Wednesday, 31 December 2014

Terobosan Kebijakan BBM Pemerintah Jokowi

beritatrans.com
Terobosan kebijakan Bahan Bakar Minyak (BBM) pemerintahan Joko Widodo banyak mengundang pro dan kontra. Meski memang harga premium RON 88 akan turun menjadi Rp 7.600 dan solar menjadi Rp 7.250, namun banyak pihak mempertanyakan kebijakan penghapusan subsidi BBM jenis premium tersebut.

Setelah harga minyak dunia anjlok hingga mencapai level di bawah US$ 60/barrel, pemerintah akhirnya melakukan revisi besar-besaran terhadap harga BBM. Pemerintah mengambil kebijakan untuk menurunkan BBM bersubsidi. Harga BBM jenis Solar yang tadinya seharga Rp 7.500/liter turun menjadi Rp 7.250/liter, sedangkan BBM Premium yang tadinya seharga Rp 8.500/liter turun menjadi Rp 7.600/liter. Turunnya harga BBM ini berlaku pada pukul 00.00 1 Januari 2015.

Menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said saat ini harga pasar global BBM jenis Premium lebih murah dari harga Premium yang ditetapkan Pemerintah yaitu Rp 8.500/liter, oleh karena itu Pemerintah berencana merilis kebijakan baru yaitu dihapuskannya subsidi BBM jenis Premium. Dengan dihapusnya subsidi Premium maka harga Premium akan otomatis turun karena mengikuti  harga pasar minyak dunia.

Berdasarkan revisi Mahkamah Konstitusi (MK) yaitu tentang harga BBM dan gas bumi yang diatur dan ditetapkan pemerintah, Pemerintah juga tidak seluruhnya melepas harga BBM di Indonesia harus mengikuti harga pasar namun pemerintah berperan mengambil untuk menetapkan harga. Pemerintah juga mengklasifikasikan jenis BBM menjadi tiga, yaitu:

1. BBM bersubsidi yaitu minyak tanah harga tetap Rp 2.500 per liter.
2. BBM khusus penugasan bukan subsidi, Artinya BBM ini khusus untuk pendistribusiannya ke wilayah jauh dan sulit sehingga perlu dukungan jadi disebut BBM penugasan. Ini akan berlaku untuk wilayah di luar Jawa, Madura dan Bali
3. BBM umum yang harganya akan dilepas mengikuti harga pasar. Ini akan diberlakukan pada daerah Jawa, Madura dan Bali. Melalui kategori ketiga ini para pemain akan diperbolehkan untuk mendapatkan margin sebesar 5-10 persen dari harga dasar yang ditetapkan pemerintah.

Terobosan pemerintah Jokowi ini jelas banyak mengundang pro dan kontra. Pasalnya meski turun, namun jelas bahwa pencabutan subsidi akan berdampak sangat signifikan ketika harga minyak dunia melambung naik. Memang harus diakui, kebijakan subsidi BBM selama ini banyak mendapatkan kritikan dari badan-badan keuangan dunia, seperti Bank Dunia. Kebijakan itu dinilai merugikan pemerintah dan hanya memanjakan masyarakat. Meski demikian banyak pihak menilai, saat ini pencabutan subsidi secara langsung sungguh merupakan kebijakan yang tidak populis. Mereka setuju subsidi dicabut, namun tidak dengan cara langsung melainkan bertahap.

Tapi tentunya pemerintah Jokowi telah melakukan perhitungan secara matang dan tidak akan gegabah menerapkan kebijakan yang dianggap menyengsarakan rakyat. Jika harga minyak melambung tinggi, bukan tak mungkin pemerintah melakukan revisi kebijakan lagi, seperti halnya saat ini. Toh bukankah kebijakan menaikkan harga BBM baru dilakukan pada bulan November silam?


Dengan demikian, mari kita tunggu terobosan kebijakan-kebijakan Jokowi lainnya. Misalnya terkait dengan perpanjangan blok migas yang akan habis yang membutuhkan pemerintah untuk turun tangan segera.

Sunday, 14 December 2014

Bubarkan Saja Petral!

Polemik mengenai anak perusahaan Pertamina, Petral, terus saja berlanjut. Apalagi sejak Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said membentuk Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas yang bertugas untuk mengidentifikasi masalah-masalah di sektor tersebut. Sudah barang tentu, Petral menjadi salah satu fokus untuk dituntaskan mengingat banyaknya kecurigaan yang selama ini mengarah kesana.

Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas Faisal Basri menilai polemik Petral ini merupakan salah satu contoh paling kasatmata dari analogi yang dia pakai, bahwa tata kelola migas Indonesia ini ibarat akuarium yang butek. Petral, menurut Faisal adalah, "Ini perusahaan biasa, yang bisa dilacak siapa pemain dan bagaimana prosesnya, (tapi) kenapa impor dari Kazakhstan harus mampir Thailand (misalnya)."

Petral memang sering kali dikaitkan dengan keberadaan mafia migas. Mafia migas adalah Petral dan Petral adalah mafia migas. Begitulah stigma Petral yang sering berseliweran di kalangan masyarakat. Petral secara persepsi publik dan politik memang sudah bermasalah, sudah jelek Maka tak heran, jika sering muncul wacana untuk membubarkan Petral.

Dahlan Iskan sebagai Menteri BUMN pernah melontarkan wacana pembubaran Petral yang bermarkas di Singapura ini. Alasan pembubaran Petral ini agar Pertamina sebagai korporasi dapat menjalankan kinerjanya secara baik di sektor hulu. Dahlan Iskan menjelaskan, selama ini banyak yang menilai bahwa Petral merupakan ajang korupsi para pejabat dan petinggi Pertamina. Petral dijadikan ajang mendapatkan komisi dari ekspor impor minyak bagi orang-orang tertentu. Karena berdomisili di Singapura, menjadi sulit dikontrol.

Dalam perkembangannya terdapat penolakan dari sejumlah kalangan terkait rencana pembubaran Petral yang bertugas melakukan ekspor impor minyak mentah untuk Pertamina itu. Dan akhirnya wacana pembubaran Petral ini kandas di tengah jalan. 

Dalam rekomendasinya, Tim Transisi Jokowi-JK juga pernah mengatakan Petral akan dibekukan dan pemerintah akan melakukan audit investigatif terhadapnya. Selama proses pembekuan, masalah pembelian minyak mentah dan BBM dilakukan oleh Pertamina dan dijalankan di Indonesia.

Mantan Sekretaris Kementrian Negara BUMN Said Didu menilai bahwa ketika membicarakan Petral ada tiga hal atau masalah yang harus diperhatikan. Nama Petral sendiri, kegiatan Petral, dan kecurigaan ada permainan Petral. Nah, seringkali, semua masalah itu dibungkus jadi satu. Walaupun diperbaiki itu politisnya tidak bisa hilang, karena sekarang ini kan ada isu hanya akan diperbaiki tak dibubarkan,

Pertamina tetap harus punya trader namun harus beroperasi dan berbasis di Indonesia namun memiliki kewenangan masuk ke pasar-pasar spot pasar minyak tak hanya Singapura saja seperti yang dilakukan Petral sekarang ini.

Pertamina Energy Trading Limited 99,83% sahamnya dimiliki oleh Pertamina dan 0,17% dimiliki Direktur Utama Petral , Nawazir. Petral memiliki 55 perusahaan yang terdaftar sebagai mitra usaha. Pengadaan minyak oleh Petral dilakukan secara tender terbuka. Namun Petral juga melakukan pengadaan minyak dengan pembelian langsung. Karena ada jenis minyak tertentu yang tidak dijual bebas atau pembelian minyak secara langsung dapat lebih murah dibandingkan dengan mekanisme tender terbuka.

Nah, ketimbang pusing dengan citra Petral yang sudah kadung memburuk, mungkin pemerintah perlu memikirkan untuk membubarkan Petral. Namun mengingat Pertamina membutuhkan perusahaan trading, maka perlu dibentuk suatu perusahaan baru yang serupa dengan Petral.


Pendeknya, Petral dibubarkan untuk mengubur cerita-cerita dan dugaan-dugaan buruk mengenainya. Kemudian pemerintah membentuk perusahan trading baru yang serupa untuk memfasilitasi kebutuhan minyak mentah dan BBM Pertamina. Melalui perusahaan baru, pemerintah dan Pertamina bisa mulai menerapkan sistem yang lebih transparan dan akuntabel. Dengan demikian kecurigaan akan adanya praktek kongkalingkong dalam pengadaan minyak mentah dan BBM bisa dieliminir.

Thursday, 11 December 2014

Modifikasi Kilang, Terobosan Pertamina Dalam Kurangi Impor

Ancaman jeratan impor minyak mentah dan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang semakin meningkat di masa mendatang membuat Pertamina melakukan modifikasi kilang yang ada. Langkah ini adalah langkah jangka pendek yang dipercaya dapat mengantisipasi semakin lebarnya jurang antara konsumsi BBM dan produksi nasional. Bagaimanapun juga, Indonesia mesti menjadi negara yang berdaulat dalam urusan energi.

Bertepatan dengan ulang tahun Pertamina pada 10 Desember 2014, perusahaan migas plat merah tersebut menandatangani empat Nota Kesepahaman dengan tiga perusahaan minyak dan gas global, yakni Saudi Aramco, Sinopec dari China dan JX Nippon Oil and Energy Corporation dari Jepang untuk kerjasama peningkatan kapasitas dan upgrade lima kilang terpilih di Indonesia melalui konsep Refining Development Master Plan (RDMP). Ekspansi dan upgrade kilang-kilang tersebut diperkirakan memerlukan investasi yang signifikan, yaitu sekitar $25 miliar selama sepuluh tahun ke depan.

Proyek-proyek ini diharapkan dapat melipatgandakan kapasitas produksi kilang. Hal ini dapat diwujudkan melalui peningkatan kompleksitas kilang untuk meningkatkan hasil produksi bahan bakar utama, dan pelipatgandaan kapasitas unit pengolahan minyak mentah (CDU) dari 820.000 barrel per hari (bph) menjadi 1,680 juta bph.

Secara khusus, produksi bensin akan meningkat sebanyak 3,3 kali lipat dari 190.000 bph menjadi 630.000 bph, produksi diesel akan meningkat sebanyak 2,4 kali dari 320.000 bph menjadi 770.000 bph, dan produksi bahan bakar avtur akan meningkat dari 50.000 bph menjadi 120.000 bph dimana fase akhir dari proyek diperkirakan akan selesai di tahun 2025.

Dilihat dari angka kapasitas produksi yang akan meningkat dua kali lipat, memang proyek modifikasi kilang ini sangat menarik. Investasinya jauh lebih murah dibandingkan dengan membangun kilang yang baru, namun sama-sama dapat memberikan nilai tambah dan bahkan mengurangi angka impor di masa mendatang.

Meski demikian Pertamina tetap bertekad untuk tetap membangun kilang baru untuk mengejar angka konsumsi BBM yang diperkirakan mencapai 6-9 persen per tahun. Pertamina tahu bahwa investasi yang dibutuhkan sangat besar. Meski demikian pembangunan kilang baru adalah sebuah keniscayaan jika Indonesia tidak mau terjerat dari bundaran impor.

Urusan pembangunan kilang memang sangat alot di Indonesia. Pembangunan kilang terakhir dilakukan pada tahun1994 ketika Presiden Suharto meresmikan proyek kilang Balongan sebesar 125.000 barrel per hari. Sejak itu Indonesia tidak lagi memiliki kilang baru lagi, sementara konsumsi BBM terus meningkat, namun tidak dibarengi dengan tingkat supply yang memadai.

Selama ini, secara kasat mata, di masa lalu permasalahan kilang sering bermuara dari pemerintah sendiri. Di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Kementrian Keuangan dinilai sangat rigid, enggan memberikan insentif bagi pembangunan kilang. Meski sejumlah pihak tetap menengarai bahwa adanya mafia lah yang menjegal pembangunan kilang minyak untuk terealisasi.

Kini pemerintah telah membentuk Tim Reformasi Migas, dimana salah satunya adalah memberantas mafia migas. Dengan demikian, tidak ada halangan bagi pemerintah untuk membangun kilang yang baru. Asal pemerintah mau berkorban memberikan insentif lebih kepada investor, maka proyek pembangunan kilang bisa berjalan lancar.

Memang tidak bisa dipungkiri, pembangunan kilang adalah bisnis dengan margin kecil. Namun demikian pemerintah ataupun Pertamina tidak bisa melihatnya semata-mata dari sudut pandang  bisnis. Pembangunan kilang adalah urusan infrastruktur energi yang harus dibangun untuk memenuhi kebutuhan energi masyakat dalam jangka panjang.


Singkatnya, pembangunan kilang harus dilakukan sesegera mungkin. Dengan atau tanpa investor, pemerintah dan Pertamina harus membangun kilang. Kalau bukan sekarang kapan lagi? Kalau bukan kita siapa lagi? Kini adalah waktu yang tepat untuk membangun kilang. Jika bukan kini, entah kapan lagi.......

Thursday, 4 December 2014

Lagi-lagi, Produksi Migas Indonesia Bakal Gagal Capai Target

skalanews.com
Berita mengenai produksi migas Indonesia tidak pernah menggembirakan, karena diperkirakan lagi-lagi akan gagal mencapai targetnya. Ujung-ujungnya negara lah yang akan mengalami kerugian. Lalu apakah penyebab kegagalan tersebut? Banyak hal yang menghantuinya, baik secara teknis dan non-teknis.

Satuan Kerja Khusus Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) memperkirakan lifting tahun 2014 hanya mencapai sebesar 798.000 barel per hari (BOPD) atau sebesar 97,6 persen dari target 818.000 BOPD yang tertuang di dalam APBN-P. 

Meski memang masih di bawah target, namun SKK Migas mengaku bahwa industri hulu migas sudah bekerja keras dalam menghadapi tantangan-tantangan di lapangan, antara lain gangguan operasional produksi, seperti misalnya gangguan fasilitas, gangguan sumur, kendala penyerapan minyak, dan lain-lain. Selain itu juga mundurnya onstreamnya beberapa proyek, seperti pengembangan penuh Lapangan Banyu Urip dan pengembangan Lapangan Bukit Tua. Dan yang terakhir adalah ketidakberhasilan pemboran beberapa sumur, termasuk penundaan pekerjaan pemboran akibat kendala ketersediaan rig dan kendala perizinan.

Meski demikiann, angka prognosa lifting minyak tersebut bukan berarti sudah pasti. Pasalnya angkanya bisa berubah jika di luar dugaan ada kendala operasional, gangguan cuaca dan kesiapan penyerapan Pertamina selaku offtaker minyak bagian negara.

Meski demikian, SKK Migas menyoroti beberapa masalah yang menjadi penyebab utama kegagalan tersebut. Beberapa isu lain yang berpotensi menghambat kegiatan hulu migas dalam jangka panjang. Termasuk di dalamnya adalah implementasi aturan mengenai tata ruang. Regulasi yang ada menyatakan semua kegiatan harus mengacu pada rencana tata ruang dan tata wilayah.

Saat ini tidak semua daerah sudah memiliki rencana tata ruang dan tata wilayah ini. Sedangkan beberapa daerah yang menyusun rencana tata ruang dan tata wilayah belakangan tidak mengakomodasi kegiatan usaha hulu migas yang sebenarnya sudah beraktivitas di wilayah tersebut untuk waktu yang cukup lama. Dalam beberapa kasus ditemukan tapak sumur atau pipa penyalur yang berada di kawasan budidaya pemukiman, komersial, dan pertanian.

Selain masalah tata ruang, industri hulu migas juga menghadapi kendala dari aturan perpajakan. Beberapa regulasi perpajakan yang sampai saat ini belum terselesaikan antara lain terkait pajak pertambahan nilai(PPN) impor, pajak bumi dan bangunan (PBB) offshore, dan pajak untuk penggunaan fasilitas bersama antar KKKS.

Terkait dengan PPN impor, masalahnya adalah Kontraktor KKS eksploitasi tidak dapat menerima pembebasan PPN impor karena tata caranya belum diamanatkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 70/2013. Saat ini terdapat PPN impor sebesar Rp 1 triliun yang sudah dibayarkan oleh Kontraktor KKS yang belum mendapatkan  engembalian. Permasalahan PPN impor berdampak langsung terhadap pengadaan barang yang dibutuhkan dalam operasi hulu migas, sehingga berpotensi menurunkan tingkat produksi migas.

Permasalahan juga terjadi pada pembebanan PBB Offshore. Kontraktor KKS wilayah offshore yang menandatangani kontrak setelah PP 79 tahun 2010 mengajukan keberatan terhadap SPPT PBB Permukaan Offshore dan SPPT PBB Tubuh Bumi periode tahun 2012 dan 2013 dengan nilai Rp 3,1 triliun. Dirjen Pajak sudah menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor Per-45/PJ/2013 tentang Tata Cara Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan untuk Pertambangan Minyak Bumi, Gas Bumi, dan Panas Bumi untuk menggantikan Per-11/PJ/2012.

Peraturan tersebut tidak berlaku retroaktif, sehingga permasalahan PBB  Migas sebesar Rp 3,1 trilyun masih belum selesai. Kepastian hukum atas permasalahan ini berdampak terhadap keputusan investasi dari para Kontraktor KKS. Sementara menunggu, Kontraktor KKS yang masih dalam tahap Eksplorasi, memilih untuk tidak melakukan kegiatan eksplorasi sampai dengan proses tersebut selesai.

Masalah lain perpajakan juga terjadi pada penggunaan fasilitas bersama antar Kontraktor KKS. Mekanisme pengggunaan fasilitas bersama lebih efisien karena biaya operasi ditanggung bersama dibandingkan jika masing-masing Kontraktor KKS membangun fasilitasnya masing-masing. Namun, penggunaan fasilitas bersama ini ternyata kemudian dianggap sebagai objek pajak sehingga dikenakan PPN yang menimbulkan beban tambahan bagi kegiatan hulu migas.

Terus terang, masalah-masalah itu telah menjadi perhatian investor migas sejak lama. Dan nyatanya masalah tersebut hanya menjadi angin lalu di pemerintahan SBY. Kini di bawah pemerintahan Jokowi, banyak investor migas yang berharap agar kendala-kendala ini dapat diatasi.


Pasalnya tanpa keseriusan pemerintah, maka produksi dan bahkan kegiatan eksplorasi akan semakin turun. Dan jika ini terjadi maka ketergantungan Indonesia terhadap minyak import akan semakin menjadi.