Kabar gembira untuk kita semua, kini Cepu tak lagi
menjadi proyek obsesi pemerintah yang senantiasa menjadi target namun tak
pernah tercapai. Kini mimpi pemerintah untuk menjadi proyek primadona migas itu
menjadi proyek andalan bisa menjadi kenyataan. Apalagi produksi puncak blok ini
ternyata lebih besar dari perkiraan pertama yang hanya 165.000 barrel per hari.
Masalah Cepu memang memiliki sejarah panjang dalam
republik ini. Bermula dari kisruh perebutan operatorship antara Pertamina dan
ExxonMobil. Tak hanya diam, Pemerintah Daerah Jawa Timur juga ingin ikut ambil
bagian. Selesai? Belum. Tapi ada sejumlah masalah yang menyebabkan produksi
blok ini senantiasa meleset dari target. Misalnya saja pembebasan lahan, aturan
pemda yang diberlakukan secara mendadak, dll.
Masalahnya Cepu ini adalah proyek andalan
pemerintah untuk mendongkrak produksi migas nasional. Nah jika mundur terus
sudah pasti dampaknya sangat dirasakan oleh pemerintah, yaitu target lifting
senantiasa tidak mencapai target.
Namun akhirnya, proyek Blok Cepu di Jawa Timur yang
dioperasikan Mobile Cepu Ltd akan segera menyumbangkan produksinya untuk lifting
minyak nasional. Bahkan November tahun ini produksinya tembus di atas target
yakni sebanyak 205.000 barel per hari. Sampai saat ini pengerjaan proyek Blok
Cepu sudah 95% selesai. Maret ini sebenarnya sudah produksi minyak sebanyak
48.000 barel per hari.
Dengan demiikian, pada April nanti Blok Cepu sudah
dapat menyumbang lifting minyak sebanyak 600.000 barel. Bahkan pada
mulai November 2015, produksi Blok Cepu akan mencapai puncaknya mencapai
205.000 barel per hari, padahal target Work Program & Budget (WPNB) dari
SKK Migas hanya sebanyak 165.000 barel per hari. Meski demikian produksi
205.000 barel per hari itu hanya berlangsung selama tiga bulan mulai
November-Desember 2015 dan Januari 2016. Selanjutnya selama 24 bulan ke depan
produksinya akan stabil di 165.000 barel per hari.
Dengan masuknya Blok Cepu saat ini dengan produksi
48.000 barel per hari, dan pengerjaan proyek engineering, procurement and
construction (EPC), Juni 100% selesai, dan akan produksi puncak sebanyak
205.000 barel per hari pada November maka pemerintah optimis bahwa target lifting
minyak sebanyak 825.000 barel per hari akan tercapai
Kembali ke masalah migas, memang diakui banyak
tantangan di lapangan yang kerap mengganggu prouksi, antara
lain gangguan operasional produksi, seperti misalnya gangguan fasilitas,
gangguan sumur, kendala penyerapan minyak, dan lain-lain. Meski demikian, SKK Migas
menyoroti beberapa masalah yang menjadi penyebab utama kegagalan tersebut.
Beberapa isu lain yang berpotensi menghambat kegiatan hulu migas dalam jangka
panjang. Termasuk di dalamnya adalah implementasi aturan mengenai tata ruang.
Regulasi yang ada menyatakan semua kegiatan harus mengacu pada rencana tata
ruang dan tata wilayah.
Saat ini tidak semua daerah sudah memiliki
rencana tata ruang dan tata wilayah ini. Sedangkan beberapa daerah yang
menyusun rencana tata ruang dan tata wilayah belakangan tidak mengakomodasi
kegiatan usaha hulu migas yang sebenarnya sudah beraktivitas di wilayah
tersebut untuk waktu yang cukup lama. Dalam beberapa kasus ditemukan tapak
sumur atau pipa penyalur yang berada di kawasan budidaya pemukiman, komersial,
dan pertanian.
Selain masalah tata ruang, industri hulu
migas juga menghadapi kendala dari aturan perpajakan. Beberapa regulasi
perpajakan yang sampai saat ini belum terselesaikan antara lain terkait pajak
pertambahan nilai (PPN) impor, dan pajak untuk penggunaan fasilitas bersama
antar KKKS.
Terkait dengan PPN impor, masalahnya adalah
Kontraktor KKS eksploitasi tidak dapat menerima pembebasan PPN impor karena
tata caranya belum diamanatkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.
70/2013. Saat ini terdapat PPN impor sebesar Rp 1 triliun yang sudah dibayarkan
oleh Kontraktor KKS yang belum mendapatkan pengembalian. Permasalahan PPN impor
berdampak langsung terhadap pengadaan barang yang dibutuhkan dalam operasi hulu
migas, sehingga berpotensi menurunkan tingkat produksi migas.
Terus terang, masalah-masalah itu telah
menjadi perhatian investor migas sejak lama. Dan nyatanya masalah tersebut
hanya menjadi angin lalu di pemerintahan SBY. Kini di bawah pemerintahan
Jokowi, banyak investor migas yang berharap agar kendala-kendala ini dapat
diatasi.
Pasalnya tanpa keseriusan pemerintah, maka
produksi dan bahkan kegiatan eksplorasi akan semakin turun. Dan jika ini
terjadi maka ketergantungan Indonesia terhadap minyak import akan semakin
menjadi.



