![]() |
| tribunnews.com |
Usai menjalani serangkaian acara persidangan yang
memakan waktu berbulan-bulan, akhirnya mantan Kepala Satuan Kerja Khusus
Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Rudi Rubiandini
dituntut 10 tahun penjara, denda Rp 250 juta subsider tiga bulan penjara. Rudi
diyakini terbukti menerima uang dari sejumlah pihak dan juga terlibat tindak
pidana pencucian uang (TPPU).
Sementara pelatih golf pribadi Rudi Rubiandini,
yakni Deviardi yang ditangkap bersamaan dalam operasi tangkap tangan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Agustus lalu, dituntut lima tahun penjara
subsidair 3 bulan kurungan serta denda Rp 50 juta. Deviardini dinilai terbukti
bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang.
Jaksa meyakini Deviardi melanggar tiga pasal sekaligus, yakni Pasal 12 huruf a,
Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan
Pasal 3 UU 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.
Kembali lagi ke Rudi, dalam tuntutannya, jaksa Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai Rudi terbukti telah menerima menerima uang dari
Komisaris Utama Kernel Oil Singapura Widodo Ratanachaitong sebesar SG$ 200 ribu
dan US$ 900 ribu. Uang tersebut diberikan terkait dengan pelaksanaan lelang
terbatas minyak mentah dan kondensat yang diikuti perusahaan milik Widodo.
Rudi juga menerima uang US$ 522.500 dari Presiden
Direktur PT Kaltim Parna Industri, Artha Meris Simbolon dengan maksud agar Rudi
memberikan rekomendasi atau persetujuan untuk menurunkan formula harga gas
untuk PT KPI. Selain itu Rudi juga menerima dari Wakil Kepala SKK Migas saat
itu Yohanes Widjonarko (SG$ 600 ribu), Deputi Pengendalian Bisnis SKK Migas
Gerhard Marteen Rumeser US$ 350 ribu, dan Kepala Divisi Penunjang Operasi Iwan
Ratman sebesar US$ 50 ribu.
Selain itu, jaksa KPK meyakini Rudi melakukan
pidana pencucian uang pada 11 Januari 2013-13 Agustus 2013. Modusnya dengan
mentransfer, membayarkan, membelanjakan dan menukarkan mata uang.
Apapun vonisnya nanti, kita sangat berharap bahwa
putusan hakim akan memberi keadilan bagi bangsa ini. Dalam kasus korupsi ini
kita bisa melihat bagaimana kekuasaan berpeluang terhadap tindak pidana
korupsi. Sebuah tandatangan atau persetujuan saja bisa menghasilkan miliaran
rupiah. Semua bisa didapat dengan mudah. Bayangkan, berapa miliar rupiah yang
berseliweran di tangan koruptor hanya untuk sebagai upeti atas
kebijakan-kebijakan yang akan diambil dan menguntungkan segelintir orang.
Korupsi sebagai tindakan kriminal tidak hanya
menimbulkan dampak terhadap kerugian uang negara, tetapi juga memberikan dampak
secara tidak langsung terhadap rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat. Pasalnya
jika saja uang tersebut digunakan untuk kemakmuran negara ini tentunya ada
banyak manusia di negara ini yang tertolong dari lingkaran kemiskinan,
pendidikan yang layak dan pengobatan gratis.
Dan lagi, ternyata maraknya kasus korupsi di
Indonesia menyebabkan banyak investor asing yang mempertanyakan soal
kepastian hukum di Indonesia khususnya dalam memberantas korupsi. Hal ini tentu
saja akan mempengaruhi niat bisnis asing di dalam negeri. Banyak investor asing
yang takut menanamkan modalnya disini karena terkait dengan kasus korupsi dan
ketidakpastian hukum.
Jadi jelas sudah bagaimana bahayanya gurita korupsi
di Indonesia. Jelas sudah bahwa musuh nomer satu di negara ini tindak pidana
korupsi, bukan investor asing seperti yang didengung-dengungkan oleh banyak
pihak yang anti asing. Mungkin kita harus arif dalam melihat kondisi ini bahwa
korupsi menggerogoti negara ini dan jelas dampaknya sangat merugikan. Bahkan
segelintir orang mengatakan bahwa korupsi lebih sadis daripada terorisme!
Sementara investor asing? Sudah sangat jelas bahwa
Indonesia masih sangat membutuhkan investor asing dalam pembangunan negara ini.
Sebagai negara berkembang tentunya Indonesia banyak memiliki keterbatasan
pendanaan, sumber daya manusia dan fasilitas. Dan untuk menyokong laju
pertumbuhan ekonomi di negara ini, pemerintah harus membuka lapangan pekerjaan
seluas mungkin. Dengan demikian, peran investor asing sangat dibutuhkan.
Apalagi jika bicara mengenai sumber daya alam,
khususnya minyak dan gas, sudah jelas bahwa Indonesia masih bergantung pada
keberadaan investor asing. Letak blok-blok migas yang semakin bergeser kea rah
timur Indonesia menyebabkan blok-blok tersebut
berada di daerah terpencil yang minim infrastruktur dan memakan biaya
mahal. Belum lagi jika letaknya di laut dalam. Walhasil biayanya berkali-kali
lipat.
Apakah investor lokal sanggup membiayainya? Kita
harus berpikir dua kali karena kegiatan eksplorasi sama sekali tidak ditanggung
pemerintah. Dengan demikian segala resiko ada di tangan investor. Jika
keadaannya demikian, masihkah kita berteriak-teriak anti asing demi
nasionalisme yang kebablasan itu? Apakah kita sibuk menolak investor asing
sementara Indonesia sudah dihadapkan pada krisis energi saat ini? Siapkah
masyarakat menanggung biaya hidup berkali-kali lipat akibat kenaikan harga BBM
dan listrik akibat tingginya angka impor? Jawabannya tentu tidak atau belum. Tingkat pendapatan per kapita Indonesia belum siap untuk itu. Maka dari itulah kita
harus menyadari bahwa inilah waktu yang tepat untuk belajar pada investor
asing, agar kelak di masa mendatang Indonesia bisa mandiri.

No comments:
Post a Comment