Posisi
Indonesia sebagai salah satu negara terbesar pengekspor gas alam cair
(liquefied natural gas/LNG) akan segera berakhir dengan statusnya yang akan menjadi
negara pengimpor LNG. Permintaan gas domestic meningkat tajam seiring dengan
menggeliatnya perekonomian Indonesia.Republik ini diperkirakan akan menjadi
negara consumer LNG terbesar di Asia pada tahun 2025 dengan estimasi konsumsi
sebesar 45 juta ton per tahun.
Masa kejayaan Indonesia di industri
minyak dan gas lambat laun akan segera berakhir. Setelah sejak tahun 2000an
gagal mempertahankan posisinya sebagai salah satu negara pengekspor minyak –dan
diakhiri dengan keluar sebagai anggota OPEC pada 2008-, kini Indonesia
dibayang-bayangi menjadi negara pengimpor LNG. Padahal pada era 1990-2000an
Indonesia bersaing dengan Qatar dalam mengekspor LNG. Dan kini malah terpuruk
menjadi negara pengimpor. Nah!
Dengan semakin menuanya
lapangan-lapangan migas –yang tingkat penurunnnya saat itu sekitar 13-15 persen
per tahun-, maka penurunan produksi adalah suatu keniscahayaan. Hingga tercatat
sejak tahun 1999, ekspor LNG Indonesia telah turun drastis hingga mencapai 40
persen. Padahal Indonesia memiliki komitmen ekspor dengan sejumlah
negara-negara Asia, seperti Jepang, Korea Selatan dan Taiwan.
Meski demikian, sejak tahun 2000an
Indonesia sudah mulai kewalahan dalam
memenuhi kontrak ekspor. Tak heran jika setiap tahun dalam diskusi mengenai
program pengiriman tahunan (annual
delivery program), Indonesia selalu meminta keringanan, baik penundaan (rescheduling) ataupun pengurangan volume
(dropping) agar tidak mendapatkan
sanksi atau penalty dari pihak pembeli.
Peningkatan pemanfaatan gas domestik,
baik dalam bentuk gas alam (natural gas)
meningkatkan seiring dengan tumbuhnya sentra-sentra industri di berbagai daerah
yang lebih memilih mengkonsumsi gas yang notabene lebih murah ketimbang Bahan
Bakar Minyak (BBM). Demikian pula dengan Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang
meningkatkan utilisasi gas untuk menggerakkan pembangkit listriknya daripada
menggunakan BBM.
Sementara dari sisi LNG, peningkatan
pemakaian dalam negeri meningkat tajam seiring dengan akan dibangunnya sejumlah
proyek penerima LNG terapung (floating
storage and regasification unit/FSRU) di sejumlah daerah, sepertinya
misalnya Banten dengan kapasitas 3 juta ton per tahun yang dikelola anak
perusahaan patungan antara Pertamina dan Perusahaan Gas Negara (PGN). Adapun
gas hasil regasifikasi tersebut akan dimanfaatkan PLN yang mendapatkan komitmen
pasokan LNG dari Blok Mahakam sebesar 11.75 juta ton/tahun selama 11 tahun
mulai 2012-2022.
Pada tahun 2012, PLN telah mendapatkan
pasokan 14 kargo LNG dari Bontang, 2013 sebanyak 24 kargo dari Bontang dan
Tangguh dan 2014 diharapkan akan mendapatkan 28 kargo baik dari Bontang dan
Tangguh.
Bontang sendiri merupakan LNG plant
terbesar di Indonesia dengan kapasitas 22,5 juta ton per tahun. Total E&P
Indonesia dan Inpex Corp saat ini menyuplai 80 persen kebutuhan gas
kilang LNG Bontang dengan produksi pada 2013 sebesar 1.761 dan 67.600 barel per
hari untuk minyak dan kondensat.
Dapat dibayangkan bagaimana signifikan dan
vitalnya proyek Mahakam bagi perekonomian Indonesia. Tanpa pasokan gas
mengalami penurunan maka produksi LNG Bontang juga akan turun. Jika produksi mengalami penurunan, maka sudah
pasti akibatnya subsidi listrik juga akan membengkak. Belum lagi resiko dibawa
ke arbitrase internasional karena adanya kemungkinan tidak memenuhi komitmen
ekspor LNG ke Jepang.
Meski demikian telah melihat fakta-fakta
tersebut, pemerintah tak juga mengambil keputusan terkait perpanjangan Blok
Mahakam ini meski sebenarnya Total dan Inpex telah mengajukan permohonan
perpanjangan blok pasca 2017.
Kembali ke masalah FSRU. Selain di Banteng,
Pertamina juga akan membangun dua FSRU di Jawa Tengah dengan kapasitas
masing-masing 1,5 juta ton/per tahun. Tak hanya itu Pertamina juga melakukan
modifikasi kilang Arun agar dapat menjadi penerima gas. Mengingat begitu
terbatasnya pasokan LNG Indonesia, maka Pertamina segera melakukan kesepakatan
dengan perusahaan Prancis Cheniere untuk memasok LNG sebesar 800,000 ton/tahun selama
20 tahun mulai 2018. Inilah impor LNG pertama yang akan dilakukan Indonesia.
Sementara PLN juga tengah menjajaki kemungkinan
impor LNG dari sejumlah negara, seperti Amerika Serikat, jika memang pasokan
gas dalam negeri mengalami penurunan.
Jika saja pemerintah berani mengambil terobosan
baru agar kegiatan produksi dan eksploitasi bisa ditingkatkan, maka tak perlu lagi
Indonesia mengimpor LNG, minyak mentah dan BBM untuk memenuhi pasar dalam
negeri. Mari kita tunggu gebrakan dari pemerintah baru.

No comments:
Post a Comment