Monday, 15 September 2014

Masalah Kontrak Blok Mahakam Kembali Digodok

Setelah sekian lama tak jelas kabar beritanya, Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) kembali menggodok masalah kontrak Blok Mahakam yang akan habis pada tahun 2017. Ini merupakan kabar gembira karena ada titik terang di masa menjelang akan habisnya masa pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono pada Oktober mendatang.

Kembali digodoknya masalah Blok Mahakam ini adalah atas perintah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral ad-interim Chairul Tanjung. Direktur Jenderal Migas dan Kepala Satuan Khusus Kerjasama Migas diminta untuk membahasnya secara intensive. Meski hanya pejabat sementara, CT punya wewenang untuk menandatangani apapun keputusan yang terkait dengan sektor ESDM.

Tampaknya CT paham betul bahwa kasus perpanjangan kontrak migas masih menjadi momok nomer satu di negeri ini. Sejumlah kontrak kerja sama (KKS) mengalami ketidakpastian akibat terbentur dengan kepastian perpanjangan dari pemerintah.

Pemerintah sendiri berjanji akan segera mengeluarkan peraturan yang akan digunakan sebagai basis keputusan perpanjangan kontrak blok migas. Ini tak hanya berlaku untuk Blok Mahakam saja, namun sejumah blok yang akan habis dalam waktu dekat. Aturan tersebut diharapkan selesai pada akhir September.

Tentu saja aturan tersebut telah ditungggu-tunggu investor. Diharapkan, meski tipis kemungkinannya, kabinet saat ini segera memberi keputusan melalui konsultasi dengan tim transisi presiden terpilih Joko Widodo. Bukan tak mungkin buka jika akhirnya diputuskan bahwa pemerintah saat ini dan pemerintah akan datang sepakat untuk memperpanjang kontrak-kontrak blok migas saat ini. Tujuannya tentunya untuk kemaslahatan bersama. Ujung-ujungnya negara juga yang akan diuntungkan karena produksi blok-blok tersebut setidaknya bisa dipertahankan jika pemerintah segera memberikan keputusan.

Keputusan mengenai kontrak pengelolaan migas di Blok Mahakam memang harus secepatnya dibuat. Pasalnya makin cepat diputuskan, maka pemerintah periode saat ini bisa mewariskan kebijakan yang tepat bagi pemerintah periode selanjutnya. Dan tentu saja alur produksi Blok Mahakam menjadi tidak terganggu karena adanya kepastian kontrak.

Blok Mahakam tersebut akan berakhir pada 2017. Total E&P Indonesie dan Inpex telah mengajukan perpanjangan blok sejak tahun 2008. Namun hingga kini tidak ada kepastian mengenai perpanjangan, meski jabatan Menteri ESDM telah berganti-ganti dari Purnomo Yusgiantoro, Darwin Saleh, Jero Wacik dan kini CT.

Jika memang perpanjangan Kontrak Kerja Sama bisa diberikan –dan peluangnya semakin lebar- jika suatu perusahaan telah memiliki perjanjian jual beli gas, lalu mengapa pemerintah tidak bisa menerapkannya pada Mahakam?

Keberadaan Mahakam dalam perekonomian Indonesia juga sangat signifikan. Produksinya masih di kisaran 1,7 miliar kaki kubik per hari. Dan Total saat ini menyuplai 80% kebutuhan gas kilang LNG Bontang yang sebagian besar didedikasikan untuk ekspor ke negara Asia. Berdasarkan kontrak, Bontang memiliki kewajiban untuk memasok LNG pada konsorsium pembeli Jepang. Para pembeli Jepang itu antara lain, Kansai Electric Power Company, Kyushu Electric Power Company, Chubu Electric Power Company, Osaka Gas, Toho Gas Company, dan Nippon Steel.

Awalnya, Jepang meminta 25 juta ton per tahun dalam perpanjangan kontrak jual beli gas yang habis pada tahun 2010 tersebut -diambil dari Kilang Arun dan Bontang-. Namun, kebutuhan dalam negeri meningkat pesat, sehingga Indonesia hanya bisa memenuhi 3 juta ton per tahun selama 2010-2014 dan 2 juta ton per tahun selama 2015-2019. Harga gas alam cair (Liquified Natural Gas) dari Kilang Bontang, Kalimantan Timur untuk perpanjangan ekspor ke Jepang lebih dari US$ 18 per mmbtu, dengan asumsi harga minyak mentah US$ 110.


Dengan adanya kepastian pembelian hingga tahun 2018, dengan harga yang bagus pula, tentunya tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak memperpanjang Blok Mahakam. Dan mengingat bagaimana signifikannya arti Mahakam bagi roda perekonomian negeri ini, sebaiknya pemerintah berhati-hati dalam menyikapi penentuan operator di blok tersebut. Jangan sampai produksinya merosot karena ada pengalihan operatorship. Bisa dibayangkan, jikalau produksi Mahakam merosot tajam pasca pengalihan, akan berapa besar kerugian yang dirasakan pemerintah. Ujung-ujungnya Indonesia juga yang akan rugi.


Dalam pengelolaan itu, pemerintah dapat juga melibatkan Pertamina dalam masa transisi lima tahun pertama. Ini akan menjadi masa transisi yang sangat baik bagi Pertamina agar pada suatu saat nanti dapat mengelola blok itu sendiri. Maklum saja, blok ini memiliki kesulitan yang cukup besar sehingga dibutuhkan modal, sumber daya manusia dan teknologi.

No comments:

Post a Comment