Wednesday, 3 September 2014

Jero Wacik Jadi Tersangka, Sektor Migas Makin Suram

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara resmi telah menetapkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik sebagai tersangka. Kasus yang menimpa mantan Menteri Pariwisata itu adalah pemerasan dan penyalahgunaan wewenang. Diduga ada dana yang diperoleh dari penyalahgunaan kewenangan itu mencapai Rp 9,9 miliar.
KPK menemukan indikasi pemerasan terkait dengan proyek tersebut. KPK telah melakukan ekspose atau gelar perkara terkait dugaan keterlibatan Jero dalam proyek pengadaan di Kementerian ESDM tersebut.
Penyelidikan terhadap Wacik ini tak lepas dari kasus-kasus korupsi di sektor migas sebelumnya, yaitu proyek pengadaan di Kementerian ESDM yang merupakan hasil pengembangan proses penyidikan kasus dugaan korupsi pengadaan di Sekretariat Jenderal ESDM yang menjerat mantan Sekretaris Jenderal ESDM Waryono Karno.
Jero diduga mengarahkan mantan Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM, Waryono Karno untuk belajar soal pengelolaan anggaran ke kementerian atau lembaga lain. 

Sebab, anggaran dana operasional menteri di Kementerian ESDM diduga dinilai kecil di mata Jero. Penyelidik KPK juga sudah meminta keterangan sejumlah pihak mengenai korupsi yang diduga terkait dengan pengadaan kegiatan di Kementerian ESDM tahun anggaran 2011-2013.
Menurut KPK, Waryono Karno diduga melakukan penyalahgunaan wewenang terkait penggunaan anggaran di Kesetjenan ESDM pada tahun 2012 sebesar Rp 25 miliar yang terdiri atas sejumlah pengadaan barang dan jasa. Dia ditengarai merugikan keuangan negara sebesar Rp 9,8 miliar.
Satu demi satu kebusukan di sektor ESDM terungkap setelah babak pertama dibuka oleh mantan Kepala Satuan Kerja Khusus Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Rudi Rubiandini pada tahun 2013. Rudi telah divonis tujuh tahun dan denda Rp200 juta atas kasus penerimaan suap dan pencucian uang. KPK menilai Rudi terbukti telah menerima menerima uang dari Komisaris Utama Kernel Oil Singapura Widodo Ratanachaitong sebesar SG$ 200 ribu dan US$ 900 ribu. Uang tersebut diberikan terkait dengan pelaksanaan lelang terbatas minyak mentah dan kondensat yang diikuti perusahaan milik Widodo.

Rudi juga menerima uang US$ 522.500 dari Presiden Direktur PT Kaltim Parna Industri, Artha Meris Simbolon dengan maksud agar Rudi memberikan rekomendasi atau persetujuan untuk menurunkan formula harga gas untuk PT KPI. Selain itu Rudi juga menerima dari Wakil Kepala SKK Migas saat itu Yohanes Widjonarko (SG$ 600 ribu), Deputi Pengendalian Bisnis SKK Migas Gerhard Marteen Rumeser US$ 350 ribu, dan Kepala Divisi Penunjang Operasi Iwan Ratman sebesar US$ 50 ribu.

Selain itu, jaksa KPK meyakini Rudi melakukan pidana pencucian uang pada 11 Januari 2013-13 Agustus 2013. Modusnya dengan mentransfer, membayarkan, membelanjakan dan menukarkan mata uang.

Meski demikian, penetapan Jero Wacik sebagai tersangka diperkirakan tidak berpengaruh banyak pada keputusan-keputusan strategis sektor ESDM. Pasalnya pemerintahan saat ini akan segera berakhir pada Oktober 2014. Apalagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah mengeluarkan maklumat yang melarang para menteri untuk mengeluarkan kebijakan strategis dalam masa pemerintahan yang pendek ini.
Hal ini berbeda dengan penangkapan Rudi Rubiandini. Saat itu pemerintahan masih memiliki kekuasaan yang agak lama sehingga menimbulkan ketakutan para pejabat untuk mengambil keputusan.
Dalam kasus korupsi ini kita bisa melihat bagaimana kekuasaan berpeluang terhadap tindak pidana korupsi. Sebuah tandatangan atau persetujuan saja bisa menghasilkan miliaran rupiah. Semua bisa didapat dengan mudah. Bayangkan, berapa miliar rupiah yang berseliweran di tangan koruptor hanya untuk sebagai upeti atas kebijakan-kebijakan yang akan diambil dan menguntungkan segelintir orang.

Korupsi sebagai tindakan kriminal tidak hanya menimbulkan dampak terhadap kerugian uang negara, tetapi juga memberikan dampak secara tidak langsung terhadap rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat. Pasalnya jika saja uang tersebut digunakan untuk kemakmuran negara ini tentunya ada banyak manusia di negara ini yang tertolong dari lingkaran kemiskinan, pendidikan yang layak dan pengobatan gratis.

Dan lagi, ternyata maraknya kasus korupsi di Indonesia menyebabkan banyak investor asing yang mempertanyakan soal kepastian hukum di Indonesia khususnya dalam memberantas korupsi. Hal ini tentu saja akan mempengaruhi niat bisnis asing di dalam negeri. Banyak investor asing yang takut menanamkan modalnya disini karena terkait dengan kasus korupsi dan ketidakpastian hukum.

Jadi jelas sudah bagaimana bahayanya gurita korupsi di Indonesia. Jelas sudah bahwa musuh nomer satu di negara ini tindak pidana korupsi, bukan investor asing seperti yang didengung-dengungkan oleh banyak pihak yang anti asing. Mungkin kita harus arif dalam melihat kondisi ini bahwa korupsi menggerogoti negara ini dan jelas dampaknya sangat merugikan. Bahkan segelintir orang mengatakan bahwa korupsi lebih sadis daripada terorisme!

Sementara investor asing? Sudah sangat jelas bahwa Indonesia masih sangat membutuhkan investor asing dalam pembangunan negara ini. Sebagai negara berkembang tentunya Indonesia banyak memiliki keterbatasan pendanaan, sumber daya manusia dan fasilitas. Dan untuk menyokong laju pertumbuhan ekonomi di negara ini, pemerintah harus membuka lapangan pekerjaan seluas mungkin. Dengan demikian, peran investor asing sangat dibutuhkan.

Apalagi jika bicara mengenai sumber daya alam, khususnya minyak dan gas, sudah jelas bahwa Indonesia masih bergantung pada keberadaan investor asing. Letak blok-blok migas yang semakin bergeser kea rah timur Indonesia menyebabkan blok-blok tersebut  berada di daerah terpencil yang minim infrastruktur dan memakan biaya mahal. Belum lagi jika letaknya di laut dalam. Walhasil biayanya berkali-kali lipat.

Apakah investor lokal sanggup membiayainya? Kita harus berpikir dua kali karena kegiatan eksplorasi sama sekali tidak ditanggung pemerintah. Dengan demikian segala resiko ada di tangan investor. Jika keadaannya demikian, masihkah kita berteriak-teriak anti asing demi nasionalisme yang kebablasan itu? Apakah kita sibuk menolak investor asing sementara Indonesia sudah dihadapkan pada krisis energi saat ini? Siapkah masyarakat menanggung biaya hidup berkali-kali lipat akibat kenaikan harga BBM dan listrik akibat tingginya angka impor?

Jawabannya tentu tidak atau belum. Tingkat pendapatan per kapita Indonesia belum siap untuk itu. Maka dari itulah kita harus menyadari bahwa inilah waktu yang tepat untuk belajar pada investor asing, agar kelak di masa mendatang Indonesia bisa mandiri.

No comments:

Post a Comment