Wednesday, 5 March 2014

KPK Sentil ESDM Lamban Soal Renegosiasi Kontrak

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyentil Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral terkait kasus renegosiasi kontrak. Lamanya renegosiasi telah menimbulkan adanya celah terjadinya kerugian negara disebabkan tidak terpungutnya dengan optimal royalti 37 Kontrak Karya (KK) dan 74 Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B). Padahal renegosiasi kontrak semestinya sudah selesai tanggal 12 Januari 2010.
Menurut KPK, salah satu temuannya adalah tentang jenis tarif Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku terhadap mineral dan batubara yang berlaku pada KK lebih rendah dibandingkan tarif yang berlaku pada Ijin Usaha Pertambangan (IUP) mineral. KPK memperkirakan, selisih penerimaan negara dari satu perusahaan besar (KK) saja sebesar US$ 169,06 juta per tahun. Dari temuan ini,  Kementerian ESDM telah menyepakati akan melakukan renegosiasi tentang tarif royalti pada semua KK dan PKP2B disesuaikan dengan PP Tarif dan jenis tarif PNBP yang berlaku, serta menetapkan sanksi bagi KK dan PKP2B yang tidak kooperatif dalam proses renegosiasi.
Lalu apakah yang menyebabkan renegosiasi tersebut terkesan sulit? Menurut Menteri ESDM Jero Wacik, memang antara pemerintah dan para pemegang kontrak masih terjadi tarik ulur terkait. Tapi, imbuhnya, negosiasi masih dilakukan pemerintah dengan perusahaan terkait besaran royalti. Wakil Menteri ESDM Susilo Siswoutomo menargetkan seluruh renegosiasi kontrak selesai pada pertengahan tahun 2014.
Lepas dari sulitnya masalah renegosiasi terkait kasus royalti, banyak perusahaan yang sebenarnya telah mengeluhkan kinerja pemerintah Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid Dua yang dianggap lamban. Masih banyak sejumlah pekerjaan rumah yang jauh dari selesai, padahal pekerjaan-pekejaan itu sangat mempengaruhi iklim investasi. Dan hal ini tak hanya untuk sektor pertambangan saja, melainkan juga pada sektor minyak dan gas bumi (migas).
Kita tengok sejumlah PR apa yang dihadapi pemerintah di sektor migas. Misalnya, tentu saja soal perpanjangan Kontrak Kerja Sama (KKS) pada sejumlah blok yang akan habis. Satuan Kerja Khusus Pelaksana Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mencatat sebanyak 23 kontrak pengelolaan blok migas bakal berakhir mulai 2018-2021. Sementara itu juga masih terdapat beberapa blok migas lagi yang akan habis mulai 2014-2017, termasuk diantaranya Blok Mahakam di Kalimantan Timur yang akan habis masa kontraknya tahun 2017.

Indonesian Petroleum Association pernah melansir bahwa dalam 10 tahun mendatang, produksi migas pada blok-blok yang kontraknya akan habis tersebut mencapai equivalent 61 persen atau setara dengan sekitar 601.000 barel oil equivalent per day (setara minyak per hari) terhadap produksi migas nasional. Sedangkan produksi migas nasional saat ini hanya mencapai sekitar 2 juta barrel setara minyak per hari.

Wood Mackenzie, lembaga riset yang berbasis di Edinburgh, Skotlandia, penah menyebutkan bahwa ketidakpastian perpanjangan kontrak-kontrak blok migas di Indonesia, membuat para operator blok migas yang akan berakhir masa kontraknya enggan berinvestasi untuk mengembangkan blok itu karena tidak adanya kepastian.

Memang kepastian mengenai masalah perpanjangan kontrak demi kesinambungan produksi suatu lapangan sangat penting. Dan tentunya kepastian jauh sebelum masa kontrak berakhir akan sangat membantu dalam kesinambungan produksi suatu lapangan. Selain itu pemerintah diharapkan memperlihatkan proses yang transparan dalam menentukan diperpanjang atau tidaknya suatu kontrak. Kasus tidak diperpanjangnya KKKS Chevron di Blok Siak pada detik-detik terakhir, bisa menjadi pembelajaran sendiri, karena hal tersebut menunjukkan bagaimana pemerintah tidak bisa memberikan kepastian investasi bagi para penanam modal.

Pemerintah sendiri berkilah masih ada waktu untuk memutuskan masalah perpanjangan. Bahkan Kementrian ESDM berencana untuk menelurkan Peraturan Menteri ESDM yang mengatur masalah perpanjangan. Terdapat beberapa butir yang dijadikan syarat dalam perpanjangan suatu blok, yaitu pertama, besaran participating interest (PI) pemerintah di blok yang telah habis masa kontraknya oleh operator dimana bagian negara harus lebih besar dibanding operator sebelumnya. Kedua, keekonomian dari blok yang kontraknya telah habis. Cadangan migas sampai risiko bisnis pada suatu blok juga menjadi perhitungan dalam menentukan sikap pemerintah terkait perpanjangan kontrak.



Ketiga mengenai penunjukkan PT Pertamina (Persero) sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bidang hulu migas dalam mengoperatori kontrak blok yang habis oleh operator sebelumnya. Keempat, kegiatan operasional produksi di blok Migas selama pembahasan keputusan perpanjangan melalui kerangka aturan harus tetap berjalan. Kelima, besaran penerimaan negara pasca dipindahtangankannya blok migas kepada operator yang baru.

Saat ini Kementrian ESDM tengah melakukan diskusi dengan KPK terkait masalah Permen tersebut agar tidak terjadi celah kegiatan korupsi. Langkah ini memang patut diacungi jempol untuk mencegah terjadinya prasangka-prasangka buruk. Meski demikian, baik pemerintah dan KPK seharusnya mempercepat pembahasan tersebut.


Menjelang Pemilihan Umum 2014, perhatian pemerintah sudah tidak lagi focus dalam menelurkan kebijakan-kebijakan strategis. Untuk itu alangkah baiknya jika Permen Perpanjangan Blok Migas segera dikeluarkan sebelum bulan April sehingga nasib blok-blok tersebut jelas. Jika memang nasib blok-blok itu masih mengambang hingga pertengahan tahun ini, maka sudah pasti kebijakan tersebut akan jatuh di tangan pemerintahan yang baru. Artinya akan semakin lama keputusan yang diambil dan artinya, selama itu ketidakpastian pada iklim investasi mengancam Indonesia.

No comments:

Post a Comment