Setelah sekian lama tak
jelas kabar beritanya, Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) kembali
menggodok masalah kontrak Blok Mahakam yang akan habis pada tahun 2017. Ini
merupakan kabar gembira karena ada titik terang di masa menjelang akan habisnya
masa pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono pada Oktober mendatang.
Kembali digodoknya
masalah Blok Mahakam ini adalah atas perintah Menteri Energi dan Sumber Daya
Mineral ad-interim Chairul Tanjung. Direktur Jenderal Migas dan
Kepala Satuan Khusus Kerjasama Migas diminta untuk membahasnya secara
intensive. Meski hanya pejabat sementara, CT punya wewenang untuk
menandatangani apapun keputusan yang terkait dengan sektor ESDM.
Tampaknya CT paham betul bahwa kasus
perpanjangan kontrak migas masih menjadi momok nomer satu di negeri ini.
Sejumlah kontrak kerja sama (KKS) mengalami ketidakpastian akibat terbentur
dengan kepastian perpanjangan dari pemerintah.
Pemerintah sendiri berjanji akan segera
mengeluarkan peraturan yang akan digunakan sebagai basis keputusan perpanjangan
kontrak blok migas. Ini tak hanya berlaku untuk Blok Mahakam saja, namun
sejumah blok yang akan habis dalam waktu dekat. Aturan tersebut diharapkan
selesai pada akhir September.
Tentu saja aturan tersebut telah ditungggu-tunggu
investor. Diharapkan, meski tipis kemungkinannya, kabinet saat ini segera
memberi keputusan melalui konsultasi dengan tim transisi
presiden terpilih Joko Widodo. Bukan tak mungkin buka jika akhirnya diputuskan
bahwa pemerintah saat ini dan pemerintah akan datang sepakat untuk
memperpanjang kontrak-kontrak blok migas saat ini. Tujuannya tentunya untuk
kemaslahatan bersama. Ujung-ujungnya negara juga yang akan diuntungkan karena
produksi blok-blok tersebut setidaknya bisa dipertahankan jika pemerintah
segera memberikan keputusan.
Keputusan mengenai kontrak pengelolaan migas di
Blok Mahakam memang harus secepatnya dibuat. Pasalnya makin cepat diputuskan,
maka pemerintah periode saat ini bisa mewariskan kebijakan yang tepat bagi pemerintah
periode selanjutnya. Dan tentu saja alur produksi Blok Mahakam menjadi tidak
terganggu karena adanya kepastian kontrak.
Blok Mahakam tersebut akan berakhir pada
2017. Total E&P Indonesie dan Inpex telah mengajukan perpanjangan blok
sejak tahun 2008. Namun hingga kini tidak ada kepastian mengenai perpanjangan,
meski jabatan Menteri ESDM telah berganti-ganti dari Purnomo Yusgiantoro,
Darwin Saleh, Jero Wacik dan kini CT.
Jika memang perpanjangan Kontrak Kerja Sama
bisa diberikan –dan peluangnya semakin lebar- jika suatu perusahaan telah
memiliki perjanjian jual beli gas, lalu mengapa pemerintah tidak bisa
menerapkannya pada Mahakam?
Keberadaan Mahakam dalam perekonomian
Indonesia juga sangat signifikan. Produksinya masih di kisaran 1,7 miliar kaki
kubik per hari. Dan Total saat ini menyuplai 80% kebutuhan gas kilang LNG
Bontang yang sebagian besar didedikasikan untuk ekspor ke negara Asia.
Berdasarkan kontrak, Bontang memiliki kewajiban untuk memasok LNG pada
konsorsium pembeli Jepang. Para pembeli Jepang itu antara lain, Kansai Electric
Power Company, Kyushu Electric Power Company, Chubu Electric Power Company,
Osaka Gas, Toho Gas Company, dan Nippon Steel.
Awalnya, Jepang meminta 25 juta ton per tahun
dalam perpanjangan kontrak jual beli gas yang habis pada tahun 2010 tersebut
-diambil dari Kilang Arun dan Bontang-. Namun, kebutuhan dalam negeri meningkat
pesat, sehingga Indonesia hanya bisa memenuhi 3 juta ton per tahun selama
2010-2014 dan 2 juta ton per tahun selama 2015-2019. Harga gas alam cair
(Liquified Natural Gas) dari Kilang Bontang, Kalimantan Timur untuk
perpanjangan ekspor ke Jepang lebih dari US$ 18 per mmbtu, dengan asumsi harga
minyak mentah US$ 110.
Dengan adanya kepastian pembelian hingga
tahun 2018, dengan harga yang bagus pula, tentunya tidak ada alasan bagi
pemerintah untuk tidak memperpanjang Blok Mahakam. Dan mengingat bagaimana
signifikannya arti Mahakam bagi roda perekonomian negeri ini, sebaiknya
pemerintah berhati-hati dalam menyikapi penentuan operator di blok tersebut.
Jangan sampai produksinya merosot karena ada pengalihan operatorship. Bisa
dibayangkan, jikalau produksi Mahakam merosot tajam pasca pengalihan, akan
berapa besar kerugian yang dirasakan pemerintah. Ujung-ujungnya Indonesia juga
yang akan rugi.
Dalam pengelolaan itu, pemerintah dapat juga
melibatkan Pertamina dalam masa transisi lima tahun pertama. Ini akan menjadi
masa transisi yang sangat baik bagi Pertamina agar pada suatu saat nanti dapat
mengelola blok itu sendiri. Maklum saja, blok ini memiliki kesulitan yang cukup
besar sehingga dibutuhkan modal, sumber daya manusia dan teknologi.

No comments:
Post a Comment