Tuesday, 25 March 2014

Terkatung-katungnya Proyek RFID Pertamina

Sistem pencatatan pemakaian konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi Indonesia melalui Radio Frequency Identification (RFID) yang digagas Pertamina. tidak jelas rimbanya. Realisasinya selalu mundur dari target, sehingga membuat Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa menyebutnya sebagai proyek ‘omdo’ alias omong doang.

Kegeraman Hatta tak terbatas pada gagalnya proyek RFID, namun juga proyek pembatasan BBM yang digagas oleh Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang dinilai tidak memiliki progres. Kegeraman itu memang tak mengherankan karena proyek RFID yang digagas Pertamina itu seharusnya sudah bisa diterapkan sejak beberapa tahun yang lalu dan selesai pada tahun 2014. Tujuannya sederhana, yaitu mengontrol pemakaian BBM bersubsidi pada setiap kendaraaan. Dengan alat ini nantinya diharapkan program BBM bersubsidi bisa berjalan dan tepat sasaran. Namun nyatanya terlalu banyak kendala yang dihadapi Pertamina sehingga proyek ini menjadi terkatung-katung.

Setiap tahun memang konsumsi BBM Indonesia senantiasa melejit, tercatat peningkatan pemakaiannya mencapai 8 persen per tahun. Tak heran jika pemerintah harus menyediakan ratusan triliun rupiah untuk dibakar saja alias untuk subsidi BBM. Pada tahun ini saja, dalam APBN 2014 pemerintah membatasi jumlah BBM subsidi sebanyak 40 juta kilo liter, di mana anggaran subsidi BBM dianggarkan hingga Rp 200 triliun lebih.

Sementara pada tahun 2013 silam, realisasi konsumsi BBM bersubsidi memang masih di bawah kuota sebesar 48 juta kiloliter, yaitu hanya 46,295 juta kiloliter, lantaran adanya kebijakan kenaikan harga BBM bersubsidi. Pada pertengahan tahun lalu pemerintah menaikkan harga BBM subsidi dari Rp 4.500 per liter menjadi Rp 6.500 per liter untuk premium, dan Rp 4.500 per liter menjadi Rp 5.500 per liter untuk solar bersubsidi.

Meski demikian anggaran BBM subsidi jebol hingga Rp 50 triliun yakni mencapai Rp 250 triliun dari yang dianggarkan Rp 200 triliun. Dan kejadian pembengkakan nilai subsidi BBM ini tak hanya terjadi pada tahun 2013 saja, melainkan pada tahun-tahun sebelumnya. Bayangkan jika subsidi BBM tersebut dijadikan infrastruktur atau subsidi pendidikan untuk kebutuhan masyarakat luas, tentunya sudah berapa banyak jembatan, bangunan sekolah dan berapa ratus juta anak yang bisa mendapatkan beasiswa dari pemerintah.

Meski demikian ternyata pemerintah tidak satu suara. Meski Hatta Rajasa mengatakan proyek RFID omdo, Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan membela Pertamina. Menurutnya proyek RFID tidak berjalan karena harga komponen yang berasal dari luar negeri menjadi sangat mahal. Hal itu disebabkan oleh nilai mata uang Rupiah yang melemah terhadap dlolar AS. Bahkan menurutnya jika proyek itu tidak dilanjutkan, maka tidak menjadi masalah.

Beda lagi tanggapan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik. Menurutnya proyek tersebut bukan proyek ‘omdo’. Pasalnya, Pertamina selaku pelaksana program telah melakukan beberapa tahapan hingga sampai ke pemasangan. Untuk pemasangan memang cukup lama, karena rumit apalagi harus seluruh kendaraan di Indonesia.

Lepas dari omdo atau tidaknya proyek tersebut, mari kita lihat keefektifan proyek pembatasan konsumsi BBM melalui RFID. Untuk melakukan hal tersebut, Pertamina harus memasang suatu alat (chip) pada setiap kendaraan. Chip RFID tag berupa jenis kendaraan, identitas pemilik kendaraan, nama SPBU dan volume BBM yang diisi. Selanjutnya chips itu akan terhubung antara kendaraan dengan data pusat yang dimiliki oleh Pertamina. Sederhananya adalah alat ini bisa membatasi berapa kuota penggunaan BBM bersubsidi dari mobil tertentu. Jika sebuah mobil sudah ditentukan penggunaan BBM bersubsidinya, maka jika kuota sudah habis, maka mobil tersebut tidak dapat lagi menggunakan BBM bersubsidi.

Masalahnya pemasangan RFID ini membutuhkan komitmen dari setiap pemilik kendaraan untuk memasangkan chip di mobilnya. Selain itu, mengingat sulitnya penyediaan alat ini, maka tentunya penerapan RFID hanya bisa dilakukan di kota-kota besar saja. Artinya akan sulit untuk diterapkan di seantero nusantara. Dengan demikian, bagaimana bisa RFID dapat mengontrol penggunaan BBM subsidi agar tepat sasaran?


Sejumlah pengamat ekonomi menilai bahwa penerapan RFID selain memakan waktu, juga akan memakan biaya. Langkah yang paling efektif adalah dengan menaikkan harga BBM. Dan terbukti bahwa langkah itu berhasil mengurangi konsumsi BBM bersubsidi pada tahun lalu.

No comments:

Post a Comment