![]() |
| Reuters |
Kabut asap di propinsi Riau,
Sumatra Tengah sudah sedemikian parah sehingga mengganggu produksi minyak
nasional Indonesia. Ratusan sumur ditutup, belasan ribu barel minyak terpaksa
dihentikan. Jika tidak ditangani segera, bukan tidak mungkin produksi minyak
negara ini akan jeblok, sejeblok-jebloknya, mengingat Riau adalah tulang
punggung industri minyak nasional.
Setelah
sebelumnya kabut asap di Riau mengganggu sejumlah jadwal penerbangan, kini hal
tersebut juga mengganggu produksi minyak nasional.Satuan
Kerja Khusus Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mengingatkan hal
tersebut. Pasalnya sejak tanggal 11 Maret 2014, Indonesia setidaknya kehilangan
potensi produksi minyak sebesar setidaknya 12.000 barrel per hari. Kebanyakan
potensi produksi yang hilang terbesar berasal dari Wilayah Kerja Rokan yang
dioperasikan oleh PT Chevron Pacific Indonesia. Dari Chevron saja, produksi
minyak yang terhenti mencapai 8,800 barrel per hari. Tak heran, mengingat
sampai saat ini Chevron masih menduduki produsen minyak terbesar di tanah air
dengan jumlah produksinya yang mencapai 300,000an barrel per hari.
Lalu apa hubungannya kabut asap dan produksi
migas? Ternyata kualitas udara yang buruk membuat Chevron harus melakukan perawatan
darurat terhadap North Duri Cogen dan menyebabkan penurunan daya (power shedding) sebesar 70 mega watt.
Sebanyak 573 sumur harus ditutup dan 19 unit pompa untuk
injeksi air harus
ditutup akibat power shedding ini. Selain itu beberapa kegiatan konstruksi dan
perawatan fasilitas produksi terpaksa dihentikan karena minimnya jarak pandang
di area kegiatan tersebut.
Tak hanya itu, penghentian ini juga akan
mengakibatkan kenaikan biaya operasional rig karena sampai saat ini tercatat
penundaan operasi pengeboran setidaknya sudah terjadi selama 800 jam dari 15
rig.
Chevron sendiri juga tak ambil diam menangani
kasus kabut asap ini. Sampai dengan saat ini Chevron telah melakukan pemadaman
12.000 titik asap di wilayahnya, 140 titik asap di publik area dan 1.600 titik
asap di area di luar wilayah operasinya.
Tak cukup sampai disitu. Gangguan operasi juga
dialami oleh PT BOB- Bumi Siak Pusako yang mengoperasikan Wilayah Kerja Coastal
Plains and Pekan Baru (CPP). Potensi produksi yang hilang akibat gangguan di
wilayah kerja CPP ini mencapai 4.000 BOPD.
Kabut asap juga mempengaruhi kegiatan operasi pada
wilayah kerja Malacca Strait yang dioperasikan oleh EMP Malacca Strait dengan
kehilangan potensi produksi sebesar sekitar 7.000 barel secara kumulatif.
Kondisi yang semakin memprihatinkan itu sempat
membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono langsung terbang ke Pekanbaru dan
memimpin langsung operasi tanggap darurat.
Sejumlah
pihak menengarai bahwa kabut asap ini tak lepas dari kontribusi para pemilik
kebun sawit. Mereka membuka lahan dengan cara yang tidak elok, yaitu membakar
hutan. Dan ini tidak terjadi pada kali ini saja, melainkan sudah menjadi jadwal
rutin tahunan. Meski para pengusaha sawit menolak mentah-mentah tuduhan
tersebut. Tentunya ingatan kita belum lupa bahwa pada Juni 2013, kasus serupa
juga menimpa Indonesia. Bahkan lebih parahnya, asap tersebut hingga mencapai
Singapura dan Malaysia.
Hubungan Indonesia dengan kedua negara tetangganya
ini sempat “memanas”. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengancam akan menindak
perusahaan-perusahaan asing yang melakukan pembakaran hutan. Menteri Luar Negeri
Marty Natalegawa dan sejumlah pejabat lain merasa Indonesia tidak perlu meminta
maaf karena kebakaran hutan ini sebagiannya merupakan ulah perusahaan
perkebunan kelapa sawit yang berasal dari Malaysia dan Singapura.
Melihat repetisi hal tersebut pemerintah harusnya
tegas dalam menindak setiap pengrusakan yang ada, tanpa tebang pilih, tanpa
pandang bulu. Jangan hanya berani gertak sambal, namun juga harus memberi
tindakan tegas dan menerapkan hukum (law
enforcement).
Memang adanya perambahan kebun kelapa sawit itu
memang seiring langkah dengan kebijakan pemerintah untuk meningkatkan produksi
biodiesel demi menurunkan impor minyak dan bahan bakar minyak (BBM) nasional.
Meski demikian tentunya peningkatan produksi dan kapasitas bahan bakar nabati
(BBN) tetap dapat dilakukan tanpa melakukan pembakaran hutan. Hal ini bisa
terlihat di Malaysia yang tercatat sebagai salah satu produsen kelapa sawit
terbesar di dunia, namun tidak melakukan pembakaran hutan waktu sedang
melakukan ekspansi.
Selain menerapkan law enforcement, pemerintah juga seharusnya melakukan moratorium
perambahan kebun kelapa sawit di Sumatera. Sudah waktunya pemerintah mulai
beralih ke Papua yang masih memiliki wilayah terbuka. Namun tentunya dengan
sejumlah persyaratan yang cukup berat agar ekosistem dan lingkungan tidak
terganggu.
Di lain sisi, untuk mengurangi impor BBM, bisa saja
pemerintah melirik sumber lain dalam pengembangan BBN, misalnya dengan jarak pagar
ataupun singkong. Atau misalnya mulai serius dalam menggarap sinar matahari, angin
yang jika digarap dengan benar bisa menjadi sumber energi bagi Indonesia.

No comments:
Post a Comment