang pemerintah dalam menentukan perpanjangan PSC (production sharing contract). Pertama, kata dia, semua KKKS yang sudah berakhir masa kontraknya secara legal harus dikembalikan ke negara.Kedua, prinsip operasi tidak boleh berhenti. Kalau dalam evaluasi belum diputuskan, pemerintah biasanya menugaskan sementara operator yang mengoperasikan kontrak kerjasama tersebut. Adapun prinsip ketiga, adalah pemerintah mengharapkan perusahaan minyak nasional bisa maksimal mengoperasikan sumur-sumur minyak dalam negeri.

Selain Pertamina, operator Mahakam saat ini, yakni Total E&P Indonesia juga menyatakan minatnya untuk memperpanjang kontrak tersebut. Meski kontrak Blok Mahakam baru akan usai tahun 2017, Total sudah menyerahkan proposal perpanjangan pada tahun 2009 atau delapan tahun sebelum kontrak habis. Melihat karakateristik Mahakam, maka sudah selayaknya investor memerlukan kepastian investasi jauh sebelum kontrak berakhir. Ini terkait dengan rencana pengembangan yang berpengaruh pada produksi.

Sepinya tanggapan pemerintah, membuat Total mengajukan kembali proposal pengelolaan Mahakam pada Agustus tahun silam. Intinya Total dan Inpex bersedia menurunkan porsi sahamnya dari 50 persen menjadi 35 persen, serta memberi peluang bagi Pertamina untuk bersama-sama menggarap Blok Mahakam pada masa transisi lima tahun pertama pasca 2017. Total juga memiliki itikad baik dengan bersedia memberikan transfer teknologi kepada Pertamina. Dan yang tak kalah penting, perusahaan asal Perancis tersebut bersedia menggelontorkan investasi sebesar $7,3 miliar hingga 2017 untuk menahan laju penurunan produksi. Total akan berupaya untuk mempertahankan produksi gas mencapai 1.760 MMSCFD (juta kaki kubik) dan kondensat di sekitar 66.000-67.000 barrel per hari.


Namun, apapun itikad baik itu pemerintah tak bergeming. Belakangan malah ada keputusan bahwa menteri dilarang memberikan keputusan strategis di masa menjelang pemilihan presiden. Dengan demikian hampir bisa dipastikan bahwa masalah Mahakam akan diputuskan oleh pemerintahan baru. Siapapun presiden baru nanti, mohon diingat bahwa masalah migas tidak hanya bisa dilesaikan oleh nasionalisme yang kebablasan, melainkan harus dengan kepala dingin. Bagaimanapun hitung-hitungan di atas kertas tetap diperlukan. Dan keterlibatan operator lama juga tetap harus diikutsertakan untuk memastikan bahwa pendapatan negara tidak tergoncang.

Yang patut menjadi perhitungan pula adalah kemampuan finansial Pertamina. Dengan dana sebesar $2,5 miliar per tahun -sama seperti yang dikeluarkan Total dan Inpex saat ini_ apakah akan menyebabkan keuangan Pertamina collapse? Pasalnya ditakutkan, jika dana investasi Pertamina tersedot di Mahakam, maka pengelolaan blok-blok yang lain akan terbengkalai. Dan juga bisa mengganggu rencana akusisi Pertamina di luar negeri. Jangan sampai malah merusak target produksi Pertamina sebesar 2,2 juta barrel per hari pada 2020 nanti.


Wednesday, 7 May 2014

2025, Indonesia Calon Negara Pengimpor Minyak Terbesar di Asia Tenggara

Tingginya konsumsi bahan bakar minyak nasional yang tidak dibarengi dengan tingkat produksi nasional mengancam Indonesia menjadi negara pengimpor minyak terbesar di Asia Tenggara pada tahun 2025. Jika ini terjadi, jangan harap masyarakat bisa menikmati tarif listrik murah dan harga BBM yang jauh dari harga pasar. Konsekuensinya, harga bahan pokok akan melambung tinggi. Pffft.

Krisis energi tengah mengintai Indonesia. Menurut data Indonesia Petroleum Association (IPA), kesenjangan antara permintaan dengan jumlah pasokan minyak dan gas bumi yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Penurunan produksi minyak memang menjadi concern para investor. Padahal penurunannya sangat mempengaruhi pendapatan negara dari sektor migas. Meski demikian, alih-alih segera mempercepat segala sesuatunya agar injeksi dana itu direalisasikan, tindakan pemerintah malah kontraproduktif terhadap iklim investasi di negara ini. Padahal Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjanjikan iklim investasi yang lebih menarik dan kondusif bagi investor. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah memperbaiki proses perizinan investasi di Indonesia. Namun itu saja tak cukup karena yang investor inginkan bukanlah hanya janji, melainkan realisasi.

Sejak 2012 misalnya, Indonesia telah kekurangan pasokan minyak bumi sebesar 800.000 barel per hari lantaran 200.000 barel dari total lifting nasional sebesar 804.000 barel per hari diekspor oleh Kontraktor Kerja Sama (KKS) migas. Akibatnya, kebutuhan minyak nasional yang mencapai 1,4 juta barel per hari hanya dapat dipenuhi sekitar 600.000 barel per hari. Untuk menutupi gap tersebut mau tak mau pemerintah harus mengimpor. Diperkirakan pada tahun 2020, gap antara konsumsi dan produksi mencapai 2 juta barel per hari.
Saat ini tingkat penemuan cadangan minyak baru dari stok produksi minyak tahun 2013 hanya 46,6 persen, artinya cadangan minyak Indonesia semakin berkurang. Bagaimana cara mengatasinya? Tak lain dan tak bukan hanya dengan eksplorasi. Kekurangan sumber daya migas hanya dapat dipenuhi dengan eksplorasi sumber baru. Yang patut menjadi perhatian adalah minimnya kegiatan eksplorasi di negara ini. Misalnya saja per April 2014, pengeboran atau drilling yang sudah dijalankan baru menghasilkan 23 dari total target 206 sumur baru atau hanya 11 persen dari target.
Sementara menurut catatan Satuan Kerja Khusus Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), hingga kuartal keempat 2013 dari 186 Wilayah Kerja (WK) eksplorasi migas konvensional telah mengeluarkan investasi total sebesar US$ 7 miliar. Pada tahun 2013, terdapat temuan hidrokarbon pada 10 WK eksplorasi dengan perkiraan potensi cadangan mencapai 1,25 BBOE. Sementara pada tahun ini, sampai dengan awal Mei sudah terdapat penemuan-penemuan baru dari 3 WK Eksplorasi dengan perkiraan jumlah cadangan sebesar 0,183 milliar barrel ekuivalent minyak (BBOE). Sehingga total perkiraan potensi cadangan dari WK Eksplorasi adalah sebesar 1,44 BBOE dari total 13 Kontraktor KKS WK Eksplorasi.
Selama ini investor lebih banyak menanamkan investasinya untuk kegiatan produksi karena memang lebih menjanjikan alias tidak banyak menanamkan uangnya untuk eksplorasi. Hal ini bisa dilihat dari tren investasi migas yang sebenarnya menunjukkan kenaikan dari tahun ke tahun. Misalnya di tahun 2009 investasi tersebut mencapai US$ 12 miliar, kemudian di 2013 naik menjadi US$ 20,3 miliar. Mengapa banyak investor fokus ke kegiatan eksploitasi daripada eksplorasi? Tak lain karena di sektor produksi pemerintah akan mengganti sebagian investasi tersebut melalui mekanisme cost recovery, sementara di sisi eksplorasi, semua resiko ditanggung investor.
Menurut SKK Migas, eksplorasi migas saat ini memang banyak tantangan, diantaranya : kendala perijinan; tumpang tindih lahan; peraturan perundang-undangan yang menempatkan investasi eksplorasi tidak mendapat perlakuan khusus.
Tak hanya karena faktor resiko yang tinggi, faktor biaya eksplorasi di Indonesia jauh lebih mahal dibandingkan negara lain juga turun menjadi penyebabnya sepinya kegiatan eksplorasi di negara ini. Masih menurut IPA, biaya pengeboran (drilling cost) di Indonesia lebih mahal sekitar 2 sampai 2,5 kali lipat daripada di luar negeri, misalnya negara kawasan Timur Tengah.
Melihat kondisi darurat ini, pemerintah harus segera melakukan terobosan untuk meningkatkan kegiatan eksplorasi. Misalnya dengan memberikan paket insentif yang menarik dengan memberikan porsi bagi hasil yang lebih besar, memberikan kemudahan perijinan dan memberikan kebebasan pajak bea masuk untuk seluruh barang-barang eksplorasi.

Sementara secara umum, pemerintah harus memberikan kepastian hukum agar investor tidak hengkang dari negara ini. Dan yang tak kalah penting adalah memberikan kepastian investasi, misalnya terkait perpanjangan kontrak sejumlah blok, termasuk kasus Mahakam, yang telah terkatung-katung sejak lama. Tanpa terobosan, maka ancaman menjadi negara pengimpor terbesar di Asia Tenggara bisa menjadi kenyataan.

Tuesday, 6 May 2014

Menyoal Masuknya Indonesia ke Peringkat 10 Perekonomian Dunia

tempo.co
Indonesia ditetapkan Bank Dunia (World Bank) sebagai negara yang menduduki peringkat ke-10 perekonomian dunia. Kabar baik yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu ibarat angin segar di tengah panasnya hiruk pikuk situasi politik negara ini. Meski di satu sisi banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan pemerintah untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif.

Menurut SBY, peringkat ekonomi Indonesia tahun ini berada di bawah sembilan negara, yakni Amerika Serikat, Cina, India, Jepang, Jerman, Rusia, Brasil, Prancis, dan Inggris. Hal tersebut tercermin dari segi gross domestic product (pendapatan domestik bruto) dan purchasing power imparity (paritas daya beli). Namun demikian, menurut presiden, jalan Indonesia untuk menjadi negara maju masih panjang karena masih banyak yang harus dibenahi.

Menurut vivanews, di tengah krisis global pada kurun waktu 2010-2012, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tumbuh rata-rata di atas 6 persen. Bahkan pada 2012, ekonomi Indonesia tumbuh 6,23 persen sehingga dunia menempatkan Indonesia sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi kedua di dunia setelah Tiongkok yang tumbuh 7,7 persen.
 Malaysia hanya tumbuh 5,3 persen, Singapura 1,5 persen, Vietnam 4,4 persen, dan Thailand 2,6 persen. Sebagian negara malah ada yang minus. Dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, maka iklim investasi di Indonesia diharapkan akan semakin kondusif.

Meski demikian, pengamat ekonomi menilai  Didik Rachbini menilai bahwa pertumbuhan Indonesia sebenarnya mengalami penurunan. Salah satu indikatornya adalah masih tingginya ketergantungan terhadap impor bahan bakar minyak (BBM) dan minyak mentah. Selain itu, untuk penyelamatan ekonomi, Bank Indonesia (BI) telah menaikkan suku bunga acuan sejak lima kali dari pertengahan 2013 lantaran melemahnya rupiah terhadap dolar AS.


Lepas dari itu semua, apa yang disampaikan SBY bahwa, jalan Indonesia untuk menjadi negara maju benar adanya. Iklim investasi Indonesia masih jauh dari kondusif. Sebut saja misalnya di sektor minyak dan gas.

Iklim investasi migas bisa dibilang masih jauh dari ideal. Masih terlalu banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh pemerintah saat ini. Namun mengingat waktu yang tersisa untuk Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 2 hanya tingga beberapa bulan lagi, tampaknya agak sulit untuk menyelesaikan seluruh PR yang dapat meningkatkan iklim investasi tersebut.

Dalam beberapa kali kesempatan, sejumlah investor menyerukan pentingnya peningkatan produksi migas nasional. Penyedotan sumber daya alam yang ada harus diimbangi dengan penemuan minyak dan gas yang baru. Jika tidak, maka Indonesia akan menjadi negara pengimpor selamanya.

Penurunan produksi minyak memang menjadi concern para investor. Apalagi penurunan kedua komoditi ini akan sangat mempengaruhi pendapatan negara dari sektor migas. Meski demikian, alih-alih segera mempercepat segala sesuatunya agar injeksi dana itu direalisasikan, tindakan pemerintah malah kontraproduktif terhadap iklim investasi di negara ini. Padahal Presiden SBY menjanjikan iklim investasi yang lebih menarik dan kondusif bagi investor. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah memperbaiki proses perizinan investasi di Indonesia. Namun itu saja tak cukup karena yang investor inginkan bukanlah hanya janji, melainkan realisasi.

Misalnya saja, soal kepastian hukum. Investor menilai pemerintah Indonesia sering kali tidak konsisten terhadap kontrak. Sering kali ada kebijakan-kebijakan tertentu yang muncul belakangan setelah kontrak ditandatangani. Tentunya ini akan menyulitkan investor dan memberikan iklim investasi yang tidak kondusif.

Hal lain yang turut menjadi perhatian adalah pentingnya pemerintah untuk dapat mengambil keputusan strategis secara cepat. Misalnya saja terkait perpanjangan kontrak sejumlah blok, termasuk kasus Mahakam.  Blok Mahakam adalah salah satu blok penghasil gas terbesar di Indonesia. Saat ini Mahakam memproduksi 1,7 miliar kaki kubik gas. Dengan sejumlah pengembangan lapangan di blok tersebut, sang operator Total memperkirakan akan dapat menahan laju penurunan produksinya di level 1,1 miliar kaki kubik per hari pada 2017 melalui injeksi investasi sebesar $7,3 miliar. Namun tanpa pengembangan lapangan apa pun, maka produksi gas Mahakam akan jeblok ke level 800.000 kaki kubik per hari. Total sendiri pernah menyatakan komitmennya untuk menginjeksikan dana sebesar $7.3 miliar hingga tahun 2017 –ketika kontrak Mahakam berakhir-. Namun hingga kini pemerintah belum memberikan kepastian.


Jika Indonesia ingin menjadi negara maju, maka pemerintah harus berani mengambil keputusan yang out of the box selama tidak merugikan negara. Tanpa adanya keputusan yang cepat dan berani, mustahil Indonesia bisa melepas predikatnya sebagai negara berkembang meski telah merdeka sejak tahun 1945.