Thursday, 26 March 2015

Kabar Gembira, Produksi Blok Cepu Bisa Lebihi Target

Kabar gembira untuk kita semua, kini Cepu tak lagi menjadi proyek obsesi pemerintah yang senantiasa menjadi target namun tak pernah tercapai. Kini mimpi pemerintah untuk menjadi proyek primadona migas itu menjadi proyek andalan bisa menjadi kenyataan. Apalagi produksi puncak blok ini ternyata lebih besar dari perkiraan pertama yang hanya 165.000 barrel per hari.

Masalah Cepu memang memiliki sejarah panjang dalam republik ini. Bermula dari kisruh perebutan operatorship antara Pertamina dan ExxonMobil. Tak hanya diam, Pemerintah Daerah Jawa Timur juga ingin ikut ambil bagian. Selesai? Belum. Tapi ada sejumlah masalah yang menyebabkan produksi blok ini senantiasa meleset dari target. Misalnya saja pembebasan lahan, aturan pemda yang diberlakukan secara mendadak, dll.

Masalahnya Cepu ini adalah proyek andalan pemerintah untuk mendongkrak produksi migas nasional. Nah jika mundur terus sudah pasti dampaknya sangat dirasakan oleh pemerintah, yaitu target lifting senantiasa tidak mencapai target.

Namun akhirnya, proyek Blok Cepu di Jawa Timur yang dioperasikan Mobile Cepu Ltd akan segera menyumbangkan produksinya untuk lifting minyak nasional. Bahkan November tahun ini produksinya tembus di atas target yakni sebanyak 205.000 barel per hari. Sampai saat ini pengerjaan proyek Blok Cepu sudah 95% selesai. Maret ini sebenarnya sudah produksi minyak sebanyak 48.000 barel per hari.

Dengan demiikian, pada April nanti Blok Cepu sudah dapat menyumbang lifting minyak sebanyak 600.000 barel. Bahkan pada mulai November 2015, produksi Blok Cepu akan mencapai puncaknya mencapai 205.000 barel per hari, padahal target Work Program & Budget (WPNB) dari SKK Migas hanya sebanyak 165.000 barel per hari. Meski demikian produksi 205.000 barel per hari itu hanya berlangsung selama tiga bulan mulai November-Desember 2015 dan Januari 2016. Selanjutnya selama 24 bulan ke depan produksinya akan stabil di 165.000 barel per hari.

Dengan masuknya Blok Cepu saat ini dengan produksi 48.000 barel per hari, dan pengerjaan proyek engineering, procurement and construction (EPC), Juni 100% selesai, dan akan produksi puncak sebanyak 205.000 barel per hari pada November maka pemerintah optimis bahwa target lifting minyak sebanyak 825.000 barel per hari akan tercapai

Kembali ke masalah migas, memang diakui banyak tantangan di lapangan yang kerap mengganggu prouksi, antara lain gangguan operasional produksi, seperti misalnya gangguan fasilitas, gangguan sumur, kendala penyerapan minyak, dan lain-lain. Meski demikian, SKK Migas menyoroti beberapa masalah yang menjadi penyebab utama kegagalan tersebut. Beberapa isu lain yang berpotensi menghambat kegiatan hulu migas dalam jangka panjang. Termasuk di dalamnya adalah implementasi aturan mengenai tata ruang. Regulasi yang ada menyatakan semua kegiatan harus mengacu pada rencana tata ruang dan tata wilayah.

Saat ini tidak semua daerah sudah memiliki rencana tata ruang dan tata wilayah ini. Sedangkan beberapa daerah yang menyusun rencana tata ruang dan tata wilayah belakangan tidak mengakomodasi kegiatan usaha hulu migas yang sebenarnya sudah beraktivitas di wilayah tersebut untuk waktu yang cukup lama. Dalam beberapa kasus ditemukan tapak sumur atau pipa penyalur yang berada di kawasan budidaya pemukiman, komersial, dan pertanian.

Selain masalah tata ruang, industri hulu migas juga menghadapi kendala dari aturan perpajakan. Beberapa regulasi perpajakan yang sampai saat ini belum terselesaikan antara lain terkait pajak pertambahan nilai (PPN) impor, dan pajak untuk penggunaan fasilitas bersama antar KKKS.

Terkait dengan PPN impor, masalahnya adalah Kontraktor KKS eksploitasi tidak dapat menerima pembebasan PPN impor karena tata caranya belum diamanatkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 70/2013. Saat ini terdapat PPN impor sebesar Rp 1 triliun yang sudah dibayarkan oleh Kontraktor KKS yang belum mendapatkan pengembalian. Permasalahan PPN impor berdampak langsung terhadap pengadaan barang yang dibutuhkan dalam operasi hulu migas, sehingga berpotensi menurunkan tingkat produksi migas.

Terus terang, masalah-masalah itu telah menjadi perhatian investor migas sejak lama. Dan nyatanya masalah tersebut hanya menjadi angin lalu di pemerintahan SBY. Kini di bawah pemerintahan Jokowi, banyak investor migas yang berharap agar kendala-kendala ini dapat diatasi.

Pasalnya tanpa keseriusan pemerintah, maka produksi dan bahkan kegiatan eksplorasi akan semakin turun. Dan jika ini terjadi maka ketergantungan Indonesia terhadap minyak import akan semakin menjadi.

Wednesday, 25 March 2015

Pemerintah Minta Pertamina Pertajam Analisa Mahakam

merdeka.com
Pertamina, meski telah ditunjuk secara tidak resmi oleh pemerintah untuk mengelola Mahakam pasca 2017, diminta untuk mempertajam analisa terkait rencana pengelolaan blok tersebut. Proposal Pertamina yang ada saat ini dinilai harus direvisi, terutama berkaitan dengan nilai keekonomian atas fluktuasi harga pasar minyak dunia.

Fluktuasi harga minyak dunia yang tak menentu membuat suatu perusahaan migas harus melakukan studi dengan seksama untuk pengelolaan jangka panjang. Hal ini terkait dengan rencana pendapatan yang tentu saja berpengaruh terhadap negara dan juga perseroan itu sendiri. Maka tak heran jika pemerintah meminta Pertamina untuk serius melakukan kajian tesebut. Pertamina sendiri telah mengajukan proposal pengembangan Mahakam pada medio Februari lalu setelah beberapa bulan sebelumnya melakukan persiapan.

Plt Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral IGN Wiratmadja menjelaskan, pengembalian itu bukan berarti ada penolakan namun hanya untuk mempertajam analisis dan agar simulasinya diperluas. Penajaman proposal juga terkait simulasi harga. Misalnya, bagaimana saat harga minyak dunia tinggi. Begitu juga kalau harga minyak dunia rendah. Nah, kesimpulan pemerintah saat ini, efek dari perubahan harga itu kurang dijelaskan. Sehingga proposal harus direvisi.

Pertamina diberi waktu hingga April untuk menyerahkan kembali revisi proposal. Setelah itu, pemerintah akan mengumumkan layak tidaknya Pertamina menjadi operator di blok yang kini digarap oleh Total E&P Indonesie itu.

Sebelumnya Menteri ESDM Sudirman Said sudah menyebut bahwa Blok Mahakam akan diberikan kepada Pertamina. Namun, pemerintah berharap agar produksi tidak menurun saat masa transisi. Oleh sebab itu, ada harapan agar Pertamina tetap menggandeng Total E&P Indonesie dalam pengelolaan Mahakam.

Pertamina sendiri mengatakan bahwa pemerintah hanya meminta perusahaan pelat merah ini melengkapi proposal yang telah diajukan tersebut dengan skenario dan kondisi yang real terjadi saat ini, salah satunya mengenai besaran harga. Selain itu, pihaknya juga diminta menyertakan target dan upaya perseroan menjaga produksi dari blok migas tersebut.

Mengelola Mahakam memang tidak mudah karena usianya yang sudah tidak lagi muda sehingga investasipun secara otomatis akan meningkat. Jadi mau tidak mau, Total tetap harus dilibatkan pasca 2017. Perusahaan plat merah Indonesia akan mendapatkan teknologi terbaru dan etos kerja dari Total yang berguna ketika melakukan ekspansi ke luar negeri. Dan lagi, yang tak dapat dihindari adalah pentingnya Total untuk menunjang operasional Mahakam. Dengan modal sebesar US$ 2,5 miliar per tahun tentunya akan sulit bagi Pertamina untuk mengelola Mahakam sendirian.


Apalagi Direktur Utama Pertamina Dwi Soetjipto telah mengatakan bahwa perusahaan hanya akan mengalokasikan US$ 1 miliar per tahun untuk Mahakam. Tentunya angka ini akan kurang mengingat saat ini saja blok tersebut membutuhkan dana sebesar US$ 2,5 miliar per tahun. Memang bukan berarti Pertamina tak mampu menggelontorkan dana lebih, namun tentunya perseroan juga harus memikirkan rencana akuisisi blok-blok lainnya. Singkatnya, Pertamina harus menggandeng Total agar hitungan teknis pengelolaan Mahakam dapat mudah dilakukan.

Thursday, 12 March 2015

Pemerintah Masih Mikir-mikir Kasih Saham Mahakam ke Pemda Kaltim

Tempo
Pemerintah Indonesia tampaknya mulai ragu memberikan jatah saham sebesar 10 persen kepada Pemerintah Daerah Kalimantan Timur. Keraguan itu dilatarbelakangi adanya ketakutan bahwa jatah saham tersebut digadaikan pada pihak lain. Apalagi pihak Pemda Kaltim sendiri telah menyatakan akan menggandeng pihak swasta PT Yudistira Bumi Energi meski pemerintah telah tegas menolak keikutsertaan swasta melalui saham pemda.

Keraguan pemerintah tersebut disampaikan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said.

"Saya lagi mikir dengan teman-teman di ESDM, apakah PI itu berupa saham, kemudian risikonya saham tersebut digadaikan. Lalu Pemda tidak dapat apa-apa. Saya bilang ke Pertamina, dari pada nanti digadaikan ke swasta lebih baik Pertamina yang support mereka, karena yang support operator jadi lebih terjamin keamanannya," katanya.

Kementerian ESDM memiliki opsi untuk PI 10 persen tersebut berbentuk bagi hasil saja, karena menurut Sudirman, hal tersebut lebih praktis. Namun syaratnya pemda harus memberikan uang. Saya bilang ke Pertamina, dari pada nanti digadaikan ke swasta lebih baik Pertamina yang support mereka, karena yang support operator jadi lebih terjamin keamanannya," jelasnya.

Memang Yudistira akan menjadi mitra perusahaan daerah PT Mandiri Mitra Perdana. Keduanya telah menandatangani nota kesepahakam kerjasama di Mahakam pada tahun 2010.  Dalam MoU tersebut terdapat klausul pembagian saham sebesar 25 persen untuk PT MMP dan 75 persen untuk PT YBE. Jelas, pihak swasta lebih besar daripada pemda sendiri.

Meski demikian DPRD Kaltim berpendapat tidak ada aturan dalam Undang-undang yang melarang mengelola blok minyak dan gas tidak boleh melibatkan pihak swasta. Bahkan entah mengapa pemda sangat yakin bahwa porsi jatah saham miliknya sudah ditentukan. Kabarnya pemerintah telah mengalokasikan 70 persen saham Mahakam untuk perusahaan nasional, dan 30 persen sisanya tetap akan diberikan PT Total Indonesie. Adapun untuk pihak nasional adalah 51 persen untuk Pertamina dan 19 persen untuk pemerintah daerah.


Melihat adanya nota kesepahaman yang tampaknya tidak pro-pemda, alangkah baiknya memang pemerintah harus bersikap tegas untuk menolaknya. Untuk apa membuang saham jika hanya diberikan kepada pihak tak jelas? Pihak yang belum tentu memiliki kemampuan finansial, teknologi dan sumber daya manusia. Mengapa tidak secara jelas memberikannya kepada Pertamina dan Total agar kelangsungan produksi Mahakam bisa berlangsung secara berkesinambungan.

Tuesday, 3 March 2015

Molor, Keputusan Pemerintah Terkait Mahakam

antara
Keputusan pemerintah Indonesia terkait Mahakam molor, seperti yang diperkirakan. Padahal sebelumnya pemerintah merasa yakin dapat memutuskan kasus Mahakam pada bulan Februari. Namun ketika Maret telah menjelang, keputusan itu tak jua diberikan. Molor sampai kapan?

Masalah Mahakam ini sering kali molor dari asumsi-asumsi perkiraan awal. Bayangkan saja proposal perpanjangan Mahakam awal mulanya diajukan Total dan Inpex pada tahun 2008 ketika pemerintahan masih di tangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono periode pertama. Harapannya tentu saja, kalaupun molor sudah sewajarnya jika diputuskan pada term kedua.

Namun nyatanya pada term kedua, SBY tak juga berani memberi keputusan. Apalagi dengan adanya isu-isu bahwa sejumlah perusahaan mulai mendekati pemerintah untuk mendapatkan saham. Masalah Mahakam menjadi panas karena saat itu tahun politik. Dan akhirnya rakyat dan juga investor sangat mengharapkan pemerintah Joko Widodo segera dapat memutuskan.

Gebrakan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said di 100 harinya memang membuat orang terperangah. Misalnya saja ia dengan spontan menunjuk Pertamina untuk mengelola Mahakam pasca 2017. Memang meski secara tidak formal, pemerintah sangat mengharapkan Pertamina akan menggandeng Total demi kemaslahatan bersama. Dengan kerjasama tersebut diharapkan kesinambungan produksi gas di Mahakam -yang memiliki karakteristik sulit- bisa dijaga.

Selain itu opsi mengikutsertakan Total bisa dengan pertimbangan Pertamina mendapat hak mengelola blok milik Total di luar Indonesia melalui skema pertukaran (swap). Dengan skema tersebut maka Indonesia bisa meningkatkan kedaulatan dan ketahanan energi.

Pertamina berjanji untuk menyelesaikan proposal pengembangan Mahakam pada Februari. Dan pemerintah pun berjanji pula untuk menuntaskannya pada Februari. Namun entah mengapa akhirnya target tersebut molor hingga pertengahan Maret 2015.

Kini, pemerintah menargetkan keputusan mengenai pengelolaan Blok Mahakam keluar pertengahan Maret 2015. Memang tidak disebutkan mengapa alasan molornya keputusan tersebut. Namun yang pasti saat ini pemerintah tengah membahas proposal kelanjutan pengelolaan Mahakam yang disampaikan Pertamina.

Kepala Unit Pengendalian Kinerja Kementerian ESDM Widhyawan Prawiraatmadja berharap penandatanganan kontrak Pertamina dengan Total sudah dilakukan pada 2015, meski diberlakukan setelah 2017. Dengan demikian, terdapat masa transisi yang cukup bagi Pertamina sebelum benar-benar mengelola Mahakam setelah 2017.

Menurut dia, dalam masa transisi tersebut, bisa diselesaikan persoalan kontrak-kontrak yang sedang berjalan baik penjualan migas, jasa penunjang, maupun karyawan setelah 2017.

Apapun hasilnya nanti, tetap yang terbaik adalah kerjasama antara Total dan Pertamina. Perusahaan plat merah Indonesia akan mendapatkan teknologi terbaru dan etos kerja dari Total yang berguna ketika melakukan ekspansi ke luar negeri. Dan lagi, yang tak dapat dihindari adalah pentingnya Total untuk menunjang operasional Mahakam. Dengan modal sebesar US$ 2,5 miliar per tahun tentunya akan sulit bagi Pertamina untuk mengelola Mahakam sendirian.

Apalagi Direktur Utama Pertamina Dwi Soetjipto telah mengatakan bahwa perusahaan hanya akan mengalokasikan US$ 1 miliar per tahun untuk Mahakam. Tentunya angka ini akan kurang mengingat saat ini saja blok tersebut membutuhkan dana sebesar US$ 2,5 miliar per tahun. Memang bukan berarti Pertamina tak mampu menggelontorkan dana lebih, namun tentunya perseroan juga harus memikirkan rencana akuisisi blok-blok lainnya. Singkatnya, Pertamina harus menggandeng Total.

Meski demikian pemerintah harus konsisten untuk dapat memutuskan Mahakam pada triwulan pertama ini. Jangan sampai mundur lagi. Semakin lamanya keputusan dibuat akan membuat produksi terganggu karena banyak proyek-proyek pengembangan yang terpaksa ditunda akibat menunggu keputusan pemerintah. Jadi sudah pasti, pemerintah lah yang akan rugi sendiri jika lama dalam memberikan keputusan Mahakam.