Sunday, 29 June 2014

Mengkhawatirkan, Kampanye Hitam Pilpres di Indonesia

Dalam hitungan hari Indonesia akan menghadapi Pemilihan Presiden. Siapapun yang terpilih nanti, entah capres Joko Widodo (Jokowi) atau Prabowo Subianto , akan menduduki kursi nomor satu di Republik dalam tempo lima tahun ke depan.

Meski demikian, tanpa mengindahkan bahwa mereka lah dua orang terbaik di negeri ini, dalam beberapa bulan belakangan sejumlah pihak heboh melancarkan kampanye hitam, baik di media sosial maupun koran-koran baru yang tak dikenal.

Kampanye hitam itu diantaranya memberikan ekspose pemberitaan negatif bagi kedua belah pihak. Dibandingkan dengan Prabowo, kampanye hitam bagi kubu Jokowi lebih mendominasi. Isunya bermacam-macam, dari mulai capres boneka, isu agama, isu ras hingga kutu loncat. Kok lucu loncat? Ya tak lain karena cepatnya perpindahan Jokowi dari Walikota Solo menjadi Gubernur DKI Jakarta, meski masa pemerintahannya belum usai.

Terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta di tahun 2012, Jokowi harusnya masih mengemban amanat hingga 2017, namun nyatanya di tengah jalan ia malah ia menerima ketika dicalonkan oleh PDI Perjuangan untuk maju sebagai calon wapres. Padahal sebelumnya ketika ditanya Jokowi selalu berkilah dengan ucapan, "Copras capres. Bosen." Jokowi dinilai munafik. Tak hanya itu, banyak pihak yang mengkritik kinerja Jokowi yang dinilai belum banyak terlihat di Jakarta. Hal itu, menurut mereka, bisa dilihat dari angka kemacetan di ibukota yang masih tinggi dan banjir yang belum bisa diatasi dengan baik.

Padahal jika dengan akal sehat, tentunya kita paham, membereskan kemacetan dan banjir di ibukota ini akan membutuhkan waktu yang lama. Selain itu juga dibutuhkan turutcampur dari pemerintah pusat agar kebijakan pemda bisa berjalan. Ambil contoh: adanya kebijakan mobil murah sudah diprotes oleh Jokowi dan Ahok karena akan memperparah kemacetan di Jakarta. Namun pemerintah tidak mengindahkannya. Bukankah ini kebijakan kontraproduktif?

Sementara dari sisi SARA, Jokowi santer disebutkan sebagai turunan ras China. Entah apa yang mendasarkan isu tersebut. Bukankah kita tetap Bangsa Indonesia? Belum lagi tiba-tiba terbitlah tabloid Obor Rakyat yang menjelekyatakan Jokowi sebagai calon presiden boneka dan tak beragama Islam.

Tak hanya itu, revolusi mental yang kerap didengungkan Jokowi juga dianggap sebagai adopsi dari ideologi komunis. Pasalnya Karl Marx gunakan istilah 'Revolusi Mental' pada tahun 1869 dalam karyanya Eighteenth Brumaire of Louis Bonapartem. 'Revolusi Mental' juga jadi tujuan May Four Enlightenment Movement di China 1919 diprakarsai Chen Duxui, pendiri Partai Komunis Cina.

Bagaimana tanggapan Jokowi? Jokowi menegaskan, alasan Revolusi Mental karena Indonesia tengah dilanda kebobrokan mental. Oleh sebab itu, perlu program pembangunan karakter sumber daya manusia.  

Sementara kampanye hitam yang menimpa kubu Prabowo tak jauh dari isu militerisme yang cenderung fasis, Hak Azazi Manusia (HAM) dan penculikan para aktifis yang terjadi pada tahun 1998. Prabowo ditengarai terlibat dalam aksi penculikan pada saat itu. Meski kubu Prabowo telah berulang-ulang membantahnya dengan mengatakan bahwa dicopotnya Prabowo dari jabatannya saat itu hanya sebagai bagian dari tanggungjawab seorang komandan atas perilaku anak-anak buahnya.

Kampanye hitam itu ternyata cukup memberikan efek negatif. Misalnya Lingkaran Survei Indonesia baru-baru ini memaparkan bahwa elektabilitas Joko Widodo-Jusuf Kalla unggul tipis dibanding Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Peneliti Lingkaran Survei, Fitri Hari, mengatakan elektabilitas Jokowi-Kalla sebesar 45 persen dan Prabowo-Hatta 38,7 persen. Tingkat keterpilihan Jokowi-Kalla belakangan cenderung tak mengalami kenaikan. Sedangkan sebaliknya, persentase elektabilitas Prabowo-Hatta malah melejit.

Padahal sebelumnya, hasil survei Lembaga Survei Indonesia dan International Foundation for Electoral System menunjukkan selisih elektabilitas Jokowi dan Prabowo hanya terpaut sekitar 4 persen. Dalam survei yang digelar 1-10 Juni terhadap 2.009 responden itu, tingkat keterpilihan Jokowi sebesar 43 persen dan Prabowo 39 persen.

Namun Ketua tim pemenangan Prabowo-Hatta, Mahfud Md., membantah Jokowi paling dirugikan akibat kampanye hitam. Dia mengklaim Prabowo juga dirugikan oleh kampanye hitam dari kubu lawan. Mahfud menilai polisi harus bertindak mengusut semua kampanye hitam agar dapat diselesaikan secara hukum.


Lepas dari itu semua. Saya pribadi menilai kampanye hitam itu lebih banyak mudhorotnya daripada manfaatnya. Akan lebih baik jika masing-masing kubu mengedepankan visi, misi dan program-program sehingga masyarakat mengenal betul calon pemimpin mereka. Bagaimanapun, kembali lagi. Salah satu dari mereka akan menjadi pemimpin kita. Dan pemimpin itu juga manusia, yang tak luput dari kesalahan.

Wednesday, 18 June 2014

Debat Capres Indonesia: Prabowo Fokus Ke Kebocoran, Jokowi Perbaikan Sistem

liputan6.com
Debat calon presiden Republik Indonesia masih menjadi tontotan yang menarik saat ini. Pada debat capres tahap kedua pada awal pekan ini, keduanya beradu konsep terkait masalah ekonomi. Calon presiden nomer satu Prabowo Subianto berjanji akan menanggulangi kebocoran anggaran di Indonesia, sementara Joko Widodo lebih menekankan pada perbaikan sistem.

Pada debat tersebut, Prabowo mengatakan terdapat kebocoran keuangan negara yang saat ini mencapai Rp 1.000 triliun. Padahal jika ditangani dengan baik dapat dialokasikan untuk biaya-biaya lain, seperti kesehatan, pendidikan dan juga peningkatan kegiatan ekonomi. Untuk itu pihaknya berjanji untuk menuntaskan masalah kebocoran tersebut.

Yang menjadi masalah, selain angkanya yang masih menjadi pro dan kontra, ternyata pengungkapan hal tersebut malah bisa diartikan sebagai gagalnya mantan Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa pada pemerintahan saat ini.

Dalam debat capres tersebut, Prabowo berkali-kali menyebutkan besaran angka kebocoran tersebut. Menurutnya, Dewan Pakar Gerindra meyakini kebocoran APBN per tahun mencapai Rp 1.000 triliun. Mantan Danjen Kopassus itu bahkan menyebut kebocoran versi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang lebih besar lagi karena mencapai Rp 7.200 triliun. Namun tidak disebutkan sektor apa saja yang bocor dan bagaimana cara menambal kebocorannya.

Kontan saja, sejumlah pihak merasa keberatan dengan adanya pernyataan tersebut. Angka tersebut dinilai terlalu bombastis, teramat besar dan tidak masuk akal. Sementara KPK mengaku belum pernah mengeluarkan data empiris terkait angka tersebut. Namun ternyata Ketua KPK Abraham Samad akhirnya buka suara bahwa angka Rp 7,200 trilliun tersebut belum menjadi kebocoran, melainkan baru potensi penerimaan yang hilang. Angka tersebut bisa diselamatkan negara jika sistem pengelolan Sumber Daya Alam sudah diperbaiki.

Pihak lain menyatakan bahwa gagasan yang disampaikan Prabowo tersebut malah menjadi ancaman bagi pihaknya. Selain itu juga tamparan keras bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sekaligus Hatta Rajasa yang dinilai gagal mengatasi kebocoran penerimaan anggaran.

Bagaimana dengan Jokowi? Jokowi berkomitmen memaksimalkan penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan juga menciptakan sistem yang akurat untuk menghindari kebocoran. Jokowi menilai, untuk mencegah kebocoran anggaran, semua sistem di pemerintahan harus dibuat berbasis IT.

Semua sistem yang telah ia terapkan di Jakarta akan diterapkan pula secara nasional, misalnya saja e-budgeting, e-purchasing, dan, e-audit.

Jokowi yakin jika semua sistem telah berbasis IT, maka celah melakukan korupsi akan tertutup. Sehingga APBN dapat benar-benar digunakan untuk menaikkan kesejahteraan rakyat.



Jokowi juga menekankan pentingnya kartu sehat bagi masyarakat miskin. Kartu ini memang telah dipopulerkan di Jakarta semasa Jokowi menjadi Gubernur DKI Jakarta. Pengaplikasiannya cukup efektif karena banyak masyakat miskin yang merasa terbantu dengan adanya kartu tersebut.

Meski demikian kritikan juga menimpa kubu Jokowi. Banyak yang menilai bahwa apa yang dilakukan Jokowi itu menampakkan bahwa dirinya hanya mampu sebatas walikota saja karena yang diterangkan terlalu aplikatif. Padahal pendukung Jokowi malah melihat hal tersebut lebih realistis ketimbang Prabowo yang terlihat lebih teoritis.


Lepas dari itu semua, alangkah baiknya jika kita melihatnya dari sisi positif dari debat dua capres tersebut. Misalnya harapan bahwa pemerintah baru nanti memperhatikan masalah kebocoran tersebut, lepas dari kebocoran tersebut sudah terjadi atau belum. Jika memang ada potensi pendapatan, maka pemerintah harus berusaha maksimal untuk meraih pendapatan tersebut guna membangunan negara ini ke arah yang lebih baik di masa mendatang. Lalu dengan kartu sehat itu, memang mungkin kurang begitu signifikan bagi masyarakat menengah ke atas, namun sangat berguna bagi masyarakat miskin. Alangkah baiknya pula kita memiliki pemimpin yang suka turun ke jalan sehingga paham kondisi real masyarakatnya. Sedangkan sistem memang Indonesia membutuhkan perbaikan sistem secara menyeluruh.

Monday, 16 June 2014

Mendesak, Kebijakan Energi Indonesia

Meski dikenal sebagai salah satu negara dengan sumber energi terbesar di dunia, Indonesia masih belum memiliki kebijakan energi nasional yang jelas. Kebijakan yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) diyakini sangat mendesak untuk dibuat karena dapat membuat kebijakan energi menjadi transparan, jelas dan terarah. Dengan demikian maka semua kebutuhan energi di seluruh pelosok Indonesia di masa mendatang akan dapat terpenuhi karena adanya pasokan dan alokasi sumber daya energi yang jelas.

Hal itulah yang menyebabkan Dewan Energi Nasional (DEN) mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk segera mengesahkan Kebijakan Energi Nasional (KEN) dalam PP. DEN berjanji bahwa nantinya pihaknya akan membuat aturan turunan tentang Rencana Umum Energi Daerah sehingga kebutuhan energi di seluruh Indonesia akan dapat terpenuhi.
Dengan demikian ke depannya tidak akan ada lagi kelangkaan listrik, tidak ada disparitas harga bahan bakar minyak (BBM), tidak ada kelangkaan gas dan tidak ada kelangkaan energi lainnya.

Tidak hanya itu, dalam rumusan KEN juga menekankan, pasokan energi nasional harus mampu mencukupi kebutuhan energi nasional secara menyeluruh.
Selain itu, adanya aturan ini diyakini akan dapat memacu pemerintah untuk menyeimbangkan infrastuktur dengan pengembangan energi di masa mendatang.

Saat ini sebenarnya Indonesia telah memiliki cetak biu (blue print) tentang bauran energi hingga tahun 2025. Indonesia pada 2005, energi fosil yang terdiri atas batubara, minyak, dan gas bumi masih menduduki 90 persen. Pada 2025, penggunaan energi fosil masih akan 83 persen, bahkan tingkat penggunaan batubara akan meningkat dari 15 persen menjadi 30 persen. Sementara tingkat bauran energi di tingkat dunia pada 2005 menempatkan energi fosil pada 81 persen, yang kemudian akan terus berkurang menjadi 75 persen pada 2030. Masalahnya banyak target-target bauran energi tersebut yang meleset dari target. Misalnya saja penggunaan konsumsi BBM yang diharapkan turun akibat peningkatan konsumsi  gas dan batubara untuk pembangkit listrik. Nyatanya banyak Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang molor mengakibatkan konsumsi BBM makin meningkat. Naiknya angka impor minyak pun tak terelakkan untuk naik.
Demikian pula dengan pengembangan energi alternative. Biodiesel masih jauh dari target, panas bumi masih terkendala soal aturan, sementara sumber-sumber energi lainnya, seperti air, surya masih sebatas angan-angan. Padahal jika saja sumber energi tersebut dikembangkan secara serius, maka konsumsi BBM nasional bisa sangat terbantu. Setidaknya impor tidak sebesar saat ini.
Tak hanya itu, selain hal tersebut pemerintah saat ini dinilai juga tidak memiliki kebijakan yang jelas dalam usaha peningkatan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas untuk mengurangi impor Indonesia. Pemerintah sebelumnya pernah membetuk Tim Percepatan Produksi Migas Indonesia yang beranggotakan pakar-pakar industri migas, baik pelaku industri maupun akademisi. Namun nyatanya tim tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya. Nyaris tidak ada kebijakan yang ditelurkan dari hadirnya tim tersebut. Padahal kebijakan ini sangat mendesak mengingat cadangan minyak Indonesia akan habis dalam tempo 11 tahun ke depan, gas dalam 20 tahun dan dalam 70 tahun batu bara Indonesia juga akan habis.

Dalam waktu beberapa bulan yang tersisa ini diharapkan pemerintah di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bisa menyelesaikan rekomendasi DEN ini. Namun jika memang tidak bisa, pemerintah baru diharapkan dapat membuat kebijakan energi yang jelas, transparan dan feasible untuk diterapkan.

Thursday, 5 June 2014

Dear Pak Prabowo, Lebih Penting Mana: Mahakam atau Tingkatkan Eksplorasi?

Calon presiden, Prabowo Subianto, berjanji akan mengembalikan Blok Mahakam kepada Pertamina pasca 2017. Mantan perwira Kopasus itu juga berjanji akan mendukung dan berpihak kepada Pertamina dalam menggarap proyek-proyek migas di dalam negeri. Gagasan tersebut dipercaya dapat memperkuat sektor energi Indonesia dalam bersaing dengan perusahaan asing. Demikian disampaikan oleh Wakil Dewan Pembina Partai Gerindra Hashim Djojohadikusumo yang notabene adalah adik kandung Prabowo. 

"Sikap Prabowo memperkuat BUMN, kalau ada blok (migas) yang habis akan diberikan ke Pertamina. Blok Mahakam akan diberikan Pertamina, tidak ada lagi Pertamina disamakan dengan asing, kita mau Pertamina sekuat Pertronas kalau perlu investasi di Malaysia. Itu adalah sikap Prabowo, Pertamina milik rakyat milik negara harus dijadikan ujung tombak, " kata Hashim, seperti yang dikutip detik.com.

Merasa mendapat angin segar, Sekitar 1.000 orang karyawan Pertamina yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB), Kamis (05/6/2014) pagi, di Jakarta, berunjuk rasa. Salah satu dari empat tuntutannya adalah meminta pemerintah menghentikan wacana perpanjangan kontrak Blok Mahakam ke asing dan segera putuskan penyerahan pengelolaannya ke Pertamina pasca kontrak 2017.

Namun apakah masalah Mahakam menjadi isu krusial dalam membenahi Republik Indonesia dalam lima tahun mendatang? Jika dilihat ke belakang, bukan kali ini saja masalah Blok Mahakam dijadikan salah satu tema dalam pemilihan presiden dan kerap semakin menghangat setiap menjelang pemilihan suara, entah itu Pemilihan Legislatif maupun Pemilihan Presiden. Dahulu, Partai Demokrat juga menjadikannya isu utama dalam pesiapan Pemilihan Legislatif. Seluruh peserta konvensi Partai Demokrat sepakat Mahakam harus diberikan ke Pertamina pasca kontraknya habis tahun 2017.

Partai Demokat menganggap perusahaan plat merah tersebut telah mumpuni untuk dapat mengelola Mahakam sendirian karena memiliki kemampuan teknologi yang baik. Jika tidak diberikan kesempatan, maka Pertamina akan sulit untuk naik kelas dan selalu dipersepsikan tidak sanggup mengebor di laut dalam (offshore). Meski demikian, kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) harus ditingkatkan bila Mahakam diambilalih Pertamina. Bahkan salah satu peserta konvensi tersebut, yakni Pramono Edhie Wibowo menyerukan insinyur-insinyur handal di luar negeri untuk segera kembali ke Indonesia untuk membantu Pertamina mengelola Mahakam.

Memang setidaknya dibutuhkan tiga modal utama dalam pengelolaan industri migas, yakni padat modal, padat sumber karya (sumber daya manusia) dan pada teknologi. Itu terjadi di seluruh lapangan migas, terutama Mahakam karena karakteristik blok tersebut yang terkenal sulit. Jika salah dalam penggarapannya, maka bisa menjadikan produksinya jeblok. Dan artinya Indonesia harus siap-siap mengalami kerugian, mengingat Mahakam dalam memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pendapatan negara.

Namun apakah Partai Demokrat berhasil meraih suara dalam Pemilihan Legislatif kemarin meski telah gembar-gembor masalah nasionalisasi Blok Mahakam? Ternyata tidak. Partai berlambang Mercy itu hanya boleh puas dengan mengantungi 9 persen suara nasional. Jika ditarik garis merah, bisa dikatakan masyarakat tidak lagi terbuai dengan janji-janji manis kampanye. Apalagi kenyataan di lapangan jauh berbeda dengan apa yang ditampilkan.

Mengelola Mahakam tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sebagai blok yang telah berusia puluhan tahun, tidak mengherankan jika laju penurunan produksinya mencapai 50 persen per tahun. Total E&P Indonesie dan Inpex harus menggelontorkan investasi (capital expenditure) sebesar US$2,5 miliar per tahun untuk menahan laju penurunan produksi dan menjaga produksi di level 1,7 miliar barel per hari. Kedua perusahaan tersebut juga sudah komit untuk menginvestasikan US$ 7,3 miliar hingga 2017 jika pemerintah memutuskan untuk memperpanjangan Blok Mahakam. Lalu bagaimana dengan Pertamina jika diserahkan Blok Mahakam secara penuh? Sanggup kah ia mengelolanya sebaik Total?

Bukan bermaksud menyudutkan Pertamina, tapi kita layak mempertanyakan kesanggupannya. Pasalnya sebagai BUMN sudah barang tentu hampir seluruh blok-blok migas yang ada di Indonesia ini milik Pertamina. Namun bagaimana dengan produksinya? Ternyata produksi migas terbesar masih ada di tangan Chevron. Perusahaan asal Amerika Serikat itu berhasil memproduksi sekitar 340.000 barrel per hari hanya dari satu blok di Sumatera Tengah saja, meski blok ini telah berusia sangat tua. Sementara Pertamina hanya menargetkan untuk memproduksi 284.000 barrel per hari pada tahun ini, jauh dari angka produksi Chevron yang hanya dari satu blok.

Saat ini kita membutuhkan sosok presiden yang benar-benar bisa memberikan kemakmuran bagi rakyat Indonesia dengan cara yang rasional. Dan cara nasionalisasi asset migas bukanlah cara yang rasional karena ujung-ujungnya Indonesia juga yang akan dirugikan. Sosok presiden idaman adalah ia yang bisa menciptakan lapangan pekerjaan, meningkatkan iklim investasi dan dapat mengundang banyak investor untuk berinvestasi di Indonesia.

Jika ingin memberikan kesempatan nasional untuk mengelola Mahakam, itu bisa dilakukan dengan memberikan kesempatan joint operatorship bagi Pertamina, Total dan Inpex. Bagaimanapun Pertamina membutuhkan masa transisi untuk dapat mengelola blok tersebut agar on the right track. Tapi itu bukan tujuan utama.


Tujuan utamanya adalah bagaimana kegiatan eksplorasi di negara ini dapat ditingkatkan. Tanpa eksplorasi maka Indonesia akan menjadi negara pengimpor minyak permanen. Ini lah yang harus diwaspadai. Dengan demikian isu Mahakam sebenarnya bukan lah masalah krusial yang dihadapi negara ini. Diberikannya Mahakam ke Pertamina tidak serta merta akan menjadikan Indonesia terbebas dari kegiatan impor minyak.