Produksi gas Indonesia di masa mendatang patut
dikhawatirkan menyusul banyaknya proyek migas yang masih belum terpecahkan.
Selain Blok Mahakam, dan Blok Masela yang saat ini belum jelas nasib kontraknya
terkait masalah perpanjangan, proyek Indonesian Deepwater Development (IDD) di
Selat Makassar milik Chevron juga tak jelas.
Padahal sebelumnya, setelah Chairul Tanjung
didapuk sebagai Menteri Koordinator Perekonomian, terlihat ada titik cerah
dalam pengembangan proyek tersebut. Pasalnya pemerintah mentargetkan masalah
perizinan yang dibutuhkan dapat diselesaikan sehingga produksi gas dari proyek
tersebut bisa dimulai pada tahun 2016, dua tahun lebih cepat dari perkiraan
proyek yang akan molor ke tahun 2018.
Keputusan itu diambil setelah Chairul Tanjung
–akrab dipanggil dengan CT- mendengar keluhan Chevron yang merasa kesulitan
untuk berinvestasi sebesar $12 miliar, padahal ijin sudah disampaikan sejak
2008. Maka 30 Mei 2014, Chairul Tanjung mengelar rapat koordinasi tersebut yang
melibatkan sejumlah instansi terkait, seperti Kementerian Energi Sumber Daya
Mineral (ESDM), Badan Koordinas Penanaman Modal (BKPM), Satuan Khusus Kerja
Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas), dan Kementerian Keuangan, serta BPKP.
Namun nyatanya hal tersebut tak semudah membalikkan telapak
tangan.
Saat ini SKK Migas, Chevron, Pertamina yang
ditunjuk sebagai penjual gasnya dan juga PT Badak yang akan memproses gasnya
menjadi LNG tengah membahas hal yang alot. Alotnya hal tersebut terkait dengan
biaya pemrosesan di PT Badak. Kementrian Keuangan menilai angka yang diajukan
tersebut terlampau murah sehingga dapat mengurangi bagian negara. Padahal
menurut sejumlah pihak tersebut, jika nilai pemrosesan Kemenkeu yang dipakai,
maka nilai proyek menjadi tidak ekonomis. Akibatnya proyek pengembangan IDD
bisa terhambat. Nah!
Hingga kini diskusi mengenai pengembangan IDD
masih alot dan sulit mencai titik temu. Dan tampaknya pemerintah sekarang tidak
akan berani mengambil keputusan. Mau tak mau, pemerintahan Jokowi lah yang
harus turun tangan mengurusi hal tersebut.
Tentunya sudah menjadi rahasia publik bahwa
proyek IDD adalah salah satu proyek yang menjadi andalan produksi gas Indonesia
di masa mendatang. Proyek tersebut seharusnya sudah mulai berproduksi pada 2015
namun terhambat masalah perijinan karena adanya pembengkakan nilai proyek
hampir 100 persen dari sebelumnya $6,9 miliar menjadi $12 miliar. Perubahan
angka investasi tersebut terkait dengan lamanya proses perizinan, perubahan
kurs dan biaya eksplorasi dari pengajuan awal pada 2008.
Namun angka tersebut tidak serta merta
disetujui karena terkait dengan mekanisme cost recovery yang dianut Indonesia.
Melalui mekanisme ini, maka pemerintah harus mengganti uang investasi yang
dikeluarkan oleh investor. Maka dari itulah persetujuan perubahan plan of
development menjadi terganjal. SKK Migas meminta pihak ESDM untuk memberikan
persetujuan namun hal tersebut tak kunjung keluar. Padahal 2015 sudah di depan
mata.
Sebenarnya masalah ini tak hanya terjadi di
IDD, namun juga proyek migas lain yang membutuhkan persetujuan pemerintah
dengan cepat. Sebut saja, proyek hulu yang dimotori oleh Pertamina, yaitu Blok
East Natuna. Proyek pengerjaan gas di Blok East Natuna tersebut akan menjadi
proyek gas besar di Indonesia, selain Blok Masela di Maluku. Masalahnya proyek
yang digadang-gadang sebagai salah satu pemasok gas andalan Indonesia di masa
mendatang itu hingga kini terkatung-katung, padahal rencana awalnya Natuna
diharapkan bisa mulai konstruksi tahun ini sehingga produksi awal diperkirakan
tahun 2018.
Namun apa daya, proyek tersebut masih
mengalami kendala dengan terganjalnya insentif yang belum keluar dari
Kementerian Keuangan. Salah satu insentif yang masih mengganjal adalah insentif
pembebasan pajak (tax holiday) selama lima tahun yang diminta oleh konsorsium
Blok East Natuna. Permintaan tax holiday yang diminta oleh konsorsium betujuan
agar proyek dapat mencapai internal rate of return (IRR) 12 persen. Namun
hingga kini Kementrian Keuangan belum mengabulkan proposal tersebut karena
menganggap tax holiday dalam industri migas sudah masuk dalam cost recovery.
Tanpa adanya persetujuan dari Kementrian
Keuangan, maka Kontrak Kerja Sama Blok East Natuna antara Pertamina dan
pemerintah tidak dapat ditandatangani. Molornya penandantangan tersebut juga
akan mengakibatkan mundurnya pengerjaan proyek blok ini. Kini, nasib proyek
tersebut masih terkatung-katung menanti kejelasan Kementerian Keuangan terkait
insentif.
Selain Natuna, juga ada Blok Mahakam yang
hingga kini masalah perpanjangan kontraknya yang akan habis tahun 2017 belum
jelas. Padahal proposalnya juga diajukan pada tahun 2008. Total dan Inpex juga
komit untuk menanamkan modal sebesar $7,3 miliar hingga 2017.
Saat ini Total E&P menginjeksikan dana
sebesar US$ 2,5 miliar per tahun untuk menahan laju penurunan produksi yang
bisa mencapai 50 persen per tahun. Pada tahun ini, Mahakam diperkirakan bisa
memproduksi di level 1,6-1,7 miliar kaki kubik per hari. Sedangkan pada tahun
lalu, blok yang terletak di Kalimantan Timur itu berhasil memproduksi 11 persen
di atas target yang ditetapkan bersama SKK Migas.
Total sendiri bukan tidak menyadari
pentingnya Pertamina untuk hadir dalam pengelolaan Mahakam pasca 2017. Maka
dalam proposalnya, Total mengajukan joint operatorship selama masa transisi
lima tahun pertama. Di masa transisi itulah otal akan mentransfer ilmunya
sehingga Pertamina dapat mengoperasikan Mahakam sendiri pada suatu saat.
Belajar dari kasus-kasus di atas, tampak
jelas bahwa pemerintah terlihat sangat rigid dalam memperhitungan revenue bagi
negara, namun sayangnya hal tersebut hanya dilihat dalam jangka pendek. Padahal
sudah selayaknya suatu proyek itu dilihat dalam jangka panjang untuk menilai
ekonomis atau tidaknya untuk dikembangkan.


No comments:
Post a Comment