Thursday, 26 February 2015

Swasta Dilarang Jual Air Minum Kemasan, Untungkan Atau Rugikan Indonesia?

Lagi-lagi berita buruk untuk investasi menyusul adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang  berpendapat bahwa sumber daya air merupakan bagian dari hak asasi manusia yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Adanya keputusan tersebut menyebabkan Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammdiyah yang juga Ketua Majelis Ulama Indonesia Din Syamsuddin meminta agar semua kontrak dengan perusahaan swasta, baik domestik maupun asing, yang menguasai sumber daya air nasional dan menjualnya menjadi air minum dalam kemasan dengan sendirinya dibatalkan.

Keputusan MK itu diambil setelah adanya permohonan judicial review UU Nomor 7 tahun 2004 tentang sumber daya air yang diajukan oleh PP Muhammadiyah, Perkumpulan Vanaprastha, dan beberapa pemohon perseorangan.  Dalam amar putusannya, MK menilai UU SDA tidak memenuhi enam prinsip dasar pembatasan pengelolaan SDA  sebagaimana diatur dalam UUD 1945.

Tak hanya itu, Din Syamsudin juga mendorong pemerintah untuk menguasai produksi air kemasan, yang selama ini pengelolaannya yang dipegang oleh pihak swasta. Pasalnya, menurut Din, seharusnya air dan sumber daya alam lain yang terkandung harus dikelola negara untuk kemakmuran rakyat. Ini sesuai dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Din Syamsudi juga mendesak DPR dan pemerintah untuk segera membahas, mengajukan, dan membentuk undang-undang baru tentang sumber daya air yang sesuai dengan konstitusi.

Saat ini memang Indonesia memiliki PAM Jaya atau perusahaan milik daerah PDAM. Namun keduanya lebih terfokus pada pengadaan air bersih, bukan kepada air minum kesan. Sungguh pasar air minum kemasan ini sangat luas sehingga memang dibutuhkan investasi besar agar dapat memenuhi kebutuhan air minum seluruh masyarakat. Bayangkan saja, berapa ratusan kilometer pipa yang dibutuhkan untuk menghubungkan sumber daya air ke pabrik, belum lagi pabrik penyulingannya, dan juga moda transportasi yang tidak mudah.

Bukan tak mungkin kalau perusahaan negara ataupun daerah akan kewalahan untuk melakukannya. Makanya kedatangan swasta sebetulnya tidak perlu dihalangi. Biarkan mereka bersaing sehat untuk mendapatkan pasar. Bahkan adanya perusahaan-perusahaan swasta ini malah membantu pemerintah dalam memenuhi kebutuhan air bersih yang siap minum di seluruh pelosok nusantara.

Nah, kembali ke soal Muhammadiyah. Tentu ingatan kita melayang ke tahun 2013 dimana Din Syamsuddin meminta pemerintah untuk menyerahkan pengelolaan Blok Mahakam di Kalimantan Timur kepada PT Pertamina pasca berakhirnya kontrak pengelolaan yang dipegang oleh Total E&P Indonesie hingga 2017. Bahkan Muhammadiyah mendatangi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk menyampaikan petisi penolakan terhadap perpanjangan kontrak Blok Mahakam. Total dinilai sudah meraup keuntungan dari pengelolaan Blok Mahakam selama 50 tahun, sehingga pemerintah tidak perlu menyerahkan bagian bahkan sebesar 10 persen pun bagi Total.

Padahal tentunya, statement itu diberikan tanpa memberikan paparan teknis dan ekonomisnya. Din tidak melakukan kajian mendalam bagaimana akibatnya jika Total tidak diikutsertakan dalam pengelolaan Mahakam. Bagaimana resiko yang dihadapi pemerintah jika produksi Mahakam merosot tajam?

Sudah cukupkah? Ternyata belum. Menurut rencana selanjutnya Muhammadiyah juga akan mengajukan judicial review terhadap UU tentang penanaman modal asing dan UU Migas.

Tentunya sebagian orang awam merasa heran dengan kiprah Din tersebut. Terlalu banyak judicial review yang diajukan Muhammadiyah. Bukan kenapa-kenapa, tapi masih banyak hal lain yang lebih penting yang mendesak untuk diperbaiki oleh mereka ketimbang melakukan judicial review. Apakah hal-hal itu? Diantaranya adalah kerusakan akhlak.

Saat ini kriminalitas di Indonesia sudah dalam tingkatan parah. Perampokan, pemekosaan, pembegalan, kekerasan dan bahkan korupsi semakin merajalela. Inilah yang menyebabkan MUI ataupun Muhammadiyah harus serius dalam pembenahan akhlak khalayak. Ini lebih utama. Jika akhlak sudah diperbaiki maka keamanan dan kesejahteraan akan segera menyusul.


Ini lebih penting, ketimbang sibuk melakukan judicial review tapi rasa aman dan nyaman penduduk negeri ini sudah hilang. Masalah UU, pastinya pemerintah sudah memiliki tim-tim hukum dan pakar-pakar yang handal yang sudah mengkaji secara mendalam jika ingin membuat UU. Dan jangan lupa, pembuatan UU itu tidak hanya porsi pemerintah saja, tapi juga melibatkan DPR. Jadi biarkan masing-masing pihak bekerja sesuai porsinya masing-masing.

Wednesday, 18 February 2015

Pemda Kaltim, Realitislah Mimpi Kelola Blok Mahakam

Mimpi Pemerintah Daerah Kalimantan Timur untuk mengelola Blok Mahakam tampaknya harus dikubur. Pasalnya keikutsertaan mereka dalam managemen blok tersebut sudah pasti harus diikuti dengan komitmen investasi setiap tahunnya yang mencapai US$ 2,5 miliar. Masalahnya, Pemda Kaltim mengakui sulitnya mendapatkan dana tersebut dari sindikasi bank.

Masalah Mahakam belum usai, selama Pertamina belum menyampaikan hasil kajiannya mengenai pengelolaan blok tersebut pasca 2017. Banyak sejumlah pihak yang ingin turut ambil bagian dalam pengelolaan Mahakam, seperti misalnya Pemda Kaltim yang notabene miskin pengalaman dalam industri migas.

KNPI Kaltim misalnya telah meminta pemerintah mengalokasikan 30 persen saham di Mahakam untuk pemda. Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek Ishak sendiri telah meminta pemuda Kaltim lebih realistis dalam menuntut hak partisipasi di Blok Mahakam hingga 30 persen. Pasalnya untuk 10 persen saham saja, Pemda Kaltim merasa kedodoran.

Menurut Awang, pendanaan melalui sindikasi bank dinilai juga tidak memungkinkan karena keterbatasan bank lokal. Maka jalan satu-satunya adalah bekerjasama dengan perusahaan swasta nasional maksimal 10 persen.

Dan sudah menjadi rahasia umum pula bahwa adik mantan calon Presiden RI Prabowo Subiyanto, yakni Hashim Djodjohadikusumo telah menyatakan minatnya untuk ambil bagian di Blok Mahakam. Artinya tidak menutup kemungkinan jika Pemda Kaltim akan menggandeng Hasyim dalam mengelola Mahakam nanti mengingat Pemerintah sebelumnya mengisyaratkan ingin melibatkan pemda.

Pelaksana tugas Dirjen Minyak dan Gas Bumi (Migas) Kementerian ESDM I.G.N. Wiratmadja mengingatkan agar pemda tidak dijadikan alat oleh pihak lain yang ingin mengeruk keuntungan dari Blok Mahakam.
Pemerintah tidak menginginkan pemda untuk melibatkan pihak swasta untuk mengelola saham di Blok Mahakam. Ini supaya pemda yang benar-benar memiliki saham atau hak partisipasi di blok yang kaya akan cadangan gas bumi itu.

Pemerintah Provinsi Kaltim dan Pemerintah Kabupaten Kutai Kertanegara (Kukar) sebelumnya sudah sepakat untuk membagi porsi saham hak partisipasi sebesar 10 persen Blok Mahakam. Pemkab Kukar akan memperoleh porsi 60 persen, sedangkan Pemprov Kaltim sebesar 40 persen.

Adapun Pemprov Kaltim pun sudah mendirikan BUMD PT Migas Mandiri Pratama (MMP). PT MMP ini kemudian menggandeng PT Yudistira Bumi Energi dengan membuat perusahaan patungan bernama PT Cakra Pratama Energi pada 1 Desember 2010.

Pengamat Ekonomi Faisal Basi pernah menggarisbawahi ketidakmampuan daerah dalam mendanai investasi di sektor migas. Akibat ketidakmampuan ini, divestasi saham blok migas yang seharusnya untuk kesejahteraan daerah malah digadaikan lagi kepada investor lain. Nah, Mahakam sendiri adalah blok tua yang membutuhkan dana sebesar US$ 2,5 miliar per tahun. Pertamina yang BUMN saja hanya mampu untuk menggelontorkan dana sebesar US$ 1 miliar per tahun, jauh dari angka yang dikeluarkan Total. Lalu bagaimana dengan Pemda?

Kalaupun Pemda mampu dalam pendanaan, bagaimana dengan teknologi dan pengalaman dalam industri migas? Tentunya ingatan kita mengenai penurunan produksi di Blok Coastal Plain Pekan Baru beberapa tahun silam masih melekat tajam. Saat itu pemda ingin meminta bagian di blok yang saat itu masih dipegang Caltex. Pemda membentuk perusahaan patungan dengan Pertamina melalui Bumi Siak Pusako. Hasilnya? Produksi blok tersebut terjun bebas. Nah, apakah pemerintah ingin hal serupa terjadi di Blok Mahakam?

Sejumlah pengamat menilai, hal terpenting bagi pemda dalam pengelolaan blok migas adalah pemda mendapatkan hasil dari produksi migas di daerah tersebut tanpa harus memiliki saham. Apalagi pengelolaan Blok Mahakam tidak bisa dilakukan dengan main-main mengingat tingkat kesulitan blok tersebut.


Singkatnya, Pertamina harus menyadari bahwa pengelolaan Mahakam tidak bisa main-main. Dan Total sudah mengerti betul kondisi dan situasi di Blok Mahakam. Jadi kerja sama antar Pertamina dan Tota itu penting untuk menjaga kesinambungan operasi.

Thursday, 12 February 2015

Jika Industri Migas Indonesia Ditinggalkan Investor Asing

Isu nasionalisme versus asing sudah menjadi tren yang dibicarakan banyak kalangan di Indonesia. Banyak kalangan yang menilai industri migas nasional sudah terlalu dikuasai asing sehingga perlu dilakukan nasionalisasi. Benarkah asing mendominasi industri ini? Nah, lalu bagaimana kelanjutan industri migas nasional jika semua aset migas ingin dinasionalisasi dan investor asing benar-benar angkat kaki dari sini?

Sudah menjadi rahasia umum bahwa industri migas adalah industri yang pada modal, padat karya dan padat teknologi. Semua sepakat, industri ini bukan lah industri rumahan yang semua orang bisa menggelutinya. Disebut padat karya karena kegiatan eksplorasi dan eksploitasi akan membutuhkan ribuan orang yang terlibat secara aktif. Total misalnya, telah beroperasi di lebih dari 130 negara memiliki sekitar 93.000 orang karyawan di bagian eksplorasi dan produksi minyak dan gas alam, penyulingan dan pemasaran, gas dan energi alternatif, perdagangan dan industri kimia.

Selain itu, kegiatan hulu migas ini merupakan industri yang mahal dan beresiko tinggi. Untuk mengebor satu sumur saja setidaknya diperlukan biaya US$ 20 juta. Padahal untuk mengalirkan produksi minyak atau gas, dibutuhkan puluhan bahkan ratusan sumur untuk dibor. Itu jika beruntung mendapatkan kandungan hydrocarbon. Sedang yang tidak menemukan apapun dalam kegiatan eksplorasinya, maka resiko ditanggung perusahaan. Menurut Undang Undang Minyak dan Gas Bumi, pemerintah hanya dapat mengembalikan biaya investasi suatu perusahaan jika ditemukan cadangan yang ekonomis dan dapat diproduksikan. Ini yang disebut cost recovery.

Menurut data Satuan Kerja Khusus (SKK Migas), setidaknya terdapat sejumlah perusahaan asing yang mengalami kerugian sebesar total $1,9 miliar karena gagal menemukan cadangan minyak dan gas lepas pantai di laut dalam yang diupayakan sejak 2009. Perusahaan tersebut adalah perusahaan asing semua, yaitu Exxon Mobil Corp, Statoil ASA, ConocoPhillips, Talisman Energy Inc, Marathon Oil Corp, Tately NV, Japan Petroleum Exploration Co, Cnooc Ltd, Hess Corp, Niko Resources Ltd, dan Murphy Oil Corp. Artinya perusahaan-perusahaan tersebut harus menanggung biaya sendiri dalam kegagalan kegiatan eksplorasinya. Bisa dibayangkan, betapa besarnya resiko yang harus dihadapi suatu perusahaan migas dalam melakukan kegiatan eksplorasi dan produksi.

Nah masalahnya, kini tren penemuan cadangan telah beralih ke laut dalam di kawasan timur Indonesia. Tentu saja ini akan memakan banyak investasi yang dibutuhkan dan tentu saja dibutuhkan teknologi yang modern. Dan memang harus diakui bahwa perusahaan nasional belum dapat melakukannya. Bisa dibayangkan jika hal tersebut dilakukan semuanya oleh industri nasional, maka berapa besar kerugian yang akan ditanggung jika gagal menemukan cadangan potensial.

Jadi memang mau tidak mau harus diakui kita membutuhkan bantuan asing. Bukan bantuan dalam arti mengemis, melainkan menjadikan mereka sebagai mitra. Seperti halnya di Blok Mahakam dimana sebaiknya Pertamina menggandeng Total dalam pengelolaannya pasca 2017. Transfer teknologi ini pada nantinya bisa menjadi modal bagi Pertamina untuk melakukan ekspansi besar-besaran di luar negeri.

Nah jadi intinya, Indonesia tetap membutuhkan investasi asing. Terlalu banyak proyek-proyek, terutama infrastruktur dan proyek migas yang membutuhkan dana besar dan sulit dipenuhi oleh investor lokal. Inilah yang menjadikan investor asing tetap berfungsi sebagai mitra. Kita harus bisa membedakan antara nasionalisme dan nasionalisasi. Keduanya memiliki arti yang jauh berbeda. Nasionalisme adanya di hati, bukan dengan cara melakukan nasionalisasi. Tanpa mereka, industri migas Indonesia akan terbengkalai.

Dan lagi tampaknya masyarakat belum menyadari bahwa ternyata penguasa blok migas yang paling besar di Indonesia ternyata adalah PT Pertamina EP yang memiliki blok migas sebesar 48% dari total luas blok migas di Indonesia. Selain itu, berdasarkan data Wood Mackenzie, Indonesia adalah urutan nomor dua negara yang paling banyak mengambil manfaat dari hasil produksi migas yang merupakan buah tata kelola migas yang ada.


Dengan demikian masyarakat harus berbesar hati dengan kenyataan bahwa tanpa investasi asing maka industri migas nasional bisa terbengkalai. Sementara di sisi lain, pemerintah harus mulai memperbaiki iklim investasi untuk mengundang investor.

Tuesday, 10 February 2015

Produksi Minyak Indonesia Diprediksi Bakal Makin Jeblok

Tempo.co
Seperti tahun-tahun sebelumnya, produksi minyak Indonesia tahun ini diperkirakan akan semakin menurun. Pemerintah dan Komisi VII DPR RI telah sepakat untuk merevisi produksi minyak nasional dari 849.000 ke angka 825.000 barrel per hari. Entah sampai kapan penurunan produksi ini terus terjadi.

Mimpi Indonesia agar dapat kembali bergabung ke dalam organisasi pengekspor minyak OPEC tampaknya harus kandas. Pasalnya alih-alih produksi terus meningkat, eh malahan sebaliknya. Produksi terus mengalami penurunan hingga mencapai titik terendah dibandingkan tahun 1980-an dimana produksi minyak Indonesia mencapai angka tertinggi di level 1,6 juta barrel per hari.

Tentu saja jika ini terus terjadi maka kekhawatiran bahwa Indonesia akan menjadi negara pengimpor minyak secara permanen. Artinya angka impor akan semakin membesar karena Indonesia semakin tergantung padanya. Padahal di satu sisi konsumsi bahan bakar minyak (BBM) juga terus mengalami peningkatan. Pertamina sendiri memprediksi peningkatan penggunaan BBM per tahun mencapai 8-10 persen. Sementara di satu sisi laju penurunan produksi alamiah nasional saat ini mencapai 15 persen.

Jika menarik mundur mengenai mengapa produksi terus melorot, maka salah satu alasannya adalah cadangan migas nasional yang terus menurun. Indonesia miskin penemuan migas. Penemuan minyak terbesar terakhir adalah ketika Blok Cepu ditemukan. Nah, bayangkan....betapa sudah lamanya penemuan skala besar terjadi di negara ini. Setelah itu penemuan yang berhasil dilakukan adalah penemuan terhadap sumber daya gas yang memang cukup signifikan, seperti misalnya Tangguh, Masela dan juga Indonesia Deeepwater Development di Selat Makassar.

Saat ini SKK Migas mencatat bahwa rata-rata rasio penemuan cadangan baru terhadap produksi (reserves replacement ratio) hanya 41 persen. Padahal, idealnya angka rasio penemuan di atas 100 persen agar setiap satu barel minyak yang di­produksi dapat diimbangi dengan penemuan cadangan yang lebih dari satu barel.

Lalu apa penyebab miskinnya penemuan cadangan migas nasional ini? Tentunya jawabannya adalah lagu lama yang tampaknya pemerintah juga sudah paham betul mengenai hal tersebut. misalnya masalah perizinan, tumpang tindih lahan dengan kehutanan dan juga adanya pungutan daerah. Ada lagi hal lainnya, diantaranya masalah cost recovery dan kepastian hukum.

Masalah cost recovery ini sudah menjadi pembicaraan dan sorotan publik sejak lama. Banyak orang menilai bahwa cost recovery ini mengundang potensi korupsi. Banyak celah yang diyakini dapat menjadikan uang negara dimanfaatkan oleh para kontraktor yang didominasi oleh perusahaan asing. Akibatnya, cost recovery dibatasi dalam APBN. Dan akibat lebih jauhnya, proyek-proyek migas menjadi ikut terkendala karena adanya pembatasan ini.

Demikian pula dengan kepastian hukum. Sudah barang tentu investor migas yang notabene membutuhkan investasi miliaran dollar US menunggu kepastian hukum. Pasalnya ini terkait dengan rencana anggaran dan belanja setiap perusahaan. Pemerintah Indonesia dinilai lama dalam memberikan kepastian hukum. Bisa kita lihat dari masalah kontrak Blok Mahakam dimana Total telah mengajukan proposal perpanjangan sejak 2008 namun hingga kini belum ada keputusan.

Berlarut-larutnya sikap pemerintah dalam memberikan kepastian akan membuat investor wait and see. Sementara hal itu juga memberikan sinyal negatif kepada investor lain bahwa bukan tak mungkin hal serupa terjadi pada mereka di masa mendatang.

Sinyal-sinyal negatif ini lah yang akhirnya membuat iklim investasi Indonesia tidak menarik. Hingga akhirnya investor enggan menanamkan modalnya di Indonesia dan bahkan malah melirik ke negara lain yang memberikan kepastian hukum lebih jelas.


Kini lah saatnya Presiden Joko Widodo melakukan reformasi birokrasi di industri migas besar-besaran demi mengundang investor. Ini harus dilakukan segera karena kita berkejaran dengan laju penurunan alami migas yang kian menajam setiap tahunnya.