Friday, 4 April 2014

Jokowi vs Prabowo Menuju Kursi Presiden Indonesia

Dalam beberapa bulan mendatang, Indonesia akan mengadakan penghelatan politik akbar lima tahun sekali, yaitu Pemilihan Presiden (Pilpres) secara langsung. Meski masih dalam hitungan bulan, sejumlah tokoh-tokoh masyarakat telah digadang-gadang untuk melangkah menjadi Presiden Republik Indonesia, dikenal dengan sebutan RI-1.
Sejumlah partai pun telah mendeklarasikan tokoh jagoannya, misalnya Joko Widodo dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Wiranto dari Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) dan juga Prabowo Subiyanto dari Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Sedangkan Partai Demokrat yang tengah berkuasa saat ini masih sibuk mempersiapkan konvensi pemilihan calon presiden yang mewakili partainya. Terdapat sejumlah tokoh-tokoh terkenal yang diajukan oleh partai berwarna biru itu, misalnya Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan, mantan Menteri Perdagangan Gita Wirjawan, mantan Duta Besar RI untuk Amerika Serikat Dino Patti Djalal dan juga mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD) Pramono Edhie Wibowo.
Dari sejumlah sibuknya para capres mempersiapkan Pemilu pada Juli mendatang, perang urat antara Prabowo dan Jokowi tampak mengemuka. Maklum saja, Prabowo merasa PDIP ingkar janji. Sebelumnya Prabowo dan Ketua Umum PDIP Megawati pernah melakukan kesepakatan dan menandatangani perjanjian yang terkenal dengan sebutan Perjanjian Batu Tulis. Dalam perjanjian itu disebutkan bahwa Megawati bakal mendukung Prabowo sebagai calon presiden pada Pemilu 2014. Namun belakangan PDIP menganggap bahwa perjanjian itu sudah tak berlaku dan malah menjagokan Jokowi sebagai representasi partainya. Prabowo meradang.
Entah bagaimana pula jalan Jokowi sebagai RI-1 semakin terjal. Batu-baru ini tim advokasi Jakarta Baru—slogan kampanye yang digunakan Jokowi-Basuki Tjahaja Purnama dalam pemilihan Gubernur DKI—menyatakan akan menggugat Jokowi ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pencalonan Jokowi dalam pemilu presiden dinilai melanggar hukum karena meninggalkan tanggung jawabnya sebagai Gubernur DKI. Seharusnya Jokowi bertahan memimpin Jakarta selama lima tahun. Jokowi dinilai tak memenuhi janji-janji yang diucapkannya saat berkampanye.
Lepas dari kampanye hitam dari sejumlah calon presiden ini, harus diakui nama Prabowo dan Jokowi sangat mendominasi bursa capres periode ini. Jokowi dinilai berpeluang besar untuk menjadi RI-1 karena masyarakat sudah bosan dengan tokoh birokrat. Sementara hobby Jokowi yang sering kali blusukan menyebabkan dirinya dapat mengenal masyarakat secara langsung. Banyak pihak yang mengatakan bahwa Jokowi adalah capres terbaik. Meski demikian pencalonanannya melalui jalur PDIP dikhawatirkan akan membuat Jokowi hanya sebagai presiden boneka. Dimana Megawati lah yang menjadi presiden sebenarnya.
Sementara Prabowo, dengan isu nasionalisasi yang dihembuskannya juga tak kalah menariknya bagi masyarakat Indonesia yang tengah “demam” nasionalisasi. Apa-apa yang mengandung nasionalisasi ditelan mentah-mentah dan dinilai bagus. Meski demikian, Prabowo memiliki sedikit sandungan. Entah benar atau tidak, Prabowo sering kali disinyalir terlibat dalam hiruk pikuk perpolitikan Indonesia pada tahun 1998.
Seorang pengamat bidang energi menilai, jika Indonesia menginginkan adanya gebrakan dalam kebijakan energi, maka masyarakat dapat berharap pada Prabowo. Meski dinilai nasionalis, namun Prabowo dinilai memiliki intuisi bisnis sehingga segala kebijakan yang diambil tidak hanya mempertimbangkan popularitas saja.
Sementara Jokowi yang dikhawatirkan dibayangi oleh Megawati ini, ditakutkan tidak memiliki kebijakan yang signifikan. Padahal Indonesia memiliki sejumlah pekerjaan rumah di bidang energi yang bersifat emergency dan harus diputuskan segera. Misalnya saja perpanjangan blok-blok migas, seperti Mahakam dan Masela, nasib pengelolaan Blok Natuna, pembangunan kilang baru yang membutuhkan insentif, dan masih banyak daftar lainnya.
Meski demikian kekhawatiran akan Jokowi menjadi presiden boneka sebenarnya bisa dibantah. Kita bisa melihat dari kasus penyediaan 200 truk sampah yang ditolak DPRD DKI Jakarta pada awal tahun ini.  Melihat fenomena itupun, Jokowi menilai bahwa penolakan pengadaan truk sampah tersebut tidak masuk akal. Tentunya, jika Jokowi tidak independen maka ia tidak akan memberikan komentar apapun terkait penolakan itu karena PDIP memiliki kursi yang lumayan di DPRD DKI Jakarta.

Bagaimanapun, siapapun presiden yang terpilih pada periode 2014-2019, republik ini membutuhkan sosok pemberani. Sosok yang berani mengambil keputusan secara cepat dan cermat dan tentu saja dapat diterima oleh pasar (market friendly).

No comments:

Post a Comment