Thursday, 11 September 2014

Pengembangan Proyek IDD Chevron Masih Tanda Tanya

Produksi gas Indonesia di masa mendatang patut dikhawatirkan menyusul banyaknya proyek migas yang masih belum terpecahkan. Selain Blok Mahakam, dan Blok Masela yang saat ini belum jelas nasib kontraknya terkait masalah perpanjangan, proyek Indonesian Deepwater Development (IDD) di Selat Makassar milik Chevron juga tak jelas.

Padahal sebelumnya, setelah Chairul Tanjung didapuk sebagai Menteri Koordinator Perekonomian, terlihat ada titik cerah dalam pengembangan proyek tersebut. Pasalnya pemerintah mentargetkan masalah perizinan yang dibutuhkan dapat diselesaikan sehingga produksi gas dari proyek tersebut bisa dimulai pada tahun 2016, dua tahun lebih cepat dari perkiraan proyek yang akan molor ke tahun 2018.

Keputusan itu diambil setelah Chairul Tanjung –akrab dipanggil dengan CT- mendengar keluhan Chevron yang merasa kesulitan untuk berinvestasi sebesar $12 miliar, padahal ijin sudah disampaikan sejak 2008. Maka 30 Mei 2014, Chairul Tanjung mengelar rapat koordinasi tersebut yang melibatkan sejumlah instansi terkait, seperti Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Badan Koordinas Penanaman Modal (BKPM), Satuan Khusus Kerja Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas), dan Kementerian Keuangan, serta BPKP. Namun nyatanya hal tersebut tak semudah membalikkan telapak tangan.

Saat ini SKK Migas, Chevron, Pertamina yang ditunjuk sebagai penjual gasnya dan juga PT Badak yang akan memproses gasnya menjadi LNG tengah membahas hal yang alot. Alotnya hal tersebut terkait dengan biaya pemrosesan di PT Badak. Kementrian Keuangan menilai angka yang diajukan tersebut terlampau murah sehingga dapat mengurangi bagian negara. Padahal menurut sejumlah pihak tersebut, jika nilai pemrosesan Kemenkeu yang dipakai, maka nilai proyek menjadi tidak ekonomis. Akibatnya proyek pengembangan IDD bisa terhambat. Nah!

Hingga kini diskusi mengenai pengembangan IDD masih alot dan sulit mencai titik temu. Dan tampaknya pemerintah sekarang tidak akan berani mengambil keputusan. Mau tak mau, pemerintahan Jokowi lah yang harus turun tangan mengurusi hal tersebut.

Tentunya sudah menjadi rahasia publik bahwa proyek IDD adalah salah satu proyek yang menjadi andalan produksi gas Indonesia di masa mendatang. Proyek tersebut seharusnya sudah mulai berproduksi pada 2015 namun terhambat masalah perijinan karena adanya pembengkakan nilai proyek hampir 100 persen dari sebelumnya $6,9 miliar menjadi $12 miliar. Perubahan angka investasi tersebut terkait dengan lamanya proses perizinan, perubahan kurs dan biaya eksplorasi dari pengajuan awal pada 2008.

Namun angka tersebut tidak serta merta disetujui karena terkait dengan mekanisme cost recovery yang dianut Indonesia. Melalui mekanisme ini, maka pemerintah harus mengganti uang investasi yang dikeluarkan oleh investor. Maka dari itulah persetujuan perubahan plan of development menjadi terganjal. SKK Migas meminta pihak ESDM untuk memberikan persetujuan namun hal tersebut tak kunjung keluar. Padahal 2015 sudah di depan mata.

Sebenarnya masalah ini tak hanya terjadi di IDD, namun juga proyek migas lain yang membutuhkan persetujuan pemerintah dengan cepat. Sebut saja, proyek hulu yang dimotori oleh Pertamina, yaitu Blok East Natuna. Proyek pengerjaan gas di Blok East Natuna tersebut akan menjadi proyek gas besar di Indonesia, selain Blok Masela di Maluku. Masalahnya proyek yang digadang-gadang sebagai salah satu pemasok gas andalan Indonesia di masa mendatang itu hingga kini terkatung-katung, padahal rencana awalnya Natuna diharapkan bisa mulai konstruksi tahun ini sehingga produksi awal diperkirakan tahun 2018.

Namun apa daya, proyek tersebut masih mengalami kendala dengan terganjalnya insentif yang belum keluar dari Kementerian Keuangan. Salah satu insentif yang masih mengganjal adalah insentif pembebasan pajak (tax holiday) selama lima tahun yang diminta oleh konsorsium Blok East Natuna. Permintaan tax holiday yang diminta oleh konsorsium betujuan agar proyek dapat mencapai internal rate of return (IRR) 12 persen. Namun hingga kini Kementrian Keuangan belum mengabulkan proposal tersebut karena menganggap tax holiday dalam industri migas sudah masuk dalam cost recovery.

Tanpa adanya persetujuan dari Kementrian Keuangan, maka Kontrak Kerja Sama Blok East Natuna antara Pertamina dan pemerintah tidak dapat ditandatangani. Molornya penandantangan tersebut juga akan mengakibatkan mundurnya pengerjaan proyek blok ini. Kini, nasib proyek tersebut masih terkatung-katung menanti kejelasan Kementerian Keuangan terkait insentif.

Selain Natuna, juga ada Blok Mahakam yang hingga kini masalah perpanjangan kontraknya yang akan habis tahun 2017 belum jelas. Padahal proposalnya juga diajukan pada tahun 2008. Total dan Inpex juga komit untuk menanamkan modal sebesar $7,3 miliar hingga 2017.

Saat ini Total E&P menginjeksikan dana sebesar US$ 2,5 miliar per tahun untuk menahan laju penurunan produksi yang bisa mencapai 50 persen per tahun. Pada tahun ini, Mahakam diperkirakan bisa memproduksi di level 1,6-1,7 miliar kaki kubik per hari. Sedangkan pada tahun lalu, blok yang terletak di Kalimantan Timur itu berhasil memproduksi 11 persen di atas target yang ditetapkan bersama SKK Migas.

Total sendiri bukan tidak menyadari pentingnya Pertamina untuk hadir dalam pengelolaan Mahakam pasca 2017. Maka dalam proposalnya, Total mengajukan joint operatorship selama masa transisi lima tahun pertama. Di masa transisi itulah otal akan mentransfer ilmunya sehingga Pertamina dapat mengoperasikan Mahakam sendiri pada suatu saat.


Belajar dari kasus-kasus di atas, tampak jelas bahwa pemerintah terlihat sangat rigid dalam memperhitungan revenue bagi negara, namun sayangnya hal tersebut hanya dilihat dalam jangka pendek. Padahal sudah selayaknya suatu proyek itu dilihat dalam jangka panjang untuk menilai ekonomis atau tidaknya untuk dikembangkan.

No comments:

Post a Comment