Tuesday, 22 April 2014

Krisis Listrik Ancam Indonesia

merdeka.com
Krisis energi tak henti-hentinya mengintai Indonesia. Ibarat trickle down effect, penurunan produksi minyak dan gas akhirnya diikuti oleh krisis energi lainnya, seperti listrik. Tak heran, pemadaman bergilir maupun pemadaman tanpa pemberitahuan kerap kali terjadi di negara ini. Ke depannya, bukan tak mungkin Indonesia akan menjadi negara pengimpor energi secara masif, tak hanya minyak dan gas, namun juga listrik. Betapa menyedihkannya.

Masalah pemadaman tampaknya bukan hal baru lagi. Saking akrabnya dengan kehidupan sehari-hari, masyarakat kerap menjuluki perusahaan listrik plat merah Perusahaan Listrik Negara dengan plesetan Perusahaan Lilin Negara. Pasalnya masyarakat pada akhirnya harus lebih sering bergantung pada lilin ketimbang listrik sebagai alat penerangan. Ke depan, krisis itu tampaknya akan semakin parah seiring dengan meningkat konsumsi listrik di Tanah Air, namun tidak disertai dengan penambahan infrastruktur kelistrikan.


Pemerintah memperkirakan laju pertumbuhan konsumsi listrik nasional mencapai 7-8 persen per tahun. Pemerintah memang berusaha membangun pembangkit listrik berkapasitas 10.000 megawatts untuk memenuhi kebutuhan energi domestik, namun nyatanya penyelesaian proyek tersebut tidak tepat waktu. Masalahnya beragam, dari mulai teknis dan non teknis yang akhirnya membuat proyek tersebut terlambat dari target yang telah ditentukan.

Kini, bahkan untuk mencukupi kebutuhan domestik, PT PLN Wilayah Kalimantan Barat berencana menambah pasokan listrik yang diimpor dari Malaysia. Listrik dari pembangkit Malaysia itu ditujukan untuk wilayah perbatasan.
Bayangkan, Indonesia negara yang kaya akan sumber daya alam terpaksa harus mengimpor listrik dari Malaysia. Padahal sumber daya alam Indonesia jauh lebih kaya dibandingkan negeir jiran itu. Yang lebih ironis lagi, Kalimantan Timur yang merupakan daerah penghasil gas terbesar juga harus berdamai dengan pemadaman listrik yang terjadi secara terus menerus. Pemadaman selama sebulan berturut-turut bukan isapan jempol semata.

Kegagalan PLN dalam memenuhi kebutuhan listrik masyarakat memang merupakan akumulasi dari kesalahan sejumlah pihak, tak hanya PLN sendiri, namun juga misalnya pemerintah yang selama ini dinilai kurang mengakomodir permintaan investor. Akibatnya pembangunan infrastruktur jadi terhambat.

Beberapa tahun silam, Wakil Presiden Boediono pernah mengingatkan betapa pentingnya pembangunan infrastruktur bagi pengembangan dan penggunaan gas domestik. Dengan demikian pembeli gas harus bersedia melakukan renegosiasi harga beli gasnya agar produsen bisa mendapatkan  harga yang kompetitif.

Berhasil tidaknya pengembangan gas domestik sangat bergantung pada sejumlah pihak, termasuk pemerintah. Peranan pemerintah sangat besar karena kebijakannya lah yang akan menentukan banyak tidaknya investor masuk ke industri gas nasional. Bisa dibayangkan, dengan prototype Indonesia sebagai negara kepulauan, tentunya dibutuhkan investasi yang besar untuk dapat membangun pipa yang menghubungkan satu kepulauan dengan kepulauan lain. Dan untuk itu dibutuhkan insentif, baik untuk industry hilir maupun hulu.

Investor sangat membutuhkan insentif untuk menjamin proyeknya berjalan lancar. Insentif apakah yang bisa diberikan pemerintah? Ya misalnya insentif fiscal, seperti pembebasan biaya masuk dan tax holiday.

Insentif-insentif ini akan merangsang investor di kegiatan hulu untuk melakukan eksplorasi dan meningkatkan produksinya. Sementara di kegiatan hilir, ini dapat mempercepat pembangunan pipanisasi yang terintegrasi di Indonesia. Siapa tahu, jika di masa mendatang gas dari Kalimantan bisa dialirkan ke Jawa melalui pipa.

Tak hanya itu, PLN juga sangat bergantung pada beragam energy, seperti batubara dan gas, seiring dengan kebijakan perseroan untuk mengurangi ketergantungannya pada bahan bakar minyak. Sementara saat ini terlalu banyak kontrak kerjasama blok migas yang nasibnya belum jelas.

Untuk itu pemerintah sebaiknya tidak lupa untuk memberikan kepastian hukum demi kelancaran investasi. Sudah sekian banyak contoh yang menunjukan betapa pemerintah sangat lamban dalam memberikan kepastian, misalnya di kasus Blok Mahakam, dimana Total E&P Indonesie dan Inpex telah mengajukan perpanjangan sejak 2008 namun hingga kini belum ada keputusan. Hendaklah hal ini menjadi pelajaran pemerintah di masa mendatang.


Ke depan pemerintah memperkirakan kebutuhan gas nasional, baik dalam bentuk gas alam maupun liquefied natural gas (LNG) akan makin meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang signifikan. Tak hanya itu, pembangunan sejumlah proyek FSRU, baik milik Badan Umum Milik Negara (BUMN) Pertamina dan Perusahaan Gas Negara juga tengah digalakkan guna memenuhi kebutuhan gas nasional. Menurut catatan Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral, pada tahun 2001, pemanfaatan gas bumi untuk industri hanya sebesar 1.279 MMSCFD (juta kaki kubik). Tahun 2013, pemanfaatannya melonjak menjadi sebesar 2.249 MMSCFD. Selain itu, terdapat peningkatan tajam konsumsi gas bumi untuk sektor kelistrikan yang tersebar di area Jawa dan Sumatera.  

Lalu bagaimana dengan pasokannya? Pemerintah sendiri mengakui bahwa pemenuhan kebutuhan gas domestik pasca 2020 masih gelap karena produksi yang ada tidak sejalan seiring dengan laju penurunan produksi alamiah. Tak heran jika Pertamina mulai melakukan impor LNG untuk memenuhi kebutuhan proyek FSRUnya di Jawa Tengah dan juga modifikasi kilang Arun.


Hal tersebut dilakukan meski berdasarkan studi gas balance, pemerintah memperkirakan puncak produksi gas Indonesia akan terjadi tahun 2018 yaitu sekitar 10.000 MMSCFD (juta kaki kubik). Kontribusi produksi gas bumi ini, antara lain berasal dari proyek-proyek gas baru seperti deep water project, Masela, Tangguh Expansion dan East Natuna. Ironisnya, hingga kini pengembangan sejumlah proyek tersebut hingga kini masih menanti kepastian dari pemerintah.

No comments:

Post a Comment