Thursday, 29 January 2015

Tarik Menarik Saham di Blok Mahakam


Mahakam selalu menarik untuk dijadikan rebutan. Kini setelah Pemerintah Daerah Kalimantan Timur menyatakan keinginannya untuk memiliki saham di Mahakam, pengusaha Hashim Djojohadikusumo dikabarkan juga tertarik untuk berinvestasi di Blok Mahakam setelah berakhirnya kontrak Total E&P Indonesie pada 2017. Meski begitu, adik mantan calon presiden Prabowo Subianto itu hanya akan menanamkan modalnya jika menjadi pemegang saham mayoritas. 

Hashim Djojohadikusumo sebelumnya dikatakan masih mempelajari mengenai investasi Blok Mahakam. Maka tak heran jika Hashim belum menentukan apakah akan bekerja sama dengan pihak lain atau berinvestasi sendiri. Yang pasti anak Hashim yang juga anggota Komisi VII DPR Aryo P.S. Djojohadikusumo mengingatkan ada hak pemerintah daerah (pemda) untuk ikut berpartisipasi. Walaupun pemda nantinya dapat bekerja sama dengan pihak swasta untuk memperoleh saham di blok kaya minyak dan gas bumi tersebut.

Pemerintah sendiri telah menunjuk Pertamina untuk mengelola blok tersebut pasca 2017. Pertamina saat ini tengah menyusun proposal rencana pengelolaan, termasuk diantaranya dengan siapa ia akan bekerjasama. Memang, pemerintah secara tidak langsung mengisyaratkan ingin melibatkan pemda dalam pengelolaan Blok Mahakam. Bahkan sinyal agar Pertamina untuk menggandeng Total juga tampak.

Kembali ke soal jatah pemda, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said mengaku memberikan beberapa catatan kepada pemda Kaltim dalam mengelola Blok Mahakam. Dia tidak ingin pemda Kaltim hanya dijadikan alat oleh beberapa pihak yang tidak niat membangun industri namun ingin menguasai blok migas tersebut.

Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kaltim dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kutai Kertanegara (Kukar) sebelumnya sudah sepakat untuk membagi porsi saham hak partisipasi sebesar 10 persen Blok Mahakam. Pemkab Kukar akan memperoleh porsi 60 persen, sedangkan Pemprov Kaltim sebesar 40 persen.

Adapun Pemprov Kaltim pun sudah mendirikan BUMD PT Migas Mandiri Pratama (MMP). PT MMP ini kemudian menggandeng PT Yudistira Bumi Energi dengan membuat perusahaan patungan bernama PT Cakra Pratama Energi pada 1 Desember 2010. 


Kini keputusan akhir ada di tangan Pertamina dan pemerintah. Sudah selayaknya Pertamina memilih partner yang kredibel dalam mengelola Mahakam. Total dan Inpex sudah berhasil membuktikan bahwa keduanya mumpuni dalam mengelola blok tersebut dan berhasil memberikan kontribusi yang signifikan bagi negara. Kemampuan dalam hal finansial, teknologi dan sumber daya sudah tidak diragukan lagi. 

Keduanya menginjeksikan dana sebesar US$ 2,5 miliar per tahun untuk pengembangan Mahakam. Yang menjadi masalah, tidak semua perusahaan mampu melakukan hal tersebut. Jangan sampai, salah pilih partner hanya akan mengakibatkan produksi anjlok dan turunnya penerimaan negara.

Wednesday, 28 January 2015

Prahara KPK Vs Polri, Quo Vadis Pemberantasan Korupsi?

Masyarakat tersentak, pemberantasan korupsi terancam dengan ditangkapnya Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjajanto oleh Baeskrim. Bambang ditangkap dengan alasan telah memberi kesaksian palsu atas kasus sengketa Pilkada Kotawaringin Barat, yang juga melibatkan Akil Mochtar. Dengan demikian, mulai dibukalah episode baru pertarungan “cicak vs buaya” jilid ke-3. Quo vadis pemberantasan korupsi?

Bambang dijemput oleh tim Bareskrim Polri saat dia mengantar anaknya sekolah di kawasan Depok pada Jumat pagi (23/1). Bambang langsung dibawa ke Bareskrim Polri untuk dilakukan pemeriksaan dan ditetapkan sebagai tersangka. Penangkapan Bambang Widjajanto ini jelas membuat orang terheran-heran. Pasalnya dilakukan tak lama setelah penetapan calon tunggal Kapolri Komisaris Jenderal  Budi Gunawan sebagai tersangka penerima grasi oleh KPK beberapa saat lalu. Bambang menilai saat ini tengah terjadi proses penghancuran terhadap KPK yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu.

Memang sebelum kasus Bambang, pelaksana tugas Sektetaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto yang berkata bahwa dirinya sempat bertemu dengan Ketua KPK Abraham Samad sebelum Pemilu Presiden 2014 berlangsung; kemudian dilanjutkan dengan penangkapan Bambang Widjojanto oleh Bareskrim Polri kemarin pagi; dan terakhir pelaporan Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja atas tuduhan kasus pencurian saham hari ini menjadi dasar kecurigaan muncul di dalam diri Bambang.

Budi Gunawan sendiri tak tinggal diam. Melalui kuasa hukumnya, Razman Arif Nasution,  ia juga melaporkan  pimpinan KPK ke Kejaksaan Agung dan Mabes Polri. Di Kejaksaan Agung, dua pimpinan KPK, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto dilaporkan karena dianggap telah menyalahgunakan wewenangnya dengan menetapkannya sebagai tersangka (21/01/2015), sedangkan ke Mabes Polri, pimpinan KPK dilaporkan karena dinilai telah melampui wewenangnya dengan penetapan status Budi tersebut, juga dipersoalkan tindakan KPK yang mengumumkan ke publik tentang pemblokiran rekening bank milik Budi Gunawan.

Jelas konstelasi politik ini membuat rakyat turun ke jalan. Tuntutan rakyat sendiri amat jelas: meminta Presiden Joko Widodo turun dan mengambil keputusan berarti. Diantara tuntutan tersebut adalah stop kriminalisasi KPK dan stop pencalonan Budi Gunawan. Jokowi sendiri berusaha meredakan suasana dengan memberikan pidato singkat yang nyatanya malah mengecewakan dan tidak tegas.

Jokowi memang tengah pusing tujuh keliling, Di satu sisi ingin mendengar rakyat, namun ia juga turut mempertimbangkan keinginan partai pengusungnya PDIP yang ingin mencalonkan Budi Gunawan, mantan ajudan Megawati Soekarnoputri. Ditambah lagi, DPR telah menyatakan dukungannya terhadap Budi Gunawan meski telah ditetapkan tersangka. Jika Jokowi salah langkah, bukan tak mungkin karirnya akan berujung dengan impeachment seperti halnya Gus Dur.

Jokowi akhirnya membetuk Tim Independen untuk memberikan rekomendasi atas kisruh tersebut. Tim ini terdiri dari mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Syafii Maarif; mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshidique; sosiolog Imam Prasodjo; mantan Kapolri Jenderal (Purn) Sutanto; mantan Wakil Kepala Polri Komjen (Purn) Oegroseno; Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana; mantan pimpinan KPK, Tumpak Hatorangan Panggabean dan Erry Riyana Hardjapamekas; serta pengamat kepolisian Bambang Widodo Umar.

Adapun isi rekomendasi tersebut adalah:

A. Presiden seyogianya memberi kepastian terhadap siapa pun penegak hukum yang berstatus sebagai tersangka untuk mengundurkan diri dari jabatannya atau tidak menduduki jabatan selama berstatus sebagai tersangka demi menjaga marwah institusi penegak hukum, baik KPK maupun Polri.

B. Presiden seyogianya tidak melantik calon Kapolri dengan status tersangka dan mempertimbangkan kembali untuk mengusulkan calon baru Kapolri agar institusi Polri segera dapat memiliki Kapolri yang definitif.

C. Presiden seyogianya menghentikan segala upaya yang diduga kriminalisasi terhadap personel penegak hukum siapa pun, baik KPK maupun Polri dan masyarakat pada umumnya.

D. Presiden seyogianya memerintahkan kepada Polri maupun KPK untuk menegakkan kode etik terhadap pelanggaran etik profesi yang diduga dilakukan oleh personel Polri maupun KPK.

E. Presiden agar menegaskan kembali komitmennya terhadap pemberantasan korupsi dan penegakan hukum pada umumnya sesuai harapan masyarakat luas.


Kini keputusan ada di tangan Jokowi. Jangan sampai sang presiden mengambil keputusan. Jangan sampai pendukung salam dua jari terpaksa harus gigit jari akibat menelan kekecewaan.

Tuesday, 13 January 2015

Pertaruhan Jokowi dalam Pemilihan Kapolri

Nama harum Presiden Joko Widodo dipertaruhkan terkait pilihannya dalam mencari Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) untuk menggantikan Jenderal Pol. Sutarman. Pasalnya calon tunggal yang diajukan presiden, yakni Komisaris Jenderal Budi Gunawan ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka kasus korupsi. Nah!

Tak disangka tak diduga, KPK menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka. KPK menduga ada transaksi mencurigakan atau tidak wajar yang dilakukan Budi Gunawan. Masalahnya penetapan itu dilakukan sehari menjelang jadwal fit and proper test yang akan dilaksanakan Dewan Perwakilan Rakyat.

Sebenarnya penetapan kasus tersangka ini sudah dapat diduga sebelumnya mengingat banyak pihak yang meminta Jokowi berpikirulang atas pencalonan tersebut. Presiden Jokowi terkesan terburu-buru melakukan proses seleksi calon Kapolri padahal Jenderal Pol. Sutarman baru akan pensiun pada Oktober 2015 mendatang. Apalagi Budi Gunawan sempat dikaitkan dengan kepemilikan rekening gendut. Terlebih lagi Jokowi tidak melibatkan KPK dan Pusat Pelaporan Analisi Transaksi Keuangan (PPATK) untuk menelusuri rekam jejak para calon kepala Kepolisian RI.

“Calon Kapolri sekarang pernah diusulkan menjadi menteri, tetapi pada waktu pengecekan info di PPATK dan KPK, yang bersangkutan mendapat rapor merah atau tidak lulus," mantan Kepala Pusat Pelaporan Analisi Transaksi Keuangan Yunus Husein mengeluarkan pernyataan tersebut melalui akun twitter.

Memang pemilihan Kapolri adalah hak prerogatif Presiden. Namun banyak pihak menganggap penggunaan hak prerogatif Presiden tergesa-gesa. Meski tak diatur dalam undang-undang, keterlibatan KPK dan PPATK dapat menjadi pertimbangan Presiden terkait komitmen menghindari penegak hukum yang memiliki masalah hukum. Tapi Jokowi tak gentar, ia tetap menunjuk Budi Gunawan, mantan ajudan Presiden Megawati Soekarno Putri sebagai calon Kapolri.

Yang mengherankan DPR pun tetap melakukan uji kelayakan (fit and proper test) meski KPK telah menyatakan Budi Gunawan sebagai tersangka. Bahkan Komisi III DPR sudah meloloskan Komjen Budi Gunawan dalam fit and proper test. Komisi III pun segera menyampaikan ke Presiden Jokowi. Tentunya sangat mengherankan ketika Koalisi Merah Putih terlihat kompak dengan Koalisi Indonesia hebat. Apakah kekompakan melawan KPK? Entahlah.

Meski demikian banyak pihak yang tetap memberikan apresiasi kepada Jokowi. Ada yang menyebut Jokowi justru pintar dengan tetap mengajukan Budi Gunawan. Istilah 'nabok nyilih tangan' atau menampar dengan menggunakan tangan orang lain digunakan untuk menjelaskan langkah Jokowi ini. Jokowi sebagai orang Jawa, dinilai sungkan dengan profil calon Kapolri yang diusulkan oleh Ketua Partai PDIP Megawati. Namun untuk menolak secara tegas sulit dilakukan Jokowi. Meski demikian, ada pertanyaan menggelitik. Akankah Jokowi mengobarkan nama baiknya dengan menggunakan falsafah 'nabok nyilih tangan' tersebut?

Entahlah. Yang pasti masyarakat menginginkan pemerintah sekarang komit dan konsisten dalam memberantas korupsi dan nepotisme. Di sektor energi sendiri misalnya, 'acara bersih-bersih' masih terus dilakukan. Mungkinkah bersih-bersih itu hanya dilakukan secara parsial dan tidak menyeluruh?


Apapun keputusannya nanti, jelas Jokowi akan mempertaruhkan namanya. Baik namanya di mata Megawati atau di mata rakyat. Jangan sampai rakyat kembali merasa salah pilih pemimpin jika Jokowi salah pilih.

Monday, 12 January 2015

Otonomi Khusus di Kaltim, Perlukah?

Propinsi Kalimantan Timur secara resmi meminta pemerintah pusat untuk memberikan Otonomi Khusus (Otsus) pada daerahnya. Pemerintah propinsi menilai bahwa Kaltim adalah daerah yang kaya akan sumber daya alam namun pembangunannya dinilai masih sangat minim. Dalam otsus itu, Pemprop juga menuntut kepemilikan setidaknya 10 persen pada Blok Mahakam. Yang menjadi pertanyaan, perlukah adanya otsus itu?

Otonomi daerah yang dikumandangkan pada tahun 1999 memang ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi bisa membawa kebaikan bagi daerah karena lebih mendiri, namun di sisi lain malah bisa membikin pusing investor. Apa sebab? Tak lain karena banyaknya aturan yang tumpang tindih dengan pemerintah pusat yang ujung-ujungnya malah membikin pusing investor. Contohnya perijinan dan juga biaya-biaya lainnya.

Nah kini Pemprop Kalimantan Timur menuntut adanya otonomi khusus mengingat daerahnya adalah daerah yang kaya akan SDA namun minim infrastruktur. Gubernur Awang Faroek Ishak merasa dibohongi pemerintah pusat sejak periode pertama kepemimpinannya. Banyak janji-janji palsu yang tidak terlaksana. Dengan adanya Otsus, menurut Awang, maka penerimaan Kaltim akan sama dengan daerah-daerah yang lebih dulu merasakan Otsus. Seperti di Provinsi Papua, yang mendapat Dana Bagi Hasil (DBH) 70:30. Saat ini, DBH Kaltim hanya mencapai angka 15,5 persen untuk minyak bumi, dan 30,5 persen untuk gas. Selain Otsus, Pemprop juga akan menuntut 10 persen saham kepemilikan di Mahakam.

Angka ini memang lebih besar dari yang dituntut oleh Komite Nasional Pemuda Indonesia Kaltim yang meminta jatah 30 persen atau minimal 20 persen saham Blok Mahakam untuk Kaltim. Sebelumnya DPD KNPI Kaltim siap berjuang untuk meraih saham kepemilikan itu. Sejumlah pergerakan turut direncanakan agar Kaltim kebagian hak partisipasi (participating interest/PI) atau kepemilikan aktif melalui kerja sama (working interest/WI).

Yang pasti, Pemprop harus ingat bahwa tentunya kepemilikan saham di suatu blok harus diikuti pula oleh kemampuan finansial. Apalagi Mahakam sendiri adalah lapangan tua yang telah berproduksi selama puluhan tahun. Dari puncak kejayaannya di tahun 2000-an dengan produksi sebesar 2.6 miliar kaki kubik per hari, kini produksi Mahakam hanya mencapai sekitar 1,6-1,7 miliar kaki kubik per hari. Angka tersebut diperkirakan akan turun terus mencapai 1.5 miliar kaki kubik per hari di masa mendatang seriring dengan laju penurunan alamiah.

Total sendiri membutuhkan dana sebesar US$ 2,5 miliar per tahun dalam mengelola Mahakam. Dana tersebut harus dialokasikan untuk menjaga kestabilan produksi. Nah, apakah pemda Kaltim sanggup untuk menyumbangkan dana sebesar porsi kepemilikan sahamnya? Inilah yang harus dipikirkan masak-masak. Jangan sampai pada akhirnya keinginan sesaat ini hanya memicu penurunan produksi Mahakam. Jika ini terjadi, jelas pemerintah dan rakyat Indonesia lah yang akan dirugikan.

Pemerintah sendiri telah memberikan memutuskan Pertamina untuk mengambil alih Mahakam. Pertamina diminta melakukan kajian dan menuangkan ke dalam proposal mengenai rencana korporasi terhadap pengelolaan Mahakam pasca 2017. Meski demikian, Total diharapkan dapat dikutsertakan dalam pengelolaan Mahakam. Apalagi Total sudah menyatakan kesanggupannya untuk memberikan kesempatan kepada Pertamina untuk mengelola blok miliknya di luar negeri secara bersama. Pemerintah menilai inilah peluang emas yang harus ditangkap Pertamina.


Kembali ke soal otsus untuk Pemprop Kaltim, rasanya hal ini bisa dipertimbangkan dan didiskusikan dengan pemerintah pusat. Namun jangan kaitkan otsus tersebut dengan kepemilikan saham di Mahakam. Pasalnya itu adalah dua hal yang berbeda. Salah urus di Blok Mahakam hanya akan mengakibatkan pendapatan daerah turun karena produksi yang jeblok. Nah, tampaknya Pemprop harus berpikir baik-baik dengan tidak gegabah.