Wednesday, 19 November 2014

Dalam Tempo Kurang Dari Tiga Bulan, Indonesia Akan Putuskan Nasib Mahakam

Kabar baik bagi kelanjutan Blok Mahakam akhirnya tiba. Pemerintah menargetkan bahwa penyelesaikan kontrak blok tersebut akan diselesaikan dalam tempo kurang dari tiga bulan. Saat ini pemerintah tengah melakukan kajian terhadap sejumlah opsi yang diperlukan sebelum memutuskannya.

"Saya punya target sebelum tiga bulan dari sekarang akan diputuskan. Kita akan beri keuntungan sebesar-besarnya bagi negara ini. Jelas sekali kita berpihak pada negara sendiri. kalau bisa maka akan kita serahkan ke Pertamina tapi kan ada tata cara. Kita akan gunakan kesempatan ini untuk meleverage Pertamina untuk punya tangan ke luar. misalnya Total ataupun yang mau selesai akan kita ajak ngomong, Yuk kita jalan-jalan bareng anda jalan disini, tapi boleh nggak pertamina dibawa ke tempat anda beroperasi," ujar Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said.

Pemerintah sendiri telah membentuk tim untuk menyelesaikan masalah-masalah terkait perpanjangan blok-blok migas. Menurut data pemerintah, saat ini terdapat 19 blok yang akan habis masa kontraknya dalam waktu dekat, dimana Mahakam ada salah satunya. Sekitar empat diantaranya akan diputuskan nasibnya dalam pekan ini, sedang sisanya akan diputuskan setelahnya.

Indonesia Petroleum Association (IPA) pernah menyatakan 61 persen produksi sebesar 1,2 juta barel setara minyak (boepd) berasal Kontraktor Kontrak Kerja Sama yang akan habis masa kontraknya dalam 10 tahun ke depan. Dan hanya 30 persen produksi migas nasional tahun 2020 berasal dari proyek-proyek migas yang saat ini dalam tahap perencanaan.

Indonesia saat ini tengah dihadapkan pada krisis energi, dimana produksi minyak terus melaju turun, berbanding terbalik dengan konsumsi yang terus meningkat. Untuk itu tak heran jika negara ini sangat bergantung pada komoditas gas, yang dinilai produksinya masih lebih baik dibandingkan minyak. Makanya penggunaan gas untuk industri domestik terus ditingkatkan. Meski demikian tampaknya apa yang dilakukan pemerintah tidak sejalan dengan kebijakan tersebut. Hal itu terbukti dari lamanya keputusan sejumlah masalah yang menyangkut kontrak-kontrak blok migas. Bukankah semakin lama keputusan itu dibuat maka akan dapat mempangaruhi rencana pengembangan dari blok itu sendiri?

Sementara Pertamina sendiri tetap berharap, apapun keputusannya, pemerintah diharapkan segera memberikan kepastian. Pasalnya hal tersebut terkait erat dengan rencana investasi perusahaan. Pertamina tidak sendiri, Total dan Inpex yang saat ini memegang lisensi untuk menggarap Mahakam juga mengharapan keputusan itu segera diberikan.

Maklum saja, masalah perpanjangan kasus Mahakam ini dimulai sejak tahun 2008. Saat itu Total dan Inpex mengajukan perpanjangan Blok Mahakam yang akan habis tahun 2017. Ketika itu Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral masih dipegang oleh Purnomo Yusgiantoro. Tahun berganti tahun, keputusan masalah Blok Mahakam belum juga putus, bahkan ketika MESDM sudah berada di tangan Darwin Zahedi Saleh dan juga Jero Wacik yang dilantik pada Oktober 2011. Namun nyatanya hingga kini keputusan itu tak kunjung datang.

Total telah menyampaikan proposal terbarunya pada tahun lalu. Demikian pula Pertamina. Perusahaan merah itu juga telah menyatakan minatnya kepada pemerintah untuk ikut mengelola Blok Mahakam pasca 2017. Namun pemerintah bergeming.


Kini, di bawah Jokowi rakyat menaruh harap bahwa proses-proses yang menyumbat segala keputusan dapat segera dibabat. Dengan demikian keputusan dapat diambil dengan cepat sehingga memberikan kepastian kepada investor.

Thursday, 13 November 2014

Pentingnya Kontrak Blok Mahakam Diputuskan Segera

Masalah Blok Mahakam terus berlarut-larut tanpa ada keputusan. Pemerintah baru, di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo harus segera memberikan kepastian tersebut. Jangan sampai keragu-raguan yang diwariskan oleh pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kembali terulang. Semakin cepat keputusan tersebut dibuat, akan semakin membawa kebaikan bagi iklim investasi negeri ini.

Seruan agar pemerintah menyegerakan keputusan Mahakam ini tak hanya diteriakkan oleh Total E&P Indonesie dan Pertamina, namun juga Indonesia Petroleum Association (IPA) yang tahu benar bagaimana resiko produksi suatu blok tanpa ada kepastian kontrak. Meski demikian pemerintah tak bergeming. Di masa pemerintahan SBY misalnya, masalah Mahakam ini ibarat layang-layang. Pemerintah terus melakukan tarik ulur meski pada ujung-ujungnya tetap tanpa keputusan.

Blok Mahakam tersebut akan berakhir pada 2017.Total sendiri sebagai operator sudah mengajukan perpanjangan Blok Mahakam sejak 2008.  Jabatan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral pun telah berganti beberapa kali dari Purnomo Yusgiantoro, Darwin Saleh, Jero Wacik, dan Chairul Tanjung. Namun seperti kita tahun, keputusan itu tiada kunjung tiba. Dan kini di tangan Sudirman Said lah kita berharap penantian panjang ini segera berakhir.

Memang, Total sendiri juga telah mengajukan proposal pengelolaan Mahakam di masa transisi lima tahun pertama. Total menyadari bagaimana urgensinya perpindahan operatorship pada suatu blok, apalagi Mahakam adalah blok yang berkarakteristik tergolong sulit. Salah sedikit penangannya, bisa-bisa produksi gas di Mahakam malah jadi drop drastis.

Dalam masa transisi lima tahun pertama tersebut, Total turut memperhitungkan Pertamina sebagai partner. Ini akan menjadi masa transisi yang sangat baik bagi Pertamina agar pada suatu saat nanti dapat mengelola blok itu sendiri. Maklum saja, blok ini memiliki kesulitan yang cukup besar sehingga dibutuhkan modal, sumber daya manusia dan teknologi. Total sendiri menggelontorkan dana sebesar US$ 2,5 miliar per tahunnya untuk mengelola Mahakam. Suatu angka yang sangat besar.


Keberadaan Mahakam dalam perekonomian Indonesia memang sangat signifikan. Produksinya masih di kisaran 1,7 miliar kaki kubik per hari. Dan Total saat ini menyuplai 80% kebutuhan gas kilang LNG Bontang yang sebagian besar didedikasikan untuk ekspor ke negara Asia. Berdasarkan kontrak, Bontang memiliki kewajiban untuk memasok LNG pada konsorsium pembeli Jepang. Para pembeli Jepang itu antara lain, Kansai Electric Power Company, Kyushu Electric Power Company, Chubu Electric Power Company, Osaka Gas, Toho Gas Company, dan Nippon Steel.

Dengan adanya kepastian pembelian dari Jepang hingga tahun 2019, dengan harga yang bagus pula, tentunya tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak memperpanjang Blok Mahakam. Dan mengingat bagaimana signifikannya arti Mahakam bagi roda perekonomian negeri ini, sebaiknya pemerintah berhati-hati dalam menyikapi penentuan operator di blok tersebut. Jangan sampai produksinya merosot karena ada pengalihan operatorship.

Bisa dibayangkan, jikalau produksi Mahakam merosot tajam pasca pengalihan, akan berapa besar kerugian yang dirasakan pemerintah. Jika hal itu terjadi, jangan harap Indonesia bisa memenuhi komitmen ekspor LNGnya dengan para pembeli, seperti Jepang. Buntutnya, sudah pasti Indonesia akan dituntut untuk membayar penalti.


Semoga saja Kabinet Kerja akan menempatkan Mahakam sebagai salah satu program priotas yang harus diputuskan. Harapan itu semakin besar mengingat janji Sudirman yang akan membabat habis sumbatan-sumbatan di sektor energi. Dalam kasus Mahakam ini, sumbatannya sangat banyak dan harus segera dipotong agar keputusan dapat diambil.

Thursday, 6 November 2014

Harapan Pembangunan Kilang Baru di Indonesia Semakin Dekat Kenyataan

Kabar gembira untuk industri migas nasional karena dua negara produsen minyak, Iran dan Angola menyatakan siap membangun kilang baru di Indonesia. Tak hanya itu mereka juga bersedia untuk menjamin pasokan minyak mentahnya. Waaaah!

Dalam dua pekan ini Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said bekerja ekstra marathon. Tak hanya mempelajari sumbatan-sumbatan di sektor energi, namun juga bertemu dengan para negara-negara sahabat dan perusahaan migas internasional.

Yang menggembirakan, dalam dua pekan ini pula, Indonesia mendapatkan komitmen dari Iran dan Angola yang bersedia untuk membangun kilang minyak, kilang petrokimia, dan kilang gas alam cair (LNG) di Indonesia. Iran sangat serius dalam berinvestasi di Indonesia dalam industri kilang. Bahkan keduanya juga berniat akan menjual miyak mentah ke Indonesia.

"Pembicaraan kita tadi soal opportunity Iran yang ingin terus berinvestasi di Indonesia. Mereka mau banyak bangun kilang, seperti kilang minyak, kilang petrokimia, dan LNG," ujar Plt Dirjen Migas Naryanto Wagimin.

Naryanto mengatakan, pertemuan ini nantinya akan diteruskan pada pertemuan yang lebih insentif, seperti jumlah investasi yang akan digelontorkan, kapasitas kilang yang ingin dibangun, dan apa insentif yang harus diberikan pemerintah Indonesia.

Pembangunan kilang di Indonesia itu ibarat mitos. Pasalnya banyak perusahaan yang menyatakan minat untuk membangun namun nyatanya jauh panggang dari api. Urusan pembangunan kilang memang sangat alot di Indonesia. Pembangunan kilang terakhir dilakukan pada tahun1994 ketika Presiden Suharto meresmikan proyek kilang Balongan sebesar 125.000 barrel per hari. Sejak itu Indonesia tidak lagi memiliki kilang baru lagi, sementara konsumsi BBM terus meningkat sebesar sembilan persen per tahun, namun tidak dibarengi dengan tingkat supply yang memadai.

Memang tidak bsa dipungkiri, secara kasat mata selama ini permasalahan kilang bermuara dari pemerintah sendiri. Kementrian Keuangan dinilai sangat rigid, enggan memberikan insentif bagi pembangunan kilang. Tapi sejumlah pihak menengarai adanya mafia inilah yang menjegal pembangunan kilang minyak terealisasi.

Sudah menjadi rahasia umum pula bahwa proyek pembangunan kilang itu memiliki margin yang sedikit, tanpa adanya sweetener atau gula-gula ataupun insentif dari pemerintah, maka mustahil proyek itu bisa berjalan. Hal ini bisa terlihat dari mundurnya Saudi Aramco dan Kuwait Petroleum dalam proyek pembangunan kilang di Indonesia. Insentif yang diajukan kedua perusahaan itu ditolak mentah-mentah oleh Kementrian Keuangan karena dianggap berlebihan.

Padahal tanpa insentif tersebut, maka mustahil investor dapat mengantongi profit. Dan lagi apalah artinya incentif ketimbang Indonesia harus bergantung impor seumur hidup. Tapi kenyataannya, pemerintah lebih sering melihat sesuatu dari perspektif jangka pendek ketimbang jangka panjang. Inilah celakanya!

Pemerintah saat ini tengah mengais-ais investor untuk membantu membangun kilang di dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan domestik. Bagaimanapun langkah ini masih lebih murah ketimbang melakukan impor. Beberapa bulan lalu pemerintah melakukan road show ke Singapura untuk mencari investor tersebut. Namun hingga kini tak ada kejelasan.

Banyak orang yang mengaitkan sulitnya pembangunan kilang di Indonesia lantaran adanya mafia yang menghalanginya. Keberadaan mafia memang tak bisa dihinidari selagi Indonesia masih bergantung pada impor. Mereka adalah sosok-sosok orang bergerak mencari keuntungan dalam wadah kegiatan usaha impor. Dalam menjalankan usahanya, mereka menempuh segala cara untuk mendapatkan keuntungan materi termasuk bekerjasama dengan birokrat yang membuat kebijakan.


Meski demikian di bawah kepemimpinan Jokowi, kita bisa berharap bahwa mafia migas ini bisa diberantas. Gebrakan-gebrakan Sudirman Said dalam dua minggu debutnya sebagai MESDM memberikan harapan positif bahwa masih ada orang-orang di negara ini yang ikhlas bekerja demi negara. Semoga saja masalah migas dapat segera dituntaskan segera.