![]() |
| merdeka.com |
Krisis energi tak henti-hentinya mengintai
Indonesia. Ibarat trickle down effect,
penurunan produksi minyak dan gas akhirnya diikuti oleh krisis energi lainnya,
seperti listrik. Tak heran, pemadaman bergilir maupun pemadaman tanpa
pemberitahuan kerap kali terjadi di negara ini. Ke depannya, bukan tak mungkin
Indonesia akan menjadi negara pengimpor energi secara masif, tak hanya minyak
dan gas, namun juga listrik. Betapa menyedihkannya.
Masalah pemadaman tampaknya bukan hal baru lagi.
Saking akrabnya dengan kehidupan sehari-hari, masyarakat kerap menjuluki
perusahaan listrik plat merah Perusahaan Listrik Negara dengan plesetan
Perusahaan Lilin Negara. Pasalnya masyarakat pada akhirnya harus lebih sering
bergantung pada lilin ketimbang listrik sebagai alat penerangan. Ke depan,
krisis itu tampaknya akan semakin parah seiring dengan meningkat konsumsi
listrik di Tanah Air, namun tidak disertai dengan
penambahan infrastruktur kelistrikan.
Pemerintah memperkirakan laju pertumbuhan
konsumsi listrik nasional mencapai 7-8 persen per tahun. Pemerintah memang
berusaha membangun pembangkit listrik berkapasitas 10.000 megawatts untuk
memenuhi kebutuhan energi domestik, namun nyatanya penyelesaian proyek tersebut
tidak tepat waktu. Masalahnya beragam, dari mulai teknis dan non teknis yang
akhirnya membuat proyek tersebut terlambat dari target yang telah ditentukan.
Kini, bahkan untuk mencukupi kebutuhan domestik, PT
PLN Wilayah Kalimantan Barat berencana menambah pasokan listrik yang diimpor
dari Malaysia. Listrik dari pembangkit Malaysia itu ditujukan untuk wilayah
perbatasan.
Bayangkan, Indonesia negara yang kaya akan sumber daya alam
terpaksa harus mengimpor listrik dari Malaysia. Padahal sumber daya alam
Indonesia jauh lebih kaya dibandingkan negeir jiran itu. Yang lebih ironis
lagi, Kalimantan Timur yang merupakan daerah penghasil gas terbesar juga harus
berdamai dengan pemadaman listrik yang terjadi secara terus menerus. Pemadaman
selama sebulan berturut-turut bukan isapan jempol semata.
Kegagalan PLN dalam memenuhi kebutuhan
listrik masyarakat memang merupakan akumulasi dari kesalahan sejumlah pihak,
tak hanya PLN sendiri, namun juga misalnya pemerintah yang selama ini dinilai
kurang mengakomodir permintaan investor. Akibatnya pembangunan infrastruktur
jadi terhambat.
Beberapa tahun silam, Wakil Presiden Boediono
pernah mengingatkan betapa pentingnya pembangunan infrastruktur bagi
pengembangan dan penggunaan gas domestik. Dengan demikian pembeli gas harus
bersedia melakukan renegosiasi harga beli gasnya agar produsen bisa
mendapatkan harga yang kompetitif.
Berhasil tidaknya pengembangan gas domestik sangat bergantung pada sejumlah pihak, termasuk pemerintah. Peranan pemerintah
sangat besar karena kebijakannya lah yang akan menentukan banyak tidaknya
investor masuk ke industri gas nasional. Bisa dibayangkan, dengan prototype
Indonesia sebagai negara kepulauan, tentunya dibutuhkan investasi yang besar
untuk dapat membangun pipa yang menghubungkan satu kepulauan dengan kepulauan
lain. Dan untuk itu dibutuhkan insentif, baik untuk industry hilir maupun hulu.
Investor sangat membutuhkan insentif untuk
menjamin proyeknya berjalan lancar. Insentif apakah yang bisa diberikan
pemerintah? Ya misalnya insentif fiscal, seperti pembebasan biaya masuk dan tax
holiday.
Insentif-insentif ini akan merangsang
investor di kegiatan hulu untuk melakukan eksplorasi dan meningkatkan
produksinya. Sementara di kegiatan hilir, ini dapat mempercepat pembangunan
pipanisasi yang terintegrasi di Indonesia. Siapa tahu, jika di masa mendatang
gas dari Kalimantan bisa dialirkan ke Jawa melalui pipa.
Tak hanya itu, PLN juga sangat bergantung
pada beragam energy, seperti batubara dan gas, seiring dengan kebijakan perseroan
untuk mengurangi ketergantungannya pada bahan bakar minyak. Sementara saat ini
terlalu banyak kontrak kerjasama blok migas yang nasibnya belum jelas.
Untuk
itu pemerintah sebaiknya tidak lupa untuk memberikan kepastian hukum demi
kelancaran investasi. Sudah sekian banyak contoh yang menunjukan betapa
pemerintah sangat lamban dalam memberikan kepastian, misalnya di kasus Blok
Mahakam, dimana Total E&P Indonesie dan Inpex telah mengajukan perpanjangan
sejak 2008 namun hingga kini belum ada keputusan. Hendaklah hal ini menjadi
pelajaran pemerintah di masa mendatang.
Ke depan pemerintah memperkirakan kebutuhan
gas nasional, baik dalam bentuk gas alam maupun liquefied natural gas (LNG)
akan makin meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang signifikan. Tak
hanya itu, pembangunan sejumlah proyek FSRU, baik milik Badan Umum Milik Negara
(BUMN) Pertamina dan Perusahaan Gas Negara juga tengah digalakkan guna memenuhi
kebutuhan gas nasional. Menurut catatan Kementrian Energi dan Sumber Daya
Mineral, pada tahun 2001, pemanfaatan gas bumi untuk industri hanya sebesar
1.279 MMSCFD (juta kaki kubik). Tahun 2013, pemanfaatannya melonjak menjadi
sebesar 2.249 MMSCFD. Selain itu, terdapat peningkatan tajam konsumsi gas bumi
untuk sektor kelistrikan yang tersebar di area Jawa dan Sumatera.
Lalu bagaimana dengan pasokannya? Pemerintah
sendiri mengakui bahwa pemenuhan kebutuhan gas domestik pasca 2020 masih gelap
karena produksi yang ada tidak sejalan seiring dengan laju penurunan produksi
alamiah. Tak heran jika Pertamina mulai melakukan impor LNG untuk memenuhi
kebutuhan proyek FSRUnya di Jawa Tengah dan juga modifikasi kilang Arun.
Hal tersebut dilakukan meski berdasarkan
studi gas balance, pemerintah memperkirakan puncak produksi gas Indonesia akan
terjadi tahun 2018 yaitu sekitar 10.000 MMSCFD (juta kaki kubik). Kontribusi
produksi gas bumi ini, antara lain berasal dari proyek-proyek gas baru
seperti deep water project, Masela, Tangguh Expansion dan East Natuna. Ironisnya,
hingga kini pengembangan sejumlah proyek tersebut hingga kini masih menanti
kepastian dari pemerintah.

No comments:
Post a Comment