Dalam
hitungan hari Indonesia akan menghadapi Pemilihan Presiden. Siapapun yang
terpilih nanti, entah capres Joko Widodo (Jokowi) atau Prabowo Subianto , akan menduduki kursi nomor
satu di Republik dalam tempo lima tahun ke depan.
Meski
demikian, tanpa mengindahkan bahwa mereka lah dua orang terbaik di negeri ini,
dalam beberapa bulan belakangan sejumlah pihak heboh melancarkan kampanye
hitam, baik di media sosial maupun koran-koran baru yang tak dikenal.
Kampanye
hitam itu diantaranya memberikan ekspose pemberitaan negatif bagi kedua belah
pihak. Dibandingkan dengan Prabowo, kampanye hitam bagi kubu Jokowi lebih
mendominasi. Isunya bermacam-macam, dari mulai capres boneka, isu agama, isu
ras hingga kutu loncat. Kok lucu loncat? Ya tak lain karena cepatnya
perpindahan Jokowi dari Walikota Solo menjadi Gubernur DKI Jakarta, meski masa
pemerintahannya belum usai.
Terpilih
sebagai Gubernur DKI Jakarta di tahun 2012, Jokowi harusnya masih mengemban
amanat hingga 2017, namun nyatanya di tengah jalan ia malah ia menerima ketika
dicalonkan oleh PDI Perjuangan untuk maju sebagai calon wapres. Padahal
sebelumnya ketika ditanya Jokowi selalu berkilah dengan ucapan, "Copras
capres. Bosen." Jokowi dinilai munafik. Tak hanya itu, banyak
pihak yang mengkritik kinerja Jokowi yang dinilai belum banyak terlihat di
Jakarta. Hal itu, menurut mereka, bisa dilihat dari angka kemacetan di ibukota
yang masih tinggi dan banjir yang belum bisa diatasi dengan baik.
Padahal jika dengan akal sehat, tentunya kita
paham, membereskan kemacetan dan banjir di ibukota ini akan membutuhkan waktu
yang lama. Selain itu juga dibutuhkan turutcampur dari pemerintah pusat agar kebijakan
pemda bisa berjalan. Ambil contoh: adanya kebijakan mobil murah sudah diprotes
oleh Jokowi dan Ahok karena akan memperparah kemacetan di Jakarta. Namun pemerintah
tidak mengindahkannya. Bukankah ini kebijakan kontraproduktif?
Sementara dari sisi SARA, Jokowi santer
disebutkan sebagai turunan ras China. Entah apa yang mendasarkan isu tersebut.
Bukankah kita tetap Bangsa Indonesia? Belum lagi tiba-tiba terbitlah tabloid
Obor Rakyat yang menjelekyatakan Jokowi sebagai calon presiden boneka
dan tak beragama Islam.
Tak hanya itu, revolusi mental yang kerap
didengungkan Jokowi juga dianggap sebagai adopsi dari ideologi komunis.
Pasalnya Karl Marx gunakan istilah 'Revolusi Mental' pada
tahun 1869 dalam karyanya Eighteenth Brumaire of Louis Bonapartem. 'Revolusi
Mental' juga jadi tujuan May Four Enlightenment Movement di China 1919
diprakarsai Chen Duxui, pendiri Partai Komunis Cina.
Bagaimana tanggapan Jokowi? Jokowi
menegaskan, alasan Revolusi Mental karena Indonesia tengah dilanda kebobrokan
mental. Oleh sebab itu, perlu program pembangunan karakter sumber daya manusia.
Sementara kampanye hitam yang menimpa kubu
Prabowo tak jauh dari isu militerisme yang cenderung fasis, Hak Azazi Manusia
(HAM) dan penculikan para aktifis yang terjadi pada tahun 1998. Prabowo
ditengarai terlibat dalam aksi penculikan pada saat itu. Meski kubu Prabowo
telah berulang-ulang membantahnya dengan mengatakan bahwa dicopotnya Prabowo
dari jabatannya saat itu hanya sebagai bagian dari tanggungjawab seorang
komandan atas perilaku anak-anak buahnya.
Kampanye hitam itu ternyata cukup memberikan efek
negatif. Misalnya Lingkaran Survei Indonesia baru-baru ini memaparkan
bahwa elektabilitas Joko Widodo-Jusuf Kalla unggul tipis dibanding Prabowo
Subianto-Hatta Rajasa. Peneliti Lingkaran Survei, Fitri Hari, mengatakan
elektabilitas Jokowi-Kalla sebesar 45 persen dan Prabowo-Hatta 38,7 persen.
Tingkat keterpilihan Jokowi-Kalla belakangan cenderung tak mengalami kenaikan.
Sedangkan sebaliknya, persentase elektabilitas Prabowo-Hatta malah melejit.
Padahal sebelumnya, hasil survei Lembaga Survei
Indonesia dan International Foundation for Electoral System menunjukkan selisih
elektabilitas Jokowi dan Prabowo hanya terpaut sekitar 4 persen. Dalam survei
yang digelar 1-10 Juni terhadap 2.009 responden itu, tingkat keterpilihan
Jokowi sebesar 43 persen dan Prabowo 39 persen.
Namun Ketua tim pemenangan Prabowo-Hatta, Mahfud
Md., membantah Jokowi paling dirugikan akibat kampanye hitam. Dia mengklaim
Prabowo juga dirugikan oleh kampanye hitam dari kubu lawan. Mahfud menilai
polisi harus bertindak mengusut semua kampanye hitam agar dapat diselesaikan
secara hukum.
Lepas dari itu semua. Saya pribadi menilai kampanye
hitam itu lebih banyak mudhorotnya daripada manfaatnya. Akan lebih baik jika
masing-masing kubu mengedepankan visi, misi dan program-program sehingga
masyarakat mengenal betul calon pemimpin mereka. Bagaimanapun, kembali lagi.
Salah satu dari mereka akan menjadi pemimpin kita. Dan pemimpin itu juga
manusia, yang tak luput dari kesalahan.



