Wednesday, 29 April 2015

Wacana Pembubaran Petral Semakin Menguat

PT Pertamina (Persero) segera membubarkan anak usahanya Pertamina Energy Trading Limited (Petral) yang berdomisili di Singapura. Sehingga seluruh impor minyak dan bahan bakar minyak (BBM) akan dilakukan Integrated Supply Chain (ISC) yang berada di Indonesia. Ini adalah wacana yang sering dilontarkan. Namun yang baru, ternyata meski ISC sudah mengambilalih ternyata rencana pembubaran Petral masih bergulir.

Usaha-usaha pembubaran Petral masih terus berlangsung. Awalnya hal tersebut dilontarkan Dahlan Iskan sebagai Menteri BUMN saat itu. Alasan pembubaran Petral ini agar Pertamina sebagai korporasi dapat menjalankan kinerjanya secara baik di sektor hulu. Dahlan menilai bahwa Petral merupakan ajang korupsi para pejabat dan petinggi Pertamina. Petral dijadikan ajang mendapatkan komisi dari ekspor impor minyak bagi orang-orang tertentu. Karena berdomisili di Singapura, menjadi sulit dikontrol. Meski demikian rencana itu batal.

Hingga akhirnya di jaman Presiden Joko Widodo pembubaran Petral kembali bergaung. Bahkan dalam rekomendasinya, Tim Transisi Jokowi-JK juga pernah mengatakan Petral akan dibekukan dan pemerintah akan melakukan audit investigatif terhadapnya. Selama proses pembekuan, masalah pembelian minyak mentah dan BBM dilakukan oleh Pertamina dan dijalankan di Indonesia.

Dan kini usulan itu kembali datang dari induk semang Petral sendiri, yakni Pertamina. Perusahaan plat merah tersebut menilai pembubaran Petral ini dilakukan demi efisiensi. Dengan pengadaan impor BBM ditangani ISC, Pertamina dapat memotong rantai bisnis dalam pengadaan BBM. Selanjutnya aset-aset Petral akan diambilalih Pertamina untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya. Saat ini Pertamina sudah mengajukan usulan tersebut ke pemerintah untuk mendapatkan persetujuan.

"Kita berpikir bagaimana membangun efisiensi proses bisnis di Pertamina. Maka kita fungsikan ISC untuk memindah proses pembelian impor crude atau produk (sebelumnya ditangani Petral)," kata Direktur Utama Pertamina, Dwi Soetjipto, ditemui di Kantor Pertamina Pusat, Rabu (29/4/2015).

Asal tahu saja, dalam sebulan Pertamina membutuhkan impor premium hingga 10 juta barel, atau 70% dari total kebutuhan premium nasional per bulannya. Setelah fungsi utama Petral dialihkan ke ISC, Pertamina mengkaji untuk merestrukturisasi Petral, namun tentunya harus persetujuan komisaris dan pemegang saham yakni pemerintah melalui Kementerian BUMN.

Pemerintah sendiri berharap keputusan terkait Petral diharapkan keluar dalam 2-3 hari ke depan. Menteri BUMN Rini Soemarno mengatakan, pembubaran ini sebetulnya tidak memerlukan persetujuan Presiden Joko Widodo (Jokowi), namun dirinya ingin memberikan laporan dulu terkait rencana tersebut.

Terkait pembubaran Petral, Rini mengatakan, dirinya selalu berkoordinasi dengan Kementerian ESDM. Namun sejauh ini tidak ada aturan yang dilanggar.

Nah, ketimbang pusing dengan citra Petral yang sudah kadung memburuk, mungkin pemerintah perlu memikirkan untuk membubarkan Petral. Namun mengingat Pertamina membutuhkan perusahaan trading, maka perlu dibentuk suatu perusahaan baru yang serupa dengan Petral.


Pendeknya, Petral dibubarkan untuk mengubur cerita-cerita dan dugaan-dugaan buruk mengenainya. Kemudian pemerintah membentuk perusahan trading baru yang serupa untuk memfasilitasi kebutuhan minyak mentah dan BBM Pertamina. Melalui perusahaan baru, pemerintah dan Pertamina bisa mulai menerapkan sistem yang lebih transparan dan akuntabel. Dengan demikian kecurigaan akan adanya praktek kongkalingkong dalam pengadaan minyak mentah dan BBM bisa dieliminir.

Wednesday, 22 April 2015

Dampak Penurunan Harga Minyak Bagi Indonesia Masih Panjang

Dampak penurunan harga minyak dunia bagi Indonesia masih dirasakan hingga saat ini. Hal tersebut mengakibatkan sejumlah perusahaan bersama-sama menurunkan investasinya yang secara jangka panjang akan berakibat pada produksi. Akibatnya pendapatan negara dari sektor migas berkurang drastis. RI harus menerima kehilangan potensi penerimaan Rp 150 triliun.

Gonjang ganjing harga minyak yang masih berkepanjangan ini membuat sejumlah perusahaan migas akan melakukan revisi investasi. Rendahnya harga minyak tersebut mendorong para produsen migas untuk memangkas pengeluaran sedikitnya 15 persen. Sejumlah perusahaan minyak dan gas PT Pertamina (Persero), sebagai badan usaha milik negara yang diharapkan menyumbang 42 persen dari total produksi migas nasional, berencana untuk menurunkan belanja modal dan produksi minyaknya. Total E&P Indonesie serta PT Medco Energy Tbk pun berencana mengambil langkah yang sama. Nah jika ini terjadi maka sudah pasti produksi migas nasional akan mendapatkan dampaknya.

Pemerintah, dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015 mematok target lifting sebanyak 825 ribu barel per hari (bph), tidak banyak berubah dari proyeksi 818 ribu bph pada tahun sebelumnya. Di saat yang sama, harga minyak mentah Indonesia (ICP) diasumsikan sebesar $60 per barel. Pada kenyataannya, harga minyak global (WTI Crude) di Nasdaq pada penutupan perdagangan 9 April 2015 hanya tercatat $50,79 per barrel.

Pemerintah sendiri memperkirakan pendapatan negara dari sektor migas berkurang drastis. RI harus menerima kehilangan potensi penerimaan Rp 150 triliun. Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro memperkirakan, harga minyak dunia masih berfluktuasi di tingkat yang rendah. Alhasil, pemerintah harus menggenjot penerimaan negara dari sektor lain, seperti pajak dan non pajak.

"Anggaran tersebut akan digunakan untuk mandatory spending (anggaran wajib) seperti dana kesehatan yang akan naik 5 persen di tahun depan dari sebelumnya 3,9 persen. Pembayaran bunga utang, subsidi elpiji 3 kg, raskin, dana desa, dan sebagainya," ujarnya.

Bagi perseroan sendiri, gonjang ganjing harga minyak juga membuat neraca keuangan ikut goyah. Pertamina misalnya, pada pada kuartal I-2015 mencetak laba US$ 28 juta, meleset sangat jauh dari target tiga bulan pertama 2015 US$ 427 juta. Pasalnya, Pertamina rugi besar di sektor hilir khususnya penjualan BBM sebagai akibat dari inventory, dimana harga beli dan jual Pertamina mengalami perbedaan yang signifikan.

"Kita rugi karena persediaan inventory minyak dan BBM. Maksudnya waktu mengolah produk di kilang butuh impor minyak mentah 1-2 bulan sebelumnya, saat itu harga minyak masih tinggi sekitar US$ 70-75 per barel, namun di Januari minyak turun drastis US$ 50 per barel dan pemerintah menurunkan harga BBM, kita beli minyak harga mahal tapi harus dijual dengan harga murah, itu kenapa kita bisa rugi di hilir," jelas Direktur Keuangan Pertamina Arief Budiman.

Meski demikan Pertamina tertolong dari keuntungan di sektor hulu walaupun harga minyak dan gas bumi saat ini anjlok dibandingkan tahun lalu. Di mana kuartal I di hulu Pertamina untung US$ 300 juta, dari energi baru terbarukan untung US$ 50 juta dan sektor lain untung US$ 3 juta.


Jika saja penurunan harga minyak ini terus berlanjut hingga tahun depan, bukan tak mungkin akan semakin banyak pengurangan karyawan akan dilakukan. Dan tak hanya itu, target pemerintah untuk meningkatkan produksi migas akan semakin meleset jauh.

Tuesday, 14 April 2015

Sekali Lagi, Swasta Dilarang Miliki Saham di Mahakam

Entah untuk keberapakalinya, pemerintah kembali menegaskan: perusahaan swasta dilarang memiliki saham di Blok Mahakam melalui jalur pemerintah daerah. Jika memang Pemda Kalimantan Timur ingin memiliki saham di Mahakam, maka harus melalui pendanaan sendiri. Untuk menjamin agar Pemda mendapatkan participating interest, dalam waktu dekat akan dikeluarkan sebuah peraturan menteri, yang memastikan PI tidak boleh dimiliki oleh swasta.

Menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said kepentingan swasta acapkali mendompleng hak yang seharusnya dinikmati daerah. Dia menyebutkan – meski bukan hak partisipasi, melainkan divestasi – swasta justru mendapat keuntungan dari saham yang digadaikan oleh Pemda. Padahal pemerintah pusat menginginkan pemda mendapatkan keuntungan melalui kepemilikan participating interest sendiri.


Pemda Kaltim sudah berulangkali mengungkapkan keinginannya untuk mendapatkan setidaknya 10 persen saham di Mahakam dengan menggandeng Yudistira Bumi Energi. Yudistira Bumi Energi belum dikenal di kancah dunia minyak dan gas Indonesia. Namanya pun dikenal publik setelah pemerintah daerah mendengungkan nama tersebut ke publik, bahwa mereka lah yang akan menjadi rekanan dengan perusahaan daerah PT Migas Mandiri Pratama dalam mengelola Mahakam. Adapun perusda itu sendiri baru dibentuk pada tahun 2009.

Keduanya telah menandatangani nota kesepahakam kerjasama di Mahakam pada tahun 2010. Dalam MoU tersebut terdapat klausul pembagian saham sebesar 25 persen untuk PT MMP dan 75 persen untuk PT YBE.

Yudistira dinilai pemda Kalimantan Timur dapat membantu mereka dalam mendanai Mahakam, yaitu dengan menggelontorkan dana setidaknya US$ 300-600 juta, perkiraan investasi yang dibutuhkan untuk ikut mengelola Blok Mahakam.

Untuk mendanai sendiri Blok Mahakam, jelas Pemda Kaltim tidak mampu. Menurut perhitungan Gubernur Kalimantan Timur Awang Farouk Ishak, dibutuhkan anggaran sekitar Rp 5,8 triliun untuk itu. APBD Kaltim mencapai Rp 15 triliun, namun kalau dikeluarkan untuk ini, pembangunan bisa stop. Untuk itu Awang meminta Sudirman untuk mengkaji ulang rencana Permen tersebut. Pasalnya, dalam ketentuan yang ada, dimungkinkan hak partisipasi diberikan kepada perusahaan nasional.

Dia pun berharap, pemerintah pusat bisa membantu Pemda untuk participating interest Blok Mahakam, melalu Pusat Investasi Pemerintah (PIP). Namun sungguh ia sayangkan, Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro beberapa waktu lalu menyatakan tegas pemerintah akan membubarkan PIP dan meleburnya ke dalam BUMN infrastruktur PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI).


Lepas dari masalah keuangan, tampaknya Pemda Kaltim harus menyadari bahwa mengelola blok migas memiliki banyak resiko dan tantangan. Mengelola blok migas tidak selalu mendapatkan keuntungan, namun harus siap-siap buntung. Apalagi di saat harga minyak dan LNG anjlok seperti saat ini.

Sunday, 12 April 2015

Perlu dan Siapkah Indonesia Membangkit Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir?

Polemik perlu tidaknya Indonesia membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir masih terus bergulir. Yang menarik, adanya perbedaan pandangan antara Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said mengenai hal tersebut. Pemerintah sendiri, terutama Presiden Joko Widodo juga dinilai tidak memberikan dukungan secara optimal.

Sudirman meminta agar nuklir tetap dipikirkan sebagai alternatif energi nasional. Dia berharap nuklir tidak menjadi pilihan terakhir untuk mengatasi masalah krisis energi. Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) sendiri mengklaim sebenarnya masyarakat Indonesia sudah setuju jika PLTN dimaksimalkan pembangunannya di Indonesia. Hal ini berdasarkan survei yang dilakukan BATAN pada 2014, sebanyak 73 persen rakyat Indonesia mendukung pembangunan PLTN ini.

Rusia sendiri siap membantu Indonesia untuk mewujudkan PLTN tersebut. Rusia menilai negaranya telah memiliki pengalaman yang mumpuni terkait dengan nuklir. Meski demikian, Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menganggap pembangunan PLTN belum terlalu penting saat ini, apalagi jika melihat segi keamanan. PLTN bisa dijadikan alternatif terakhir dalam mengatasi kebutuhan energi di Indonesia.

"Sehebat-hebatnya orang Jepang menjaga teknologinya (juga mengalami masalah). Apalagi kita yang agak sembrono, jadi mengkhawatirkan masyarakat," kata Jusuf Kalla.

Menurut JK, faktor geografis di Indonesia belum bisa mendukung teknologi nuklir. Dia mengatakan tempat yang paling cocok untuk membangun PLTN adalah di Jawa, karena pembangkit ini harus dibangun dengan kapasitas yang besar. Setidaknya kapasitas PLTN yang akan dibangun mencapai 1.000 megawatt. Masalahnya, secara geografis pulau Jawa berada di antara gunung merapi yang rawan gempa.

Selain di Jawa, ada juga daerah yang cocok yakni di Belitung. Tapi di daerah tersebut juga memiliki kendala. Jika dibangun di Belitung, diperlukan kabel penghubung yang panjang untuk mengaliri listrik ke industri yang berada di Jawa. Makanya pembangunan PLTN di Belitung, akan membutuhkan biaya yang sangat mahal.

Daerah yang tidak rawan gempa lainnya adalah di Kalimantan. Namun, kata JK, daerah tersebut lebih cocok menggunakan bahan baku batubara. Karena Kalimantan merupakan sentra produksi batu bara, sehingga bisa lebih mudah memasok pembangkit di sana.

Berkaca pada kejadian Fukushima dan Chenobyl, Memang Indonesia harus berpikir ulang mengenai rencana pembangunan PLTN. Apalagi negara ini sebenarnya masih memiliki sumber energi lainnya yang belum dikembangkan. Jadi biarlah PLTN tetap menjadi pilihan terakhir untuk digunakan oleh negara tercinta ini.