Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara resmi
telah menetapkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik
sebagai tersangka. Kasus yang menimpa mantan Menteri Pariwisata itu adalah
pemerasan dan penyalahgunaan wewenang. Diduga ada dana yang diperoleh dari
penyalahgunaan kewenangan itu mencapai Rp 9,9 miliar.
KPK menemukan indikasi pemerasan terkait dengan
proyek tersebut. KPK telah melakukan ekspose atau gelar perkara terkait dugaan
keterlibatan Jero dalam proyek pengadaan di Kementerian ESDM tersebut.
Penyelidikan terhadap Wacik ini tak lepas dari
kasus-kasus korupsi di sektor migas sebelumnya, yaitu proyek pengadaan di
Kementerian ESDM yang merupakan hasil pengembangan proses penyidikan kasus
dugaan korupsi pengadaan di Sekretariat Jenderal ESDM yang menjerat mantan
Sekretaris Jenderal ESDM Waryono Karno.
Jero diduga mengarahkan mantan Sekretaris Jenderal
Kementerian ESDM, Waryono Karno untuk belajar soal pengelolaan anggaran ke
kementerian atau lembaga lain.
Sebab, anggaran dana operasional menteri di
Kementerian ESDM diduga dinilai kecil di mata Jero. Penyelidik KPK juga sudah
meminta keterangan sejumlah pihak mengenai korupsi yang diduga terkait dengan
pengadaan kegiatan di Kementerian ESDM tahun anggaran 2011-2013.
Menurut KPK, Waryono Karno diduga melakukan
penyalahgunaan wewenang terkait penggunaan anggaran di Kesetjenan ESDM pada
tahun 2012 sebesar Rp 25 miliar yang terdiri atas sejumlah pengadaan barang dan
jasa. Dia ditengarai merugikan keuangan negara sebesar Rp 9,8 miliar.
Satu demi satu kebusukan di sektor ESDM terungkap
setelah babak pertama dibuka oleh mantan Kepala Satuan Kerja Khusus Usaha Hulu
Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Rudi Rubiandini pada tahun 2013. Rudi
telah divonis tujuh tahun dan denda Rp200 juta atas kasus penerimaan suap dan
pencucian uang. KPK menilai Rudi terbukti telah menerima
menerima uang dari Komisaris Utama Kernel Oil Singapura Widodo Ratanachaitong sebesar
SG$ 200 ribu dan US$ 900 ribu. Uang tersebut diberikan terkait dengan
pelaksanaan lelang terbatas minyak mentah dan kondensat yang diikuti perusahaan
milik Widodo.
Rudi juga menerima uang US$ 522.500 dari
Presiden Direktur PT Kaltim Parna Industri, Artha Meris Simbolon dengan maksud
agar Rudi memberikan rekomendasi atau persetujuan untuk menurunkan formula
harga gas untuk PT KPI. Selain itu Rudi juga menerima dari Wakil Kepala SKK
Migas saat itu Yohanes Widjonarko (SG$ 600 ribu), Deputi Pengendalian Bisnis
SKK Migas Gerhard Marteen Rumeser US$ 350 ribu, dan Kepala Divisi Penunjang
Operasi Iwan Ratman sebesar US$ 50 ribu.
Selain itu, jaksa KPK meyakini Rudi melakukan
pidana pencucian uang pada 11 Januari 2013-13 Agustus 2013. Modusnya dengan
mentransfer, membayarkan, membelanjakan dan menukarkan mata uang.
Meski demikian, penetapan Jero Wacik sebagai
tersangka diperkirakan tidak berpengaruh banyak pada keputusan-keputusan
strategis sektor ESDM. Pasalnya pemerintahan saat ini akan segera berakhir pada
Oktober 2014. Apalagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah mengeluarkan
maklumat yang melarang para menteri untuk mengeluarkan kebijakan strategis
dalam masa pemerintahan yang pendek ini.
Hal ini berbeda dengan penangkapan Rudi Rubiandini.
Saat itu pemerintahan masih memiliki kekuasaan yang agak lama sehingga
menimbulkan ketakutan para pejabat untuk mengambil keputusan.
Dalam kasus korupsi ini kita bisa melihat
bagaimana kekuasaan berpeluang terhadap tindak pidana korupsi. Sebuah
tandatangan atau persetujuan saja bisa menghasilkan miliaran rupiah. Semua bisa
didapat dengan mudah. Bayangkan, berapa miliar rupiah yang berseliweran di
tangan koruptor hanya untuk sebagai upeti atas kebijakan-kebijakan yang akan
diambil dan menguntungkan segelintir orang.
Korupsi sebagai tindakan kriminal tidak hanya
menimbulkan dampak terhadap kerugian uang negara, tetapi juga memberikan dampak
secara tidak langsung terhadap rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat.
Pasalnya jika saja uang tersebut digunakan untuk kemakmuran negara ini tentunya
ada banyak manusia di negara ini yang tertolong dari lingkaran kemiskinan,
pendidikan yang layak dan pengobatan gratis.
Dan lagi, ternyata maraknya kasus korupsi di
Indonesia menyebabkan banyak investor asing yang mempertanyakan soal kepastian
hukum di Indonesia khususnya dalam memberantas korupsi. Hal ini tentu saja akan
mempengaruhi niat bisnis asing di dalam negeri. Banyak investor asing yang
takut menanamkan modalnya disini karena terkait dengan kasus korupsi dan
ketidakpastian hukum.
Jadi jelas sudah bagaimana bahayanya gurita
korupsi di Indonesia. Jelas sudah bahwa musuh nomer satu di negara ini tindak
pidana korupsi, bukan investor asing seperti yang didengung-dengungkan oleh
banyak pihak yang anti asing. Mungkin kita harus arif dalam melihat kondisi ini
bahwa korupsi menggerogoti negara ini dan jelas dampaknya sangat merugikan.
Bahkan segelintir orang mengatakan bahwa korupsi lebih sadis daripada
terorisme!
Sementara investor asing? Sudah sangat jelas
bahwa Indonesia masih sangat membutuhkan investor asing dalam pembangunan
negara ini. Sebagai negara berkembang tentunya Indonesia banyak memiliki
keterbatasan pendanaan, sumber daya manusia dan fasilitas. Dan untuk menyokong
laju pertumbuhan ekonomi di negara ini, pemerintah harus membuka lapangan
pekerjaan seluas mungkin. Dengan demikian, peran investor asing sangat
dibutuhkan.
Apalagi jika bicara mengenai sumber daya
alam, khususnya minyak dan gas, sudah jelas bahwa Indonesia masih bergantung
pada keberadaan investor asing. Letak blok-blok migas yang semakin bergeser kea
rah timur Indonesia menyebabkan blok-blok tersebut berada di daerah
terpencil yang minim infrastruktur dan memakan biaya mahal. Belum lagi jika
letaknya di laut dalam. Walhasil biayanya berkali-kali lipat.
Apakah investor lokal sanggup membiayainya?
Kita harus berpikir dua kali karena kegiatan eksplorasi sama sekali tidak
ditanggung pemerintah. Dengan demikian segala resiko ada di tangan investor.
Jika keadaannya demikian, masihkah kita berteriak-teriak anti asing demi
nasionalisme yang kebablasan itu? Apakah kita sibuk menolak investor asing
sementara Indonesia sudah dihadapkan pada krisis energi saat ini? Siapkah
masyarakat menanggung biaya hidup berkali-kali lipat akibat kenaikan harga BBM
dan listrik akibat tingginya angka impor?
Jawabannya tentu tidak atau belum. Tingkat
pendapatan per kapita Indonesia belum siap untuk itu. Maka dari itulah kita
harus menyadari bahwa inilah waktu yang tepat untuk belajar pada investor
asing, agar kelak di masa mendatang Indonesia bisa mandiri.

No comments:
Post a Comment