![]() |
| merdeka.com |
Lagi, pemerintah Indonesia digugat perusahaan
tambang di forum arbitrase internasional terkait dengan kebijakan pelarangan
ekspor mineral. Kali ini gugatan tersebut dilayangkan oleh anak perusahaan asal
Amerika Serikat, PT Newmont Nusa Tenggara Nusa Tenggara (PTNNT) dan pemegang saham
mayoritasnya, Nusa Tenggara Partnership B.V, suatu badan usaha yang terdaftar
di Belanda.
Dalam gugatan arbitrase yang diajukan kepada the
International Center for the Settlement of Investment Disputes, PTNNT dan NTPBV
menyatakan maksudnya untuk memperoleh putusan sela yang mengizinkan PTNNT untuk
dapat melakukan ekspor konsentrat tembaga agar kegiatan tambang Batu Hijau dapat
dioperasikan kembali. Langkah itu diambil karena kebijakan yang dibuat
pemerintah Indonesia itu telah mengakibatkan dihentikannya kegiatan produksi di
tambang Batu Hijau dan menimbulkan kesulitan dan kerugian ekonomi terhadap para
karyawan PTNNT, kontraktor, dan para pemangku kepentingan lainnya.
Menurut Newmont, pengenaan ketentuan baru terkait
ekspor, bea keluar, serta larangan ekspor konsentrat tembaga yang akan dimulai
Januari 2017, yang diterapkan kepada PTNNT oleh Pemerintah tidak sesuai dengan
Kontrak Karya (KK) dan perjanjian investasi bilateral antara Indonesia dan
Belanda.
Pemerintah Indonesia sendiri tidak gentar atas
gugatan tersebut. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik
merasa yakin Pemerintah akan memenangkan kasus arbitrase yang dilayangkan
Newmont. Pasalnya Wacik percaya Undang-Undang Minerba pada 2009 saat ini bisa
menegakakn kebenaran aturan pemerintah. Saat ini Wacik akan menyerahkan urusan
arbitrase ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Sesuai dengan amanat Undang Undang Mineral
dan Batubara yang diterbitkan pada tahun 2009, seluruh perusahaan tambang harus
membangun fasilitas pengolahan (smelter) di dalam negeri lima tahun setelahnya
atau 2014. Selama ini, Indonesia banyak mengekspor kerukan tanah ke luar negeri
yang kemudian akan dicari mineral yang terkandung di dalamnya. Dengan adanya
kewajiban pembangunan smelter, pemerintah mengharapkan adanya nilai tambah
melalui dalam kegiatan ekspor mineral. Selain itu investor dikenakan biaya
ekspor yang berlaku secara progresif.
Negosiasi antara kedua belah pihak sudah
dilakukan. Namun belum mendapatkan titik temu, sehingga Newmont akhirnya
mengajukan gugatan tersebut. Sementara negosiasi dengan Freeport Indonesia
masih berjalan terus. Kedua perusahaan ini lah yang sangat alot dalam
berdiskusi dengan pemerintah Indonesia. Freeport telah memperingatkan bahwa
bila aturan larangan ekspor mineral diterapkan maka pendapatan perusahaan akan
berkurang 65 persen. Akibatnya Indonesia akan kehilangan penghasilan US$1,6
miliar pada 2014 atau 0,6 persen dari pertumbuhan Pertumbuhan Domestic Bruto.
Bank sentral memperkirakan pertumbuhan PDB akan mencapai sekitar 6 persen pada
2014, dibandingkan dengan 5,7 persen tahun lalu.
Dua belah pihak merasa berada di posisi yang
benar. Pemerintah berdalih nilai mata uang Rupiah telah melemah sejak akhir
tahun lalu, sedangkan di satu sisi subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) terus
melambung seiring dengan naiknya harga minyak dunia. Jika pemerintah bersikeras
untuk menerapkan aturan tersebut, sudah barang tentu kondisi perekonomian
Indonesia makin terpuruk. Akan banyak pemutusan hubungan kerja (PHK) dari
perusahaan-perusahaan tambang yang tidak dapat melakukan ekspor. Dan jika
demikian, krisis ekonomi 1998 bukan tidak mungkin terulang kembali.
Sementara Newmont sebagai investor merasa
tertohok dengan adanya aturan baru tersebut, karena berbeda dengan isi kontrak
yang ditandatangani. Tentunya waktu lima tahun sejak UU Minerba berlaku pada
tahun 2009 sangat cukup bagi pemerintah untuk memberi sosialisasi, peringatan
dan kajian mengenai bisa tidaknya amanat UU tersebut diterapkan agar
penghentian produksi seperti yang dilakukan Newmont tidak harus terjadi. Namun
nyatanya pemerintah baru sibuk melakukan kajian marathon menjelang masa
penerapan aturan tersebut.
Lalu bagaimana pengalaman Indonesia di
forum-forum arbitrase internasional? Pada tahun 2012, perusahaan Churchill
Mining juga mengajukan gugatan ke pemerintah Indonesia. Gugatan diajukan pada 22
Mei 2012 ke International Centre for Settlement if Invesment Disputes (ICSID)
di Washington DC. Permasalahan ini berawal dari pencabutan empat izin
usaha pertambangan (IUP) milik Ridlatama yang sahamnya dimiliki Churchill oleh
Bupati kutai Timur Isran Noor. Pertimbangan bupati ini berdasarkan temuan Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) pada pemeriksaan tahun 2006-2008, di mana ada indikasi
empat izin tersebut palsu.
Upaya pemerintah mengganjal langkah hukum arbitrase
Churchill Mining gagal. Badan Arbitrase International Centre for Settlement of
Investment Dispute (ICSID) menyatakan menolak keberatan pemerintah Indonesia
atas gugatan perusahaan tambang Churchill, yang merasa dirugikan oleh kebijakan
pemerintah Indonesia melalui mekanisme arbitrase.
Selain itu, Indonesia juga pernah kalah dalam forum
arbitrase internasional melawan Karaha Bodas. Indonesia harus membayar US$ 261 juta.
Karaha Bodas mengajukan tuntutan ganti rugi atas pembatalan proyek panas bumi di
Jawa Barat, padahal pembatalan tersebut dilakukan karena krisis ekonomi di
Indonesia pada tahun 1998.
Pekerjaan Rumah pemerintah masih sangat
banyak, tidak hanya mengenai pertambangan, tapi juga minyak dan gas. Terdapat
sejumlah Kontrak Kerja Sama (KKS) yang akan habis masa kontraknya, namun belum
mendapat kepastian dari pemerintah mengenai perpanjangannya. Sebut saja Blok
Mahakam misalnya. Belajar dari kasus UU Minerba tersebut, adanya baiknya
pemerintah segera memberikan keputusan jauh sebelum kontrak berakhir pada tahun
2017. Jangan sampai keputusan yang tergesa-gesa akan merugikan Indonesia pada
akhirnya. Ingatlah, pengalaman adalah guru yang terbaik.

No comments:
Post a Comment