Monday, 11 May 2015

Indonesia Ingin Masuk OPEC, Nyata atau Ilusi?

Dengan produksi yang kian menurun, Indonesia ingin kembali masuk sebagai anggota organisasi negara pengekspor minyak (Organization of Petroleum Exporting Countries/OPEC). Padahal keputusan mundur dari keanggotaan OPEC di tahun 2008 dilakukan karena negara ini telah tercatat sebagai net oil importer country, bukan lagi negara pengekspor minyak, melainkan masuk ke kategori negara pengimpor terbesar di dunia.

Keinginan masuknya kembali Indonesia ke dalam tubuh OPEC diutarakan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said. Menurutnya Indonesia sangat membutuhkan OPEC karena disanalah negara ini dapat berinteraksi langsung dengan para produsen minyak terbesar di dunia. Dengan demikian maka kegiatan ekspor ataupun usaha Indonesia untuk mendapatkan minyak dengan harga murah dapat dilakukan.

Sudirman sendiri sangat menyadari bahwa Indonesia saat ini tidak bisa lagi disebut negara produsen minyak dunia, sebab produksi minyak yang dihasilkan makin menipis, dan mengalami defisit karena konsumsi dalam negeri yang berlebihan. Meskipun demikian kata dia, Indonesia masih dianggap masih bisa menjadi bagian OPEC.

Indonesia secara resmi menyatakan mundur dari keanggotaan OPEC di Wina, Austria  2008. OPEC sepakat dengan status suspensi keanggotaan Indonesia, namun juga mengharapkan Indonesia dapat kembali menjadi anggota OPEC sepenuhnya bila situasinya sudah memungkinkan.

Dengan demikian, Indonesia mengakhiri keanggotaannya selama 47 tahun di OPEC. Indonesia tercatat bergabung dengan OPEC pada tahun 1961. Indonesia juga merupakan satu-satunya wakil Asia di OPEC. Saat itu, keputusan yang mengagetkan tersebut dipicu oleh laju produksi minyak mentah yang terus turun, dari 1,6 juta barel per hari (bph) pada 1996 menjadi hanya sekitar 970 ribu bph tahun ini.Tahun depan, produksi diperkirakan kembali turun ke angka 960 ribu bph. Di sisi lain, konsumsi BBM di Indonesia terus meningkat yang hingga kini mencapai 1,3 juta bph. Kondisi itu membuat Indonesia menyandang predikat sebagai net oil importer.

Meski demikian Indonesia sebelumnya berharap dapat kembali lagi bergabung dalam OPEC pada tahun 2013 setelah berbagai eksplorasi yang sedang dan akan dilakukan bisa berhasil.

Memang diakui menjadi anggota OPEC adalah posisi mentereng yang diidamkan oleh setiap negara. Apalagi OPEC sendiri memiliki kekuasaan yang tidak sedikit dalam menentukan naik turunnya harga minyak dengan memainkan volume produksi yang dilepas di pasar.

Nah bila kini Indonesia ingin menjadi anggota OPEC lagi, rasa-rasanya aneh karena produksi migas yang semakin turun tajam dan dibarengi dengan kenaikan konsumsi BBM yang juga semakin naik secara signifikan. Dan yang perlu diingat lagi, menjadi anggota OPEC adalah tidak gratis. Ada biaya yang harus dikeluarkan untuk keanggotaan tersebut, yakni sebesar 2 juta Euro setiap tahunnya.


Kini, keputusan ada di tangan pemerintah. Namun alangkah bijaknya jika pemerintah lebih fokus untuk meningkatkan kegiatan eksplorasi dan produksi serta melakukan reformasi di sektor migas untuk menarik minat investor. Jika memang kegiatan eksplorasi dan eksploitasi berhasil ditingkatkan, tentu saja Indonesia akan mudah untuk kembali menjadi anggota OPEC tanpa ada cibiran dari berbagai negara.  

Sunday, 10 May 2015

Lagi, Korupsi Menimpa Industri Migas

Industri migas nasional kembali goyah akibat adanya dugaan kasus korupsi yang melibatkan Badan Usaha Hulu Migas (BPMigas) PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI). Kali ini Bareskrim Polri yang memproklamirkan dugaan korupsi ini, bukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seperti sebelumnya. Yang menjadi masalah, jangan sampai kasus korupsi di industri migas ini terjadi berlarut-larut.

Kasus ini bermula pada 2009. BPMigas menunjuk langsung TPPI dalam penjualan kondensat bagian negara. Tindakan ini dinilai melanggar keputusan BPMigas Nomor KPTS-20/BP00000/2003-50 tentang pedoman tata kerja penunjukan penjual minyak mentah bagian negara. Keputusan BPMigas Nomor KPTS 24/BP00000/2003-S0 tentang pembentukan tim penunjukan penjualan minyak mentah bagian negara juga dilanggar.

Bareskrim Polri melihat dugaan korupsi kondensat bernilai sekitar US$156 juta atau sekitar Rp 2 triliun. Korupsi dan pencucian uang terjadi ketika adanya penjualan kondensat bagian negara oleh BPMigas (badan lama SKK Migas) kepada PT TPPI pada kurun waktu 2009-2010 dengan penunjukan langsung.

Apalagi, berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) diketahui penjualan kondensat bagian negara oleh PT TPPI tidak sesuai kontrak. Akibatnya, terdapat piutang yang berpotensi tidak tertagih sebesar ratusan dolar amerika atau berdasarkan nilai tukar mata uang ketika audit dilakukan (kurs tengah BI tanggal 28 Desember 2012 Rp9.670,00/USD) senilai Rp 1,35 triliun.

Dari dokumen yang sama, diketahui pula bahwa nilai piutang kepada PT TPPI tersebut, timbul karena kegagalan pelunasan atas pasokan bahan baku kondensat bagian negara dari BPMigas.

Nilai piutang kepada PT TPPI berasal dari tagihan pokok yang belum diselesaikan sampai dengan 31 Desember 2012. Piutang itu, berasal dari pengiriman kondensat periode September 2010 sampai dengan November 2010 dengan nilai USD139,233,365.98 ekuivalen Rp1.346.386.649.026,60 (kurs tengah Bank Indonesia tanggal28 Desember 2012 Rp 9.670,00/USD).

Selain itu, terdapat tagihan penalti yang belum diselesaikan atas tagihan pengiriman periode Agustus 2012 sampai dengan November 2012, senilai USD1,086,563.11 ekuivalen Rp10.507.065.273,70 (kurs tengah BI tanggal 28 Desember 2012 Rp9.670,00/USD).

Selasa (5/5/2015) lalu, penyidik juga sudah menggeledah kantor SKK Migas dan PT TPPI untuk mencari barang bukti terkait dugaan korupsi dan pencucian uang. Penggeledahan dilakukan di kantor SKK Migas, Gedung Wisma Mulia, Jl. Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Kemudian kantor PT TPPI di Gedung Mid Plaza II, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Selatan.

Atas penyidikan yang barlangsung, Bareskrim menyatakan mantan Kepala BPMigas Raden Priyono menjadi tersangka. Selain Priyono, tersangka kasus ini yang ditetapkan Polri yakni mantan Deputi Finansial Ekonomi dan Pemasaran BP Migas, Djoko Harsono; serta pendiri TPPI, Honggo Wendratmo. Keduanya diduga menyalahgunakan wewenang dalam penunjukan TPPI untuk pembelian kondensat negara.

Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus (Dittipideksus) Bareskrim Polri menyatakan TPPI tidak memiliki jaminan fidusia atau kebendaan dengan BPMigas dalam penjualan kondensat. Selain tak adanya jaminan fidusia, pada 2009 diketahui PT TPPI juga sudah tidak sehat. Dengan begitu, seharusnya TPPI tidak layak ditunjuk oleh BPMigas dalam penjualan kondensat.


Industri migas memang kerap dianalogikan sebagai industri yang basah dan licin. Terlalu banyak ruang-ruang yang berpotensi untuk disalahgunakan. Kini adalah tugas pemerintah yang baru untuk menutup seluruh ruang tersebut. Memang reformasi birokrasi sangat dibutuhkan. Namun bukan berarti pemerintah hanya terus berkutat pada reformasi birokrasi, dengan memilih orang-orang non-teknis untuk duduk di industri teknis.