Thursday, 28 August 2014

Newmont Cabut Gugatan Arbitrase

Kabar gembira untuk kita semua, Newmont Nusa Tenggara telah mencabut gugatannya ke arbitrase. Dengan dicabutnya gugatan tersebut maka dialog pemerintah dengan Newmont terkait dengan masalah renegosiasi kontrak dapat berlanjut. Dengan demikian, ekspor konsentrate diharapkan akan kembali normal dan membawa keuntungan bagi kedua belah pihak.

Keputusan Newmonth untuk menghentikan dan menarik arbitrase muncul setelah komitmen dari pejabat pemerintah untuk membuka negosiasi formal dan mengadakan nota kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) dengan Newmont atas penghentian tuntutan arbitrase. Sebelumnya, pada awal Juli lalu, Newmont Nusa Tenggara dan pemegang saham mayoritasnya, Nusa Tenggara Partnership B.V. (NTPBV), suatu badan usaha yang terdaftar di Belanda, mengajukan gugatan arbitrase internasional terhadap pemerintah Indonesia terkait larangan ekspor yang diterapkan di Tanah Air.
Langkah itu diambil karena kebijakan yang dibuat pemerintah Indonesia itu telah mengakibatkan dihentikannya kegiatan produksi di tambang Batu Hijau dan menimbulkan kesulitan dan kerugian ekonomi terhadap para karyawan PTNNT, kontraktor, dan para pemangku kepentingan lainnya.

Sebenarnya dicabutnya gugatan ke forum arbitrase tersebut tidak lah mengagetkan. Pasalnya pemerintah kali ini bersikap tegas menghadapi tuntutan tersebut. Misalnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah membentuk tim untuk menghadapi tuntutan tersebut. Presiden menilai tindakan yang dilakukan badan usaha yang tercatat di Belanda itu, tidak menghargai bangsa Indonesia yang sudah mengizinkan bekerja di atas tanah airnya.



Selain itu pemerintah juga menolak tegas untuk melakukan perundingan dengan Newmont selama gugatan belum dicabut. Tak hanya itu, pemerintah juga mengancam untuk memutus kontak Newmont di Batu Hijau.

Ketegasan pemerintah ini tak lepas dari kasus serupa yang melibatkan Freeport. Masalahnya setelah malang melintang sekian lama dalam proses renegosiasi kontak, pemerintah Indonesia dan Freeport akhirnya mencapai nota kesepakatan. Memorandum of understanding itu diantaranya menyangkut point-point penting yang berpengaruh pada operasional perusahaan di masa kini dan mendatang.

Renegosiasi pemerintah dan Freeport memang terkenal alot, bahkan lebih alot ketimbang negosiasi dengan Newmont. Tarik ulur antara kedua belah pihak terus terjadi terkait dengan kebijakan pemerintah untuk mewajibkan seluruh perusahaan pemurnian untuk membangun smelter dalam negeri dan juga melarang barang mentah diekspor. Jika diekspor, maka harus memenuhi beberapa persyaratan teknis terkait kandungan dan juga besaran bea keluar sebesar 20-60% jika ingin diekspor. Kontan saja kebijakan ini menuai protes.

Nah, jika dengan Freeport saja Indonesia bisa mencapai titik temu, setidaknya hal yang sama juga diharapkan dapat dicapai dengan Newmont. Bagaimanapun, Indonesia dan Newmont adalah ibarat simbiosis mutulisme, dimana satu sama lainnya masih saling membutuhkan. Jika memang terdapat hal-hal yang tidak sesuai, tentunya semua bisa diselesaikan dengan negosiasi.

Meski demikian, pemerintah juga harus banyak belajar dari kasus ini. Salah satunya untuk menghargai kontrak yang telah ditandatangani sebelumnya. Bagaimanapun konsistensi terhadap kontrak adalah salah satu butir terpenting yang dilihat investor sebelum memutuskan untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Jangan sampai ada aturan-aturan baru yang membuat aturan lama berubah. Tentunya ini akan membingungkan investor.


Hal-hal ini tidak hanya berlaku di industri migas, namun juga industri migas. Jangan sampai kedua industri ini menjadi dikesampingkan, karena bagaimanapun juga sektor energi dan sumber daya mineral adalah sektor yang memberi kontribusi terbesar terhadap penerimaan negara.

Wednesday, 27 August 2014

Kisruh Kelangkaan BBM Seantero Nusantara dan Ketidakkonsistenan Pemerintah

Kelangkaan Bahan Bakar Minyak melanda nusantara sepekan terakhir kemarin. Akibatnya antrian ratusan  kendaraan roda empat dan roda dua terlihat di hampir semua SPBU di seluruh daerah, khususnya di Pulau Jawa. Ada apakah? Tentunya ini sangat menarik.

Ternyata langkah ini dilakukan Pertamina yang sengaja mengurangi pasokan BBM akibat terbatasnya quota BBM bersubsidi. Jika tidak ada pembatasan, maka BBM bersubsidi akan habis pada 20 Desember 2014. Padahal DPR dan pemerintah sudah mengamatkan Pertamina untuk tidak menyuplai BBM melebihi quota BBM bersubsidi tahun ini sebesar 46 juta kiloliter. Jika kelebihan, maka Pertamina harus menanggung sendiri akibatnya alias subsidi tidak akan dibayarkan pemerintah.

Pertamina sendiri telah melakukan berbagai langkah untuk mengurangi pasokan tersebut. Misalnya dengan pelarangan penjualan premium di SPBU jalan tol sampai pembatasan waktu penjualan di beberapa wilayah tak menghasilkan penghematan. Karena itu, pihaknya memutuskan untuk memangkas BBM secara prorata. Pertamina memperkirakan hal tersebut bisa menghemat sekitar 5 ribu kl. Normalnya kan sekitar 81 ribu kl per hari. Sedangkan, konsumsi harian solar sebanyak 44 ribu kl. Dengan pengendalian ini, konsumsinya premium menjadi 75.897 kl atau hemat 5.674 kl per hari. Sementara solar menjadi 38.805 kl atau dapat hemat 5.979 kl per hari. Akibatnya masyarakat panik sehingga menjadi rush di SPBU.
Namun nyatanya pemerintah kalang kabut melihat kelangkaan tersebut. Menteri Koordinator Perekonomian Chairul Tanjung memerintahkan Pertamina untuk segera mengatasi antrian tersebut. Akibatnya Pertaminasengaja menambah volume pasokan harian sebesar 30 persen untuk mengurai antrean di sejumlah SPBU.
  Jika biasanya konsumsi premium nasional 81.132 kilo liter (kl) per hari. Kali ini, ditambah 30 persen lagi demi menormalkan antrian panjang. Dengan pengembalian alokasi, pihaknya memperkirakan total konsumsi BBM bersubsidi 2014 menjadi 47,35 juta kl. Itu 2,9 persen diatas kuota BBM APBN-P 2014 sebesar 46 juta kl.  Pertamina bersedia melonggarkan keran penyaluran dengan jaminan dari pemerintah.
Terdapat sejumlah pro dan kontra atas kebijakan pemerintah yang terlihat tidak konsisten tersebut. Misalnya Menteri Keuangan Chatib Basri melihat bahwa quota BBM tidak boleh melebihi dari ketetapan yang sudah ada, meski belakangan ia meralat dengan mengatakan ada ruang untuk menambahnya.
Bagaimanapun antrian seperti itu memang tampak konyol karena Indonesia tampak seperti masih di era tahun 60-an.  Namun bukan berarti serta merta pemerintah memerintahkan Pertamina untuk menyuplai BBM seperti sediakala.
Memang harus ada gebrakan yang dilakukan pemerintah terkait kebijakan subsidi BBM. Dengan demikian masyarakat jadi mulai mengerti bahwa era energi murah sudah lewat. Malahan Indonesia sudah dalam kondisi krisis energi yang dikhawatirkan dapat terjadi berkepanjangan.
Pemerintah memang harus tegas dalam menerapkan kebijakan subsidi BBM. Sudah saatnya Indonesia tidak lagi memberikan subsidi BBM karena sangat memberatkan fiskal negara. Apalagi negara-negara di dunia yang masih memberikan subsidi BBM kepada rakyatnya relatif sangat sedikit. Di kawasan ASEAN, hanya Indonesia dan Malaysia yang masih menerapkan subsidi BBM.

Harga BBM Indonesia sangat murah, hanya Rp 6.500 per liter untuk premium dan Rp 5.500 untuk solar. Sedangkan di negara-negara Eropa, harganya mencapai Rp 28.000 per liter. Sedangkan  harga BBM di Thailand, Myanmar, Brunei, Filipina dan lainnya berkisar Rp 12.000-Rp 15.000 per liter.


Kini saatnya mengakhiri era energi murah. Di satu sisi juga meningkatkan produksi migas dengan menggenjot kegiatan eksplorasi migas. Tidak ada lain, eksplorasi adalah mutlak. Dan untuk meningkatkan kegiatan eksplorasi, maka pemerintah harus menyiapkan sejumlah kebijakan yang menarik untuk menarik investor. Dan itu adalah tugas pemerintah untuk melakukannya, entah di era SBY ataupun Jokowi nanti.

Thursday, 14 August 2014

Pentingnya Transportasi Massal di Ibukota Jakarta

Kemacetan di ibukota Jakarta yang semakin menggila beberapa tahun belakangan membuktikan bahwa keberadaan transportasi massal yang memadai sangat mendesak. Untuk itu rencana pembangunan Mass Rapid Transit (MRT) harus segera diwujudkan, jika ingin melihat muka ibukota sedikit beradab dan tentu saja subsidi BBM tidak terbuang percuma akibat kemacetan yang merajalela.
Indonesia dengan tingkat kepadatan penduduk yang beratus-ratus kali lipat dibandingkan dengan Singapura memang sangat membutuhkan MRT ini. Bayangkan Singapura yang negaranya seluas Jakarta saja telah memiliki MRT sejak lama, namun mengapa Jakarta tidak?
Adanya transportasi massal yang beradab diharapkan bisa mengubah pola hidup masyarakat yang telah terbiasa menggunakan kendaraan pribadi. Selain itu kepadatan lalu lintas di jalan raya diharapkan akan berkurang drastis.
Bus Trans Jakarta dan kereta api KRL Jabotabek yang ada saat ini belum dapat menjawab kebutuhan transportasi massal. Hal itu dapat dilihat dari berdesak-desakannya penumpang, terutama di jam sibuk. Tak hanya berjubel di dalam moda transportasi tersebut, tapi jubelan penumpang juga terjadi sejak antrian yang sudah mengular panjang. Sehingga tak heran jika muncul anekdot, "siap-siap jadi ikan teri kalau naik KRL dan Trans Jakarta di pagi dan sore hari." Maka tak heran jika saat ini orang masih memilih untuk menggunakan kendaraan pribadi ketimbang naik transportasi massal.
Pembangunan MRT sudah menjadi agenda pemerintah Indonesia sejak lama, tetapi baru bisa terealisasi di akhir bulan Mei. Rute pertama MRT yang akan dibangun adalah dari arah Lebak Bulus menuju Bundaran HI sepanjang 15,7 kilometer. Menyusul kemudian rute dari Bundaran HI menuju Kampung Bandan setelah pembangunan pertama rampung. Tentu saja seluruh masyarakat mengharapkan dengan adanya MRT nanti, masalah kemacetan Jakarta dapat teratasi.
Rencananya, MRT ini akan mampu mengangkut ratusan ribu orang penumpang dalam sehari. Sementara waktu tempuh dari Lebak Bulus menuju Bundaran HI. Waktu tempuh antara lebak Bulus sampai Bundaran HI diharapkan mencapai 1-2 jam, namun bisa mencapai 30 menit pada jam-jam sibuk. Sedangkan waktu tempuh dari Lebak Bulus ke Kampung Bandan hanya 52,5 menit. Penurunan waktu tempuh ini diharapkan dapat meningkatkan mobilitas warga Jakarta.
Pemda DKI Jakarta sendiri menjamin bawah pembangunan mega proyek ini juga memperhitungkan masalah lingkungan, seperti meminimalisir suara dan menjaga kualitas udara, maka resiko polusi udara yang selama ini mengganggu masyarakat akan berkurang.
Sadar akan pentingnya transportasi massal, Pemda DKI Jakarta juga melanjutkan pembangunan Monorel di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Pembangunan Monorel sebelumnya terhenti pada tahun 2011 setelah pembangunan awal dilakukan sejak 2005. Saat ini di berbagai  wilayah di Jakarta sudah berdiri 200 tiang pancang Monorel.

Tak hanya di Jakarta, Pemerintah Kota Surabaya juga berencana membangun proyek MRT dan monorel. Maklum saja, sebagai kota besar pertumbuhan kendaraan di Surabaya juga sangat pesat sehingga keberadaan transportasi massal juga penting.

Rencananya jalur monorel akan menghubungkan Surabaya barat dan Surabaya timur sepanjang 24 Km dengan 25 titik halte. Monorel menggunakan 4 gerbong dengan kapasitas tampung 200 penumpang. Sedangkan trem akan menghubungkan Surabaya selatan dan utara sepanjang 17 Km dengan 29 titik pemberhentian.
Kini saatnya Indonesia membenahi sistem transportasinya. Diharapkan pembangunannya tak hanya terhenti di Jakarta dan Surabaya, namun juga kota-kota besar lainnya seperti Medan dan Denpasar.


Program Konversi BBM ke Gas Gagal Total

antarasumbar
Program konversi Bahan Bakar Minyak (BBM) ke gas sebenarnya sudah lama digaungkan pemerintah Indonesia. Namun nyatanya program tersebut tidak jalan alias gagal total, akibatnya dari tahun ke tahun konsumsi BBM terus mengalami kenaikan. Subsidi BBM pun jebol, mengakibatkan APBN kedodoran.

Pemerintah sebenarnya telah memilih Jakarta menjadi pilot project bagi konversi bahan bakar ini. Pada tahun 2007, sejumlah taxi memasang converter kit. Disusul dengan bus Trans Jakarta yang masih terus konsisten hingga saat in. Sementara mobil pribadi, kebanyakan hanya mobil pemerintah saja yang mau mengggunakan converter tersebut.

Di Jakarta saja masih banyak pengendara yang lebih memilih memakai BBM walaupun sudah ada alat konverter BBM ke gas. Alasannya tentu menggunakan BBM lebih mudah, apalagi harganya sendiri bersaing dengan harga BBM. Harga BBG sendiri saat ini hanya Rp 3.100 per liter, sedangkan harga BBM subsidi hanya Rp 6.500 per liter. Masalahnya meski harga BBG masih terlihat lebih murah dibandingkan BBM, namun penggunanya masih harus memodifikasi mobilnya dengan menggunakan converter kit yang tentunya membutuhkan biaya ekstra. Maka tak heran orang lebih senang menggunakan BBM. Minimal, selisih harga BBG dengan BBM sekitar 60 persen agar pengguna BBM mau pindah ke BBG.

Meski demikian Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Punama yang terkenal dengan nama Ahok yakin jika pembatasan BBM bersubsidi bisa diterapkan di DKI Jakarta mulai awal 2015, maka pengguna kendaraan pribadi akan beralih ke BBG. Sehingga tak perlu mendorong pengguna mobil untuk pindah ke BBG.

Mesk demikian pemerintah harus komit untuk mempercepat pembangunan SPBG-SPBG di kota-kota besar seperti Jakarta. Saat ini jumlah SPBG di Jakarta sangat terbatas, sehingga jarak SPBG yang jauh menyebabkan hilang waktu untuk menuju stasiun pengisian bahan bakar gas itu.



Dari sisi angkutan umum, Danny melanjutkan, para pengemudi terbebani setoran tambahan jika menggunakan BBG. Selain itu, kapasitas tabung BBG yang kecil membuat para pengemudi mengharuskan mengisi 2-3 kali pengisian dalam sehari dan itu membuat pengemudi kehilangan banyak waktu.

Dari sisi perawatan, dia melanjutkan, saat ini jumlah bengkel dan mekanik yang menguasai BBG terbatas serta lokasinya jauh dari SPBG. Selain itu, belum ada pengujian berkala terhadap tabung BBG.

Selain itu ke depannya pemerintah harus memperhatikan kualitas Compressed Natural Gas (CNG), jika ingin menjalankan program konversi BBG. Indonesia hingga saat ini belum mempunyai standar CNG berkelas internasional karena kadar airnya tinggi.

Saat ini, dia menjelaskan, kualitas CNG tidak baik dengan methane number sekitar 65-70 dan kadar air yang tinggi. Hal inilah yang menyebabkan banyak mesin mobil BBG cepat rusak.

Sementara itu, alangkah baiknya jika pemerintah memberikan paket insentif yang menarik agak seluruh investor dapat berlomba-lomba membangun pipa demi terwujudnya program konversi tersebut. Maklum saja, selama ini pemerintah dikenal pelit dalam memberikan insentif kepada investor sehingga mengakibatkan pembangunan infrastruktur jadi tersendat.

Hal tersebut terlihat dari kasus pembangunan kilang baru antara Kuwait Petroleum Company dan Pertamina di Balongan dengan kapasitas sebesar 300.000 barrel per hari.

Sementara di sektor hulu, pemerintah juga harus giat memberikan paket insentif pula kepada investor agar kegiatan eksplorasi dan eksploitasi dapat berjalan. Sebagaimana kita ketahui, turunnya produksi minyak saat ini tak lepas dari iklim investasi yang tidak kondusif. Dan nyatanya hal tersebut berpengaruh kepada semua lini. Bagaimana menciptakan iklim investasi yang kondusif itu? Misalnya dengan merealisasikan hal-hal pokok yang menjadi perhatian para investor minyak dan gas.

Indonesia Petroleum Association sendiri telah berulangkali menyampaikan sejumlah hal yang harus menjadi perhatian pemerintah, diantaranya kepastian hukum dan kepastian kontrak . Hal tersebut terkait dengan adanya sejumlah blok-blok migas yang akan habis masa kontraknya, seperti misalnya Blok Mahakam pada tahun 2017.


Namun hingga kini pemerintah belum memberikan kepastian hukum. Padahal semakin lama pemerintah memberikan keputusan, maka hal tersebut akan berpengaruh signifikan terhadap produksi. Maklum saja, seorang investor tentunya membutuhkan kepastian dalam melakukan perencanaan investasi jangka panjang. Nah sekarang bola ada di tangan pemerintah. Akankah Indonesia tetap bisa menjadi tujuan investasi migas di masa mendatang? Hanya pemerintah yang bisa menjawabnya.