Wednesday, 19 March 2014

Kabut Asap Ganggu Produksi Minyak Indonesia

Reuters
Kabut asap di propinsi Riau, Sumatra Tengah sudah sedemikian parah sehingga mengganggu produksi minyak nasional Indonesia. Ratusan sumur ditutup, belasan ribu barel minyak terpaksa dihentikan. Jika tidak ditangani segera, bukan tidak mungkin produksi minyak negara ini akan jeblok, sejeblok-jebloknya, mengingat Riau adalah tulang punggung industri minyak nasional.

Setelah sebelumnya kabut asap di Riau mengganggu sejumlah jadwal penerbangan, kini hal tersebut juga mengganggu produksi minyak nasional.Satuan Kerja Khusus Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mengingatkan hal tersebut. Pasalnya sejak tanggal 11 Maret 2014, Indonesia setidaknya kehilangan potensi produksi minyak sebesar setidaknya 12.000 barrel per hari. Kebanyakan potensi produksi yang hilang terbesar berasal dari Wilayah Kerja Rokan yang dioperasikan oleh PT Chevron Pacific Indonesia. Dari Chevron saja, produksi minyak yang terhenti mencapai 8,800 barrel per hari. Tak heran, mengingat sampai saat ini Chevron masih menduduki produsen minyak terbesar di tanah air dengan jumlah produksinya yang mencapai 300,000an barrel per hari.

Lalu apa hubungannya kabut asap dan produksi migas? Ternyata kualitas udara yang buruk membuat Chevron harus melakukan perawatan darurat terhadap North Duri Cogen dan menyebabkan penurunan daya (power shedding) sebesar 70 mega watt. Sebanyak 573 sumur harus ditutup dan 19 unit pompa untuk
injeksi air harus ditutup akibat power shedding ini. Selain itu beberapa kegiatan konstruksi dan perawatan fasilitas produksi terpaksa dihentikan karena minimnya jarak pandang di area kegiatan tersebut.
Tak hanya itu, penghentian ini juga akan mengakibatkan kenaikan biaya operasional rig karena sampai saat ini tercatat penundaan operasi pengeboran setidaknya sudah terjadi selama 800 jam dari 15 rig.
Chevron sendiri juga tak ambil diam menangani kasus kabut asap ini. Sampai dengan saat ini Chevron telah melakukan pemadaman 12.000 titik asap di wilayahnya, 140 titik asap di publik area dan 1.600 titik asap di area di luar wilayah operasinya.
Tak cukup sampai disitu. Gangguan operasi juga dialami oleh PT BOB- Bumi Siak Pusako yang mengoperasikan Wilayah Kerja Coastal Plains and Pekan Baru (CPP). Potensi produksi yang hilang akibat gangguan di wilayah kerja CPP ini mencapai 4.000 BOPD.
Kabut asap juga mempengaruhi kegiatan operasi pada wilayah kerja Malacca Strait yang dioperasikan oleh EMP Malacca Strait dengan kehilangan potensi produksi sebesar sekitar 7.000 barel secara kumulatif.
Kondisi yang semakin memprihatinkan itu sempat membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono langsung terbang ke Pekanbaru dan memimpin langsung operasi tanggap darurat.
Sejumlah pihak menengarai bahwa kabut asap ini tak lepas dari kontribusi para pemilik kebun sawit. Mereka membuka lahan dengan cara yang tidak elok, yaitu membakar hutan. Dan ini tidak terjadi pada kali ini saja, melainkan sudah menjadi jadwal rutin tahunan. Meski para pengusaha sawit menolak mentah-mentah tuduhan tersebut. Tentunya ingatan kita belum lupa bahwa pada Juni 2013, kasus serupa juga menimpa Indonesia. Bahkan lebih parahnya, asap tersebut hingga mencapai Singapura dan Malaysia.
Hubungan Indonesia dengan kedua negara tetangganya ini sempat “memanas”. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengancam akan menindak perusahaan-perusahaan asing yang melakukan pembakaran hutan. Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa dan sejumlah pejabat lain merasa Indonesia tidak perlu meminta maaf karena kebakaran hutan ini sebagiannya merupakan ulah perusahaan perkebunan kelapa sawit yang berasal dari Malaysia dan Singapura.
Melihat repetisi hal tersebut pemerintah harusnya tegas dalam menindak setiap pengrusakan yang ada, tanpa tebang pilih, tanpa pandang bulu. Jangan hanya berani gertak sambal, namun juga harus memberi tindakan tegas dan menerapkan hukum (law enforcement). 
Memang adanya perambahan kebun kelapa sawit itu memang seiring langkah dengan kebijakan pemerintah untuk meningkatkan produksi biodiesel demi menurunkan impor minyak dan bahan bakar minyak (BBM) nasional. Meski demikian tentunya peningkatan produksi dan kapasitas bahan bakar nabati (BBN) tetap dapat dilakukan tanpa melakukan pembakaran hutan. Hal ini bisa terlihat di Malaysia yang tercatat sebagai salah satu produsen kelapa sawit terbesar di dunia, namun tidak melakukan pembakaran hutan waktu sedang melakukan ekspansi.
Selain menerapkan law enforcement, pemerintah juga seharusnya melakukan moratorium perambahan kebun kelapa sawit di Sumatera. Sudah waktunya pemerintah mulai beralih ke Papua yang masih memiliki wilayah terbuka. Namun tentunya dengan sejumlah persyaratan yang cukup berat agar ekosistem dan lingkungan tidak terganggu.

Di lain sisi, untuk mengurangi impor BBM, bisa saja pemerintah melirik sumber lain dalam pengembangan BBN, misalnya dengan jarak pagar ataupun singkong. Atau misalnya mulai serius dalam menggarap sinar matahari, angin yang jika digarap dengan benar bisa menjadi sumber energi bagi Indonesia.

No comments:

Post a Comment