![]() |
| beritatrans.com |
Terobosan kebijakan Bahan
Bakar Minyak (BBM) pemerintahan Joko Widodo banyak mengundang pro dan kontra.
Meski memang harga premium RON 88 akan turun menjadi Rp 7.600 dan solar menjadi
Rp 7.250, namun banyak pihak mempertanyakan kebijakan penghapusan subsidi BBM
jenis premium tersebut.
Setelah harga minyak dunia anjlok
hingga mencapai level di bawah US$ 60/barrel, pemerintah akhirnya melakukan
revisi besar-besaran terhadap harga BBM. Pemerintah mengambil kebijakan untuk
menurunkan BBM bersubsidi. Harga BBM jenis Solar yang tadinya seharga Rp
7.500/liter turun menjadi Rp 7.250/liter, sedangkan BBM Premium yang tadinya
seharga Rp 8.500/liter turun menjadi Rp 7.600/liter. Turunnya harga BBM ini
berlaku pada pukul 00.00 1 Januari 2015.
Menurut Menteri Energi dan Sumber Daya
Mineral Sudirman Said saat ini harga pasar global BBM jenis Premium lebih murah
dari harga Premium yang ditetapkan Pemerintah yaitu Rp 8.500/liter, oleh karena
itu Pemerintah berencana merilis kebijakan baru yaitu dihapuskannya subsidi BBM
jenis Premium. Dengan dihapusnya subsidi Premium maka harga Premium akan
otomatis turun karena mengikuti harga pasar minyak dunia.
Berdasarkan revisi Mahkamah
Konstitusi (MK) yaitu tentang harga BBM dan gas bumi yang diatur dan ditetapkan
pemerintah, Pemerintah juga tidak seluruhnya melepas harga BBM di Indonesia
harus mengikuti harga pasar namun pemerintah berperan mengambil untuk
menetapkan harga. Pemerintah juga mengklasifikasikan jenis BBM menjadi tiga,
yaitu:
1. BBM bersubsidi yaitu minyak
tanah harga tetap Rp 2.500 per liter.
2. BBM khusus penugasan bukan
subsidi, Artinya BBM ini khusus untuk pendistribusiannya ke wilayah jauh dan
sulit sehingga perlu dukungan jadi disebut BBM penugasan. Ini akan berlaku untuk
wilayah di luar Jawa, Madura dan Bali
3. BBM umum yang harganya akan dilepas
mengikuti harga pasar. Ini akan diberlakukan pada daerah Jawa, Madura dan Bali.
Melalui kategori ketiga ini para pemain akan diperbolehkan untuk mendapatkan
margin sebesar 5-10 persen dari harga dasar yang ditetapkan pemerintah.
Terobosan pemerintah Jokowi ini
jelas banyak mengundang pro dan kontra. Pasalnya meski turun, namun jelas bahwa
pencabutan subsidi akan berdampak sangat signifikan ketika harga minyak dunia
melambung naik. Memang harus diakui, kebijakan subsidi BBM selama ini banyak
mendapatkan kritikan dari badan-badan keuangan dunia, seperti Bank Dunia.
Kebijakan itu dinilai merugikan pemerintah dan hanya memanjakan masyarakat.
Meski demikian banyak pihak menilai, saat ini pencabutan subsidi secara
langsung sungguh merupakan kebijakan yang tidak populis. Mereka setuju subsidi
dicabut, namun tidak dengan cara langsung melainkan bertahap.
Tapi tentunya pemerintah Jokowi
telah melakukan perhitungan secara matang dan tidak akan gegabah menerapkan
kebijakan yang dianggap menyengsarakan rakyat. Jika harga minyak melambung
tinggi, bukan tak mungkin pemerintah melakukan revisi kebijakan lagi, seperti
halnya saat ini. Toh bukankah kebijakan menaikkan harga BBM baru dilakukan pada
bulan November silam?
Dengan demikian, mari kita tunggu
terobosan kebijakan-kebijakan Jokowi lainnya. Misalnya terkait dengan
perpanjangan blok migas yang akan habis yang membutuhkan pemerintah untuk turun
tangan segera.



