Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyentil Kementrian Energi dan
Sumber Daya Mineral terkait kasus renegosiasi kontrak. Lamanya renegosiasi
telah menimbulkan adanya celah terjadinya kerugian negara disebabkan tidak
terpungutnya dengan optimal royalti 37 Kontrak Karya (KK) dan 74 Perjanjian
Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B). Padahal renegosiasi kontrak
semestinya sudah selesai tanggal 12 Januari 2010.
Menurut KPK, salah satu temuannya adalah tentang jenis tarif Pengelolaan
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku terhadap mineral dan batubara
yang berlaku pada KK lebih rendah dibandingkan tarif yang berlaku pada Ijin
Usaha Pertambangan (IUP) mineral. KPK memperkirakan, selisih penerimaan negara
dari satu perusahaan besar (KK) saja sebesar US$ 169,06 juta per
tahun. Dari temuan ini, Kementerian ESDM telah menyepakati akan
melakukan renegosiasi tentang tarif royalti pada semua KK dan PKP2B disesuaikan
dengan PP Tarif dan jenis tarif PNBP yang berlaku, serta menetapkan sanksi bagi
KK dan PKP2B yang tidak kooperatif dalam proses renegosiasi.
Lalu apakah yang menyebabkan renegosiasi tersebut terkesan sulit?
Menurut Menteri ESDM Jero Wacik, memang antara pemerintah dan para pemegang
kontrak masih terjadi tarik ulur terkait. Tapi, imbuhnya, negosiasi masih
dilakukan pemerintah dengan perusahaan terkait besaran royalti. Wakil Menteri
ESDM Susilo Siswoutomo menargetkan seluruh renegosiasi kontrak selesai pada
pertengahan tahun 2014.
Lepas dari sulitnya masalah renegosiasi terkait kasus royalti, banyak
perusahaan yang sebenarnya telah mengeluhkan kinerja pemerintah Kabinet
Indonesia Bersatu (KIB) Jilid Dua yang dianggap lamban. Masih banyak sejumlah
pekerjaan rumah yang jauh dari selesai, padahal pekerjaan-pekejaan itu sangat
mempengaruhi iklim investasi. Dan hal ini tak hanya untuk sektor pertambangan
saja, melainkan juga pada sektor minyak dan gas bumi (migas).
Kita tengok sejumlah PR apa yang dihadapi
pemerintah di sektor migas. Misalnya, tentu saja soal perpanjangan Kontrak
Kerja Sama (KKS) pada sejumlah blok yang akan habis. Satuan
Kerja Khusus Pelaksana Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mencatat
sebanyak 23 kontrak pengelolaan blok migas bakal berakhir mulai 2018-2021.
Sementara itu juga masih terdapat beberapa blok migas lagi yang akan habis
mulai 2014-2017, termasuk diantaranya Blok Mahakam di Kalimantan Timur yang
akan habis masa kontraknya tahun 2017.
Indonesian Petroleum Association pernah melansir
bahwa dalam 10 tahun mendatang, produksi migas pada blok-blok yang
kontraknya akan habis tersebut mencapai equivalent 61 persen atau setara dengan
sekitar 601.000 barel oil equivalent per day (setara minyak per hari) terhadap
produksi migas nasional. Sedangkan produksi migas nasional saat ini hanya
mencapai sekitar 2 juta barrel setara minyak per hari.
Wood Mackenzie, lembaga riset yang berbasis di
Edinburgh, Skotlandia, penah menyebutkan bahwa ketidakpastian perpanjangan
kontrak-kontrak blok migas di Indonesia, membuat para operator blok migas
yang akan berakhir masa kontraknya enggan berinvestasi untuk mengembangkan blok
itu karena tidak adanya kepastian.
Memang kepastian mengenai masalah
perpanjangan kontrak demi kesinambungan produksi suatu lapangan sangat penting.
Dan tentunya kepastian jauh sebelum masa kontrak berakhir akan sangat membantu
dalam kesinambungan produksi suatu lapangan. Selain itu pemerintah diharapkan
memperlihatkan proses yang transparan dalam menentukan diperpanjang atau
tidaknya suatu kontrak. Kasus tidak diperpanjangnya KKKS Chevron di Blok Siak
pada detik-detik terakhir, bisa menjadi pembelajaran sendiri, karena hal
tersebut menunjukkan bagaimana pemerintah tidak bisa memberikan kepastian
investasi bagi para penanam modal.
Pemerintah sendiri berkilah masih ada waktu untuk
memutuskan masalah perpanjangan. Bahkan Kementrian ESDM berencana untuk
menelurkan Peraturan Menteri ESDM yang mengatur masalah perpanjangan. Terdapat
beberapa butir yang dijadikan syarat dalam perpanjangan suatu blok, yaitu pertama,
besaran participating interest (PI) pemerintah di blok yang telah habis
masa kontraknya oleh operator dimana bagian negara harus lebih besar dibanding
operator sebelumnya. Kedua, keekonomian dari blok yang kontraknya telah habis.
Cadangan migas sampai risiko bisnis pada suatu blok juga menjadi perhitungan
dalam menentukan sikap pemerintah terkait perpanjangan kontrak.
Ketiga mengenai penunjukkan PT Pertamina (Persero)
sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bidang hulu migas dalam mengoperatori
kontrak blok yang habis oleh operator sebelumnya. Keempat, kegiatan operasional
produksi di blok Migas selama pembahasan keputusan perpanjangan melalui
kerangka aturan harus tetap berjalan. Kelima, besaran penerimaan negara pasca
dipindahtangankannya blok migas kepada operator yang baru.
Saat ini Kementrian ESDM tengah melakukan diskusi
dengan KPK terkait masalah Permen tersebut agar tidak terjadi celah kegiatan
korupsi. Langkah ini memang patut diacungi jempol untuk mencegah terjadinya prasangka-prasangka
buruk. Meski demikian, baik pemerintah dan KPK seharusnya mempercepat
pembahasan tersebut.
Menjelang Pemilihan Umum 2014, perhatian pemerintah
sudah tidak lagi focus dalam menelurkan kebijakan-kebijakan strategis. Untuk
itu alangkah baiknya jika Permen Perpanjangan Blok Migas segera dikeluarkan
sebelum bulan April sehingga nasib blok-blok tersebut jelas. Jika memang nasib
blok-blok itu masih mengambang hingga pertengahan tahun ini, maka sudah pasti
kebijakan tersebut akan jatuh di tangan pemerintahan yang baru. Artinya akan
semakin lama keputusan yang diambil dan artinya, selama itu ketidakpastian pada
iklim investasi mengancam Indonesia.

No comments:
Post a Comment