Kabar
gembira untuk kita semua, Newmont Nusa Tenggara telah mencabut gugatannya ke arbitrase. Dengan
dicabutnya gugatan tersebut maka dialog pemerintah dengan Newmont terkait
dengan masalah renegosiasi kontrak dapat berlanjut. Dengan demikian, ekspor
konsentrate diharapkan akan kembali normal dan membawa keuntungan bagi kedua
belah pihak.
Keputusan Newmonth untuk menghentikan dan menarik
arbitrase muncul setelah komitmen dari pejabat pemerintah untuk membuka
negosiasi formal dan mengadakan nota kesepahaman (Memorandum of
Understanding/MoU) dengan Newmont atas penghentian tuntutan arbitrase.
Sebelumnya, pada awal Juli lalu, Newmont Nusa Tenggara dan pemegang saham
mayoritasnya, Nusa Tenggara Partnership B.V. (NTPBV), suatu badan usaha yang
terdaftar di Belanda, mengajukan gugatan arbitrase internasional terhadap pemerintah
Indonesia terkait larangan ekspor yang diterapkan di Tanah Air.
Langkah itu diambil karena kebijakan yang
dibuat pemerintah Indonesia itu telah mengakibatkan dihentikannya kegiatan
produksi di tambang Batu Hijau dan menimbulkan kesulitan dan kerugian ekonomi
terhadap para karyawan PTNNT, kontraktor, dan para pemangku kepentingan
lainnya.
Sebenarnya
dicabutnya gugatan ke forum arbitrase tersebut tidak lah mengagetkan. Pasalnya
pemerintah kali ini bersikap tegas menghadapi tuntutan tersebut. Misalnya
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah membentuk tim untuk menghadapi tuntutan
tersebut. Presiden menilai tindakan yang dilakukan
badan usaha yang tercatat di Belanda itu, tidak menghargai bangsa Indonesia
yang sudah mengizinkan bekerja di atas tanah airnya.
Selain
itu pemerintah juga menolak tegas untuk melakukan perundingan dengan Newmont
selama gugatan belum dicabut. Tak hanya itu, pemerintah juga mengancam untuk
memutus kontak Newmont di Batu Hijau.
Ketegasan
pemerintah ini tak lepas dari kasus serupa yang melibatkan Freeport. Masalahnya
setelah malang melintang sekian lama dalam proses renegosiasi
kontak, pemerintah Indonesia dan Freeport akhirnya mencapai nota kesepakatan.
Memorandum of understanding itu diantaranya menyangkut point-point penting yang
berpengaruh pada operasional perusahaan di masa kini dan mendatang.
Renegosiasi pemerintah dan Freeport memang
terkenal alot, bahkan lebih alot ketimbang negosiasi dengan Newmont. Tarik ulur
antara kedua belah pihak terus terjadi terkait dengan kebijakan pemerintah
untuk mewajibkan seluruh perusahaan pemurnian untuk membangun smelter dalam
negeri dan juga melarang barang mentah diekspor. Jika diekspor, maka harus
memenuhi beberapa persyaratan teknis terkait kandungan dan juga besaran bea
keluar sebesar 20-60% jika ingin diekspor. Kontan saja kebijakan ini menuai
protes.
Nah, jika dengan Freeport saja Indonesia bisa
mencapai titik temu, setidaknya hal yang sama juga diharapkan dapat dicapai
dengan Newmont. Bagaimanapun, Indonesia dan Newmont adalah ibarat simbiosis
mutulisme, dimana satu sama lainnya masih saling membutuhkan. Jika memang
terdapat hal-hal yang tidak sesuai, tentunya semua bisa diselesaikan dengan
negosiasi.
Meski demikian, pemerintah juga harus banyak
belajar dari kasus ini. Salah satunya untuk menghargai kontrak yang telah
ditandatangani sebelumnya. Bagaimanapun konsistensi terhadap kontrak adalah
salah satu butir terpenting yang dilihat investor sebelum memutuskan untuk
menanamkan modalnya di Indonesia. Jangan sampai ada aturan-aturan baru yang
membuat aturan lama berubah. Tentunya ini akan membingungkan investor.
Hal-hal ini tidak hanya berlaku di industri
migas, namun juga industri migas. Jangan sampai kedua industri ini menjadi
dikesampingkan, karena bagaimanapun juga sektor energi dan sumber daya mineral
adalah sektor yang memberi kontribusi terbesar terhadap penerimaan negara.



