Wednesday, 2 July 2014

Lagi, Indonesia Digugat di Forum Arbitrase Internasional

merdeka.com
Lagi, pemerintah Indonesia digugat perusahaan tambang di forum arbitrase internasional terkait dengan kebijakan pelarangan ekspor mineral. Kali ini gugatan tersebut dilayangkan oleh anak perusahaan asal Amerika Serikat, PT Newmont Nusa Tenggara  Nusa Tenggara (PTNNT) dan pemegang saham mayoritasnya, Nusa Tenggara Partnership B.V, suatu badan usaha yang terdaftar di Belanda.

Dalam gugatan arbitrase yang diajukan kepada the International Center for the Settlement of Investment Disputes, PTNNT dan NTPBV menyatakan maksudnya untuk memperoleh putusan sela yang mengizinkan PTNNT untuk dapat melakukan ekspor konsentrat tembaga agar kegiatan tambang Batu Hijau dapat dioperasikan kembali. Langkah itu diambil karena kebijakan yang dibuat pemerintah Indonesia itu telah mengakibatkan dihentikannya kegiatan produksi di tambang Batu Hijau dan menimbulkan kesulitan dan kerugian ekonomi terhadap para karyawan PTNNT, kontraktor, dan para pemangku kepentingan lainnya.

Menurut Newmont, pengenaan ketentuan baru terkait ekspor, bea keluar, serta larangan ekspor konsentrat tembaga yang akan dimulai Januari 2017, yang diterapkan kepada PTNNT oleh Pemerintah tidak sesuai dengan Kontrak Karya (KK) dan perjanjian investasi bilateral antara Indonesia dan Belanda.

Pemerintah Indonesia sendiri tidak gentar atas gugatan tersebut. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik merasa yakin Pemerintah akan memenangkan kasus arbitrase yang dilayangkan Newmont. Pasalnya Wacik percaya Undang-Undang Minerba pada 2009 saat ini bisa menegakakn kebenaran aturan pemerintah. Saat ini Wacik akan menyerahkan urusan arbitrase ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Sesuai dengan amanat Undang Undang Mineral dan Batubara yang diterbitkan pada tahun 2009, seluruh perusahaan tambang harus membangun fasilitas pengolahan (smelter) di dalam negeri lima tahun setelahnya atau 2014. Selama ini, Indonesia banyak mengekspor kerukan tanah ke luar negeri yang kemudian akan dicari mineral yang terkandung di dalamnya. Dengan adanya kewajiban pembangunan smelter, pemerintah mengharapkan adanya nilai tambah melalui dalam kegiatan ekspor mineral. Selain itu investor dikenakan biaya ekspor yang berlaku secara progresif.

Negosiasi antara kedua belah pihak sudah dilakukan. Namun belum mendapatkan titik temu, sehingga Newmont akhirnya mengajukan gugatan tersebut. Sementara negosiasi dengan Freeport Indonesia masih berjalan terus. Kedua perusahaan ini lah yang sangat alot dalam berdiskusi dengan pemerintah Indonesia. Freeport telah memperingatkan bahwa bila aturan larangan ekspor mineral diterapkan maka pendapatan perusahaan akan berkurang 65 persen. Akibatnya Indonesia akan kehilangan penghasilan US$1,6 miliar pada 2014 atau 0,6 persen dari pertumbuhan Pertumbuhan Domestic Bruto. Bank sentral memperkirakan pertumbuhan PDB akan mencapai sekitar 6 persen pada 2014, dibandingkan dengan 5,7 persen tahun lalu.

Dua belah pihak merasa berada di posisi yang benar. Pemerintah berdalih nilai mata uang Rupiah telah melemah sejak akhir tahun lalu, sedangkan di satu sisi subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) terus melambung seiring dengan naiknya harga minyak dunia. Jika pemerintah bersikeras untuk menerapkan aturan tersebut, sudah barang tentu kondisi perekonomian Indonesia makin terpuruk. Akan banyak pemutusan hubungan kerja (PHK) dari perusahaan-perusahaan tambang yang tidak dapat melakukan ekspor. Dan jika demikian, krisis ekonomi 1998 bukan tidak mungkin terulang kembali.

Sementara Newmont sebagai investor merasa tertohok dengan adanya aturan baru tersebut, karena berbeda dengan isi kontrak yang ditandatangani. Tentunya waktu lima tahun sejak UU Minerba berlaku pada tahun 2009 sangat cukup bagi pemerintah untuk memberi sosialisasi, peringatan dan kajian mengenai bisa tidaknya amanat UU tersebut diterapkan agar penghentian produksi seperti yang dilakukan Newmont tidak harus terjadi. Namun nyatanya pemerintah baru sibuk melakukan kajian marathon menjelang masa penerapan aturan tersebut.

Lalu bagaimana pengalaman Indonesia di forum-forum arbitrase internasional? Pada tahun 2012, perusahaan Churchill Mining juga mengajukan gugatan ke pemerintah Indonesia.  Gugatan diajukan pada 22 Mei 2012 ke International Centre for Settlement if Invesment Disputes (ICSID) di Washington DC. Permasalahan ini berawal dari pencabutan empat izin usaha pertambangan (IUP) milik Ridlatama yang sahamnya dimiliki Churchill oleh Bupati kutai Timur Isran Noor. Pertimbangan bupati ini berdasarkan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada pemeriksaan tahun 2006-2008, di mana ada indikasi empat izin tersebut palsu.

Upaya pemerintah mengganjal langkah hukum arbitrase Churchill Mining gagal. Badan Arbitrase International Centre for Settlement of Investment Dispute (ICSID) menyatakan menolak keberatan pemerintah Indonesia atas gugatan perusahaan tambang Churchill, yang merasa dirugikan oleh kebijakan pemerintah Indonesia melalui mekanisme arbitrase.

Selain itu, Indonesia juga pernah kalah dalam forum arbitrase internasional melawan Karaha Bodas. Indonesia harus membayar US$ 261 juta. Karaha Bodas mengajukan tuntutan ganti rugi atas pembatalan proyek panas bumi di Jawa Barat, padahal pembatalan tersebut dilakukan karena krisis ekonomi di Indonesia pada tahun 1998.

Pekerjaan Rumah pemerintah masih sangat banyak, tidak hanya mengenai pertambangan, tapi juga minyak dan gas. Terdapat sejumlah Kontrak Kerja Sama (KKS) yang akan habis masa kontraknya, namun belum mendapat kepastian dari pemerintah mengenai perpanjangannya. Sebut saja Blok Mahakam misalnya. Belajar dari kasus UU Minerba tersebut, adanya baiknya pemerintah segera memberikan keputusan jauh sebelum kontrak berakhir pada tahun 2017. Jangan sampai keputusan yang tergesa-gesa akan merugikan Indonesia pada akhirnya. Ingatlah, pengalaman adalah guru yang terbaik.

No comments:

Post a Comment