Sistem pencatatan pemakaian konsumsi
Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi Indonesia melalui Radio Frequency Identification (RFID) yang digagas Pertamina. tidak
jelas rimbanya. Realisasinya selalu mundur dari target, sehingga membuat
Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa menyebutnya sebagai proyek ‘omdo’
alias omong doang.
Kegeraman Hatta tak terbatas pada
gagalnya proyek RFID, namun juga proyek pembatasan BBM yang digagas oleh
Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang dinilai tidak memiliki
progres. Kegeraman itu memang tak mengherankan karena proyek RFID yang
digagas Pertamina itu seharusnya sudah bisa diterapkan sejak beberapa tahun
yang lalu dan selesai pada tahun 2014. Tujuannya sederhana, yaitu mengontrol
pemakaian BBM bersubsidi pada setiap kendaraaan. Dengan alat ini
nantinya diharapkan program BBM bersubsidi bisa berjalan dan tepat sasaran. Namun
nyatanya terlalu banyak kendala yang dihadapi Pertamina sehingga proyek ini
menjadi terkatung-katung.
Setiap tahun memang konsumsi BBM Indonesia
senantiasa melejit, tercatat peningkatan pemakaiannya mencapai 8 persen per
tahun. Tak heran jika pemerintah harus menyediakan ratusan triliun rupiah untuk
dibakar saja alias untuk subsidi BBM. Pada tahun ini saja, dalam APBN 2014
pemerintah membatasi jumlah BBM subsidi sebanyak 40 juta kilo liter, di mana
anggaran subsidi BBM dianggarkan hingga Rp 200 triliun lebih.
Sementara pada tahun 2013 silam, realisasi konsumsi
BBM bersubsidi memang masih di bawah kuota sebesar 48 juta kiloliter, yaitu
hanya 46,295 juta kiloliter, lantaran adanya kebijakan kenaikan harga BBM
bersubsidi. Pada pertengahan tahun lalu pemerintah menaikkan harga BBM subsidi
dari Rp 4.500 per liter menjadi Rp 6.500 per liter untuk premium, dan Rp 4.500
per liter menjadi Rp 5.500 per liter untuk solar bersubsidi.
Meski demikian anggaran BBM subsidi jebol hingga Rp
50 triliun yakni mencapai Rp 250 triliun dari yang dianggarkan Rp 200 triliun.
Dan kejadian pembengkakan nilai subsidi BBM ini tak hanya terjadi pada tahun
2013 saja, melainkan pada tahun-tahun sebelumnya. Bayangkan jika subsidi BBM
tersebut dijadikan infrastruktur atau subsidi pendidikan untuk kebutuhan
masyarakat luas, tentunya sudah berapa banyak jembatan, bangunan sekolah dan
berapa ratus juta anak yang bisa mendapatkan beasiswa dari pemerintah.
Meski demikian ternyata pemerintah tidak
satu suara. Meski Hatta Rajasa mengatakan proyek RFID omdo, Menteri Negara
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan membela Pertamina. Menurutnya
proyek RFID tidak berjalan karena harga komponen yang berasal dari luar negeri
menjadi sangat mahal. Hal itu disebabkan oleh nilai mata uang Rupiah yang
melemah terhadap dlolar AS. Bahkan menurutnya jika proyek itu tidak
dilanjutkan, maka tidak menjadi masalah.
Beda lagi tanggapan Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral Jero Wacik. Menurutnya proyek tersebut bukan proyek ‘omdo’.
Pasalnya, Pertamina selaku pelaksana program telah melakukan beberapa
tahapan hingga sampai ke pemasangan. Untuk pemasangan memang cukup lama, karena
rumit apalagi harus seluruh kendaraan di Indonesia.
Lepas
dari omdo atau tidaknya proyek tersebut, mari kita lihat keefektifan proyek
pembatasan konsumsi BBM melalui RFID. Untuk melakukan hal tersebut, Pertamina
harus memasang suatu alat (chip) pada setiap kendaraan. Chip
RFID tag berupa jenis kendaraan, identitas pemilik kendaraan, nama SPBU dan
volume BBM yang diisi. Selanjutnya chips itu akan
terhubung antara kendaraan dengan data pusat yang dimiliki oleh Pertamina.
Sederhananya adalah alat ini bisa membatasi berapa kuota penggunaan BBM
bersubsidi dari mobil tertentu. Jika sebuah mobil sudah ditentukan penggunaan
BBM bersubsidinya, maka jika kuota sudah habis, maka mobil tersebut tidak dapat
lagi menggunakan BBM bersubsidi.
Masalahnya
pemasangan RFID ini membutuhkan komitmen dari setiap pemilik kendaraan untuk
memasangkan chip di mobilnya. Selain itu, mengingat sulitnya penyediaan alat
ini, maka tentunya penerapan RFID hanya bisa dilakukan di kota-kota besar saja.
Artinya akan sulit untuk diterapkan di seantero nusantara. Dengan demikian,
bagaimana bisa RFID dapat mengontrol penggunaan BBM subsidi agar tepat sasaran?
Sejumlah
pengamat ekonomi menilai bahwa penerapan RFID selain memakan waktu, juga akan
memakan biaya. Langkah yang paling efektif adalah dengan menaikkan harga BBM.
Dan terbukti bahwa langkah itu berhasil mengurangi konsumsi BBM bersubsidi pada
tahun lalu.

No comments:
Post a Comment