Lagi-lagi berita buruk untuk investasi menyusul
adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang berpendapat
bahwa sumber daya air merupakan bagian dari hak asasi manusia yang diperlukan
untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Adanya keputusan tersebut menyebabkan
Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammdiyah yang juga Ketua Majelis Ulama
Indonesia Din Syamsuddin meminta agar semua kontrak dengan perusahaan swasta,
baik domestik maupun asing, yang menguasai sumber daya air nasional dan
menjualnya menjadi air minum dalam kemasan dengan sendirinya dibatalkan.
Keputusan MK itu diambil setelah adanya permohonan
judicial review UU Nomor 7 tahun 2004 tentang sumber
daya air yang diajukan oleh PP Muhammadiyah, Perkumpulan
Vanaprastha, dan beberapa pemohon perseorangan.
Dalam amar putusannya, MK menilai UU SDA tidak memenuhi enam prinsip
dasar pembatasan pengelolaan SDA sebagaimana
diatur dalam UUD 1945.
Tak hanya itu, Din Syamsudin juga
mendorong pemerintah untuk menguasai produksi air kemasan, yang selama
ini pengelolaannya yang dipegang oleh pihak swasta. Pasalnya, menurut Din,
seharusnya air dan sumber daya alam lain yang terkandung harus dikelola negara
untuk kemakmuran rakyat. Ini sesuai dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.
Din Syamsudi juga mendesak DPR dan pemerintah untuk segera membahas,
mengajukan, dan membentuk undang-undang baru tentang sumber daya air yang
sesuai dengan konstitusi.
Saat ini memang Indonesia memiliki PAM Jaya atau
perusahaan milik daerah PDAM. Namun keduanya lebih terfokus pada pengadaan air
bersih, bukan kepada air minum kesan. Sungguh pasar air minum kemasan ini
sangat luas sehingga memang dibutuhkan investasi besar agar dapat memenuhi
kebutuhan air minum seluruh masyarakat. Bayangkan saja, berapa ratusan
kilometer pipa yang dibutuhkan untuk menghubungkan sumber daya air ke pabrik,
belum lagi pabrik penyulingannya, dan juga moda transportasi yang tidak mudah.
Bukan tak mungkin kalau perusahaan negara ataupun
daerah akan kewalahan untuk melakukannya. Makanya kedatangan swasta sebetulnya
tidak perlu dihalangi. Biarkan mereka bersaing sehat untuk mendapatkan pasar.
Bahkan adanya perusahaan-perusahaan swasta ini malah membantu pemerintah dalam
memenuhi kebutuhan air bersih yang siap minum di seluruh pelosok nusantara.
Nah, kembali ke soal Muhammadiyah. Tentu ingatan
kita melayang ke tahun 2013 dimana Din Syamsuddin meminta pemerintah
untuk menyerahkan pengelolaan Blok Mahakam di Kalimantan Timur kepada PT
Pertamina pasca berakhirnya kontrak pengelolaan yang dipegang oleh Total
E&P Indonesie hingga 2017. Bahkan Muhammadiyah mendatangi Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk menyampaikan petisi penolakan
terhadap perpanjangan kontrak Blok Mahakam. Total dinilai sudah meraup
keuntungan dari pengelolaan Blok Mahakam selama 50 tahun, sehingga pemerintah
tidak perlu menyerahkan bagian bahkan sebesar 10 persen pun bagi Total.
Padahal tentunya, statement itu diberikan tanpa
memberikan paparan teknis dan ekonomisnya. Din tidak melakukan kajian mendalam bagaimana
akibatnya jika Total tidak diikutsertakan dalam pengelolaan Mahakam. Bagaimana
resiko yang dihadapi pemerintah jika produksi Mahakam merosot tajam?
Sudah cukupkah? Ternyata belum. Menurut rencana selanjutnya Muhammadiyah juga akan mengajukan judicial review
terhadap UU tentang penanaman modal asing dan UU Migas.
Tentunya sebagian orang awam merasa heran dengan
kiprah Din tersebut. Terlalu banyak judicial review yang diajukan Muhammadiyah.
Bukan kenapa-kenapa, tapi masih banyak hal lain yang lebih penting yang
mendesak untuk diperbaiki oleh mereka ketimbang melakukan judicial review.
Apakah hal-hal itu? Diantaranya adalah kerusakan akhlak.
Saat ini kriminalitas di Indonesia sudah dalam
tingkatan parah. Perampokan, pemekosaan, pembegalan, kekerasan dan bahkan
korupsi semakin merajalela. Inilah yang menyebabkan MUI ataupun Muhammadiyah
harus serius dalam pembenahan akhlak khalayak. Ini lebih utama. Jika akhlak
sudah diperbaiki maka keamanan dan kesejahteraan akan segera menyusul.
Ini lebih penting, ketimbang sibuk melakukan
judicial review tapi rasa aman dan nyaman penduduk negeri ini sudah hilang.
Masalah UU, pastinya pemerintah sudah memiliki tim-tim hukum dan pakar-pakar
yang handal yang sudah mengkaji secara mendalam jika ingin membuat UU. Dan jangan
lupa, pembuatan UU itu tidak hanya porsi pemerintah saja, tapi juga melibatkan
DPR. Jadi biarkan masing-masing pihak bekerja sesuai porsinya masing-masing.



