Thursday, 11 June 2015

Mahakam Yang Tak Kunjung Padam

Tahun 2015 hanya atau bahkan masih enam bulan lagi. Meski demikian tanda-tanda masalah kontrak Blok Mahakam pasca 2017 belum tampak usai. Target yang telah ditentukan sebelumnya telah berkali-kali terlewati. Mau sampai kapan masalah ini dibahas?

Awal pekan ini, pemerintah kembali bertemu dengan Pertamina dan Total untuk membahas masalah Mahakam. Tampaknya masih belum ada titik temu diantara keduanya. Meski demikian pemerintah memastikan bahwa Total dan Inpex adalah pihak yang paling berwenang untuk ikutserta pengelolaan Mahakam setelah kontrak saat ini berakhir. Selain itu pemerintah daerah Kalimantan Timur juga berhak mendapatkan jatah 10 persen saham, meski pihak swasta lain tidak diperkenankan untuk masuk melalui jatah tersebut.

Memang tak dapat disangkal, hanya ada dua isu utama dalam kasus Blok Mahakam ini. Pertama, adanya keinginan pemerintah agar Pertamina masuk ke Mahakam sebelum masa kontrak Total saat ini berakhir tahun 2017. Padahal jelas-jelas klausul tersebut tidak terdapat dalam kontrak. Kedua, masalah pembagian saham yang erat kaitannya dengan isu nomer satu. Jelas sudah sebagai entitas bisnis, amat wajar jika Total ingin mendapatkan hitungan di atas kertas yang jelas menguntungkan jika Pertamina dan pemerintah menginginkan adanya masa transisi yang tidak diatur dalam kontrak.

Pertamina sendiri mengaku bahwa masa transisi memang sangat penting karena pihaknya kita butuh menganalisa lebih lanjut untuk bagaimana supaya jangan ada penurunan produksi ketika di awal pengambilalihan lahan. Namun tentunya hal tersebut akan tidak mudah untuk direalisasikan karena masa transisi tidak terdapat dalam kontrak bagi hasil antara pemerintah dan Total. Sehingga tidak ada basis legalitas untuk memaksa Total memperbolehkan Pertamina masuk ke wilayah kekuasaannya.

Pemerintah memang menginginkan agar setidaknya Pertamina menjadi pemilik saham mayoritas di tahun 2018, meski bagaimanapun Total harus diikutsertakan. Memang di atas kertas Pertamina merasa mampu untuk mengelola Mahakam, meski harus diakui tampaknya perusahaan plat merah itu kemungkinan bisa kesandung masalah dana karena keterbatasan kemampuan. 

Pertamina, menurut ESDM, bersedia menginvestasikan dana sebesar US$ 25,2 miliar selama 20 tahun di Mahakam. Jika dibagi 20 tahun, maka hanya ada dana sekitar US$ 1,26 miliar yang diinjeksikan untuk Mahakam. Jelas angka tersebut sangat kurang untuk mengembangkan lapangan tua macam Mahakam.

Apakah tidak lebih baik jika pemerintah mengambil keputusan lebih bijak, misalnya dengan membatalkan keinginan masa transisi di Mahakam. Artinya mengapa tidak secara langsung saja menunjuk Total sebagai operator di Mahakam di masa transisi pasca 2017 seperti proposal sebelumnya? Toh Pertamina masih akan mendapatkan banyak keuntungan di partnership tersebut yang niscaya bisa menjadi modal dalam ekspansi bisnis di luar negeri di masa mendatang.


Monday, 8 June 2015

Indonesia Dapatkan Komitmen Pasokan Minyak Mentah dan BBM Dari Sejumlah Negara

Kunjungan Indonesia dalam pertemuan OPEC yang dilanjutkan dengan pertemuan bilateral dengan sejumlah peruahaan produsen minyak mendapatkan hasil. Sejumlah negara berjanji untuk memberikan pasokan minyak untuk memenuhi kebutuhan Indonesia di masa mendatang. Delegasi Indonesia juga melakukan pertemuan dengan beberapa negara untuk menjajagi kerjasama di bidang migas Siapakah negara-negara tersebut?

Pemerintah Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), Kuwait, Irak Dan Anggola menyatakan kesiapannya untuk menjalin kerjasama lebih erat dengan Pemerintah Indonesia dibidang minyak dan gas bumi baik pada sisi hulu maupun hilir. Kesiapan negara-negara tersebut dinyatakan dalam bilateral meeting secara langsung kepada pimpinan delegasi Indonesia, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said.

Pemerintah Uni Emirat Arab (UEA) menawarkan kerjasama dalam pengadaan minyak mentah untuk Indonesia. Pemerintah UEA menawarkan pembelian minyak mentah dan BBM dengan skema pembelian langsung antar National Oil Company (NOC)  tanpa perantara.  Delegasi Pemerintah UEA yang dipimpin oleh Menteri Energi Uni Emirat Arab, Suhail Al Mazroui, menyatakan pada sisi hulu akan membuka peluang berinvestasi melalui NOC negara tersebut yakni Mubadala Petroleum untuk mengoperasikan blok-blok migas di Indonesia. Sementara pada sisi hilir, pemerintah UEA menawarkan pasokan minyak mentah dan BBM dengan skema pembelian langsung antar NOC tanpa perantara serta investasi untuk pembangunan kilang minyak, tambah Sudirman.

Kerjasama dengan negara-negara OPEC merupakan bagian dari upaya Pemerintah untuk terus memenuhi kebutuhan minyak dalam negeri, terutama kepentingan jangka panjang terkait pengamanan pasokan BBM secara langsung. Selain melakukan pertemuan dengan Pemerintah UEA, delegasi Indonesia juga melakukan pertemuan dengan Menteri-Menteri dari negara Saudi Arabia, Kuwait, Irak, Iran, Angola, dan Uni Emirat Arab. “Pertemuan-pertemuan tersebut mendapatkan hasil yang positif, yakni negara-negara tersebut menyatakan dukungan untuk membuka peluang berinvestasi di sektor migas,” lanjut Sudirman.

Pertemuan Menteri ESDM dengan Menteri Petroleum Angola, José Maria Botelho de Vasconcelos  membahas beberapa peluang kerjasama, antara lain supply crude untuk Indonesia. Saat ini Indonesia membeli 1 juta barrel crude per bulan dari Angola. Dalam pertemuan itu, Pemerintah Indonesia bersama Pertamina mengungkapkan kebutuhan supply crude yang lebih banyak dengan proses revitalisasi kapasitas kilang dari 800.000 bpd dengan 1,6 juta bpd sehingga dibutuhkan supply yang lebih besar lagi. 

Di sisi upstream Pemerintah juga mendorong Pertamina dan NOC Angola (Sonangol) untuk bekerjasama dalam melakukan eksplorasi dan eksploitasi di ladang-ladang minyak di Angola. Selanjutnya di sisi downstream, Menteri Angola dan Menteri ESDM Indonesia juga mendorong NOC kedua negara membangun refinery bersama-sama di Indonesia untuk benefit bersama. Dengan kerjasama ini maka Angola akan memiliki  pembeli minyak mentah jangka panjang yakni Indonesia dan Indonesia juga akan memiliki pemasok minyak minyak mentah jangka panjang yakni dari Angola.

Pertemuan dengan Delegasi Arab Saudi. Delegasi Indonesia terdiri dari Menteri ESDM, Sudirman Said, Dirjen Minyak Dan Gas Bumi, Kepala Unit Pengendali Kinerja Kementerian ESDM, Direktur Utama PT Pertamina dan Perwakilan KBRI Vienna. Delegasi Arab Saudi dipimpin langsung oleh Menteri Perminyakan Arab Saudi, Ali Al-Naimi bersama Wakil Menteri Perminyakan Pangeran Abdulaziz bin Salman al-Saudi.

Kedua pihak mendiskusikan beberapa hal antara lain, aprasiasi Arab Saudi mengapresiasi kembalinya Indonesia menjadi anggota OPEC secara penuh karena Indonesia merupakan founder OPEC. Pemerintah Arab Saudi menyatakan mendorong NOC Arab Saudi (Saudi Aramco) untuk secara profesional berinvestasi dalam pembangunan kilang di Indonesia guna menjamin kontinuitas pasokan jangka panjang bagi Indonesia sebagai konsumen/pembeli, dan Arab Saudi sebagai produsen.

Selanjutnya, pertemuan dengan delegasi Kuwait. Pemerintah Kuwait menyatakan kesiapannya untuk mendorong perusahaan nasional Kuwait untuk investasi di Indonesia. Di samping itu Pemerintah Kuwait meminta pemerintah Indonesia mempertimbangkan komitmen Kuwait untuk membangun kilang di Indonesia.

Pemerintah Indonesia sendiri meminta kepada Kuwait untuk dapat diberikan kesempatan berpartisipasi dalam kegiatan usaha hulu di Kuwait, selain itu, Indonesia juga meminta kesediaan Kuwait untuk memasok minyak mentah untuk kebutuhan Indonesia karena Indonesia membutuhkan security supply crude untuk jangka panjang.

Pertemuan bilateral antara Menteri ESDM dengan Menteri Perminyakan Irak mendiskusikan tentang potensi Irak meningkatkan pasokan jangka panjang minyak mentah untuk Indonesia dan juga membuka kesempatan Irak untuk berinvestasi dalam pembangunan kilang di Indonesia. Irak juga membuka kesempatan bagi Pertamina untuk memperluas atau memperbesar partisipasi dalam kegiatan usaha hulu migas di mana Pertamina saat ini memiliki share di blok minyak di Irak yakni blok West Qurna bersama Lukoil dan LITASCO dengan produksi 1 juta barrel per bulan.

Masih dalam pertemuan tersebut, delegasi Arab Saudi menyatakan akan mendorong National Oil Company (NOC) Arab Saudi, yakni Saudi Aramco secara profesional untuk berinvestasi dalam pembangunan kilang di Indonesia. Ini dilakukan guna menjamin kontinuitas pasokan jangka panjang bagi Indonesia sebagai konsumen dan Arab Saudi sebagai produsen.

“Arab Saudi merupakan pemasok terbesar minyak mentah untuk Indonesia. Pada tahun 2014 yang lalu, Arab Saudi memasok hingga 40 juta barel. Karenanya dukungan dan kerjasama dengan Arab Saudi memiliki peran yang sangat strategis bagi Indonesia,” tutur Menteri ESDM.

Indonesia, yang diperkirakan akan menjadi importir bahan bakar minyak terbesar di dunia tahun 2018, kesulitan menarik investasi dalam sektor penyulingan dan fasilitas terbarunya berusia lebih dari 20 tahun.

Indonesia merupakan satu-satunya anggota OPEC dari Asia selama hampir 50 tahun sebelum keluar dari kelompok itu tahun 2008 saat harga minyak mencapai rekor tertinggi, dan meningkatnya permintaan domestik dan jatuhnya produksi membuat negara ini menjadi importir minyak sampai sekarang.