Wednesday, 30 July 2014

Stock SOS, Pertamina Kurangi Alokasi BBM Bersubsidi

beritatrans
PT Pertamina terpaksa menempuh langkah mengurangi pasokan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi ke Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) karena semakin menipisnya stock yang ada. Jika langkah tersebut tidak diambil, maka konsumsi BBM bersubsidi akan melebihi quotanya sebesar 46 juta kiloliter. Atau jika tidak, maka kuota solar sudah habis pada 30 November dan premium habis 19 Desember 2014

Langkah tidak populis ini akan mulai diberlakukan mulai awal Agustus 2014, setelah Badan Usaha Hilir Migas (BPH Migas) memberikan rekomendasi kebijakan tersebut. Dengan demikian Pertamina akan mengurangi jatah solar subsidi di SPBU sebesar 20 persen dan premium 10 persen. Penjualan BBM subsidi jenis solar di SPBU hanya dilakukan pada pukul 08.00-18.00. Rencana ini hanya satu dari beberapa rencana pemerintah lainnya.

Rencana lainnya, seluruh SPBU yang berada di ruas seluruh jalan tol tidak akan lagi menjual BBM bersubsidi dan juga khusus di Jakarta Pusat. Alasannya, hanya mobil-mobil mewah lah yang berseliweran di wilayah-wilayah tersebut. Sebagai gantinya, Pertamina telah menyiapkan SPBU yang menjual BBM nonsubsidi seperti pertamax dan pertamina dex sebagai antisipasi pemotongan jatah solar dan premium subsidi.

Kementerian Keuangan memang telah mengeluarkan surat yang berisikan tidak akan membayarkan klaim subsidi atas kelebihan kuota BBM. Pemerintah terpaksa menekan alokasi belanja subsidi BBM untuk mengurangi beban fiskal, namun sulit untuk menerapkan kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi di saat pesta politik pada tahun ini.

Konsekuensinya, jika konsumsi BBM bersubsidi melebihi quota, maka Pertamina harus merogoh koceknya sendiri. Sebelumnya pemerintah dan Dewan Pertimbangan Rakyat (DPR) telah sepakat untuk memotong volume quota BBM bersubsidi dari semula 48 juta kiloliter menjadi 46 juta kiloliter pada Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara Perubahan (APBNP) 2014.

Belanja subsidi energi terutama BBM dan listrik selalu membebani APBN, dan membuat ruang fiskal menjadi terbatas, padahal pemerintah memerlukan dana untuk membangun sarana infrastruktur dan belanja sosial lainnya. Pasalnya pemerintah harus mengalokasikan sekitar Rp 300 triliun setiap tahunnya untuk memenuhi kebutuhan subsidi tersebut.

Agaknya pemerintah telah belajar dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, dimana quota BBM bersubsidi senantiasa melebihi quota. Dan pemerintah sangat toleran dalam menggelontorkan subsidi BBM. Padahal di sisi lain, konsumsi BBM akan semakin naik dari tahun ke tahunnya.

Bagaimana konsumsi BBM tidak naik, jika trend penjualan kendaraan bemotor juga terus meningkat. Menurut data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), penjualan mobil di dalam negeri mencetak rekor tertinggi sepanjang sejarah, mencapai 103.219 unit pada Juli 2012. Penjualan tertinggi sebelumnya terjadi pada Juni lalu, sebanyak 101.743 unit. Peningkatan penjualan terjadi pada hampir semua merek mobil, terutama asal Jepang. Penjualan terbanyak tetap dikontribusi Toyota, diikuti Daihatsu dan Suzuki.

Untuk periode Januari-Juli 2012, penjualan mobil di tingkat distributor (wholesale) sudah mencapai 638.264. Angka tersebut naik 26% dibanding periode sama tahun lalu sebanyak 506.728 unit. Sedangkan target penjualan pada 2012 kini diturunkan menjadi 875 ribu unit, atau lebih kecil dari target semula karena ada peraturan kenaikan uang muka (downpayment/DP) minimal untuk pembelian mobil secara kredit.

Pemerintah memang harus tegas dalam menerapkan kebijakan subsidi BBM. Sudah saatnya Indonesia tidak lagi memberikan subsidi BBM karena sangat memberatkan fiskal negara. Apalagi negara-negara di dunia yang masih memberikan subsidi BBM kepada rakyatnya relatif sangat sedikit. Di kawasan ASEAN, hanya Indonesia dan Malaysia yang masih menerapkan subsidi BBM.

Harga BBM Indonesia sangat murah, hanya Rp 6.500 per liter untuk premium dan Rp 5.500 untuk solar. Sedangkan di negara-negara Eropa, harganya mencapai Rp 28.000 per liter. Sedangkan  harga BBM di Thailand, Myanmar, Brunei, Filipina dan lainnya berkisar Rp 12.000-Rp 15.000 per liter.


Memang harus ada gebrakan yang dilakukan pemerintah terkait kebijakan subsidi BBM. Dengan demikian masyarakat jadi mulai mengerti bahwa era energi murah sudah lewat. Malahan Indonesia sudah dalam kondisi krisis energi yang dikhawatirkan dapat terjadi berkepanjangan. Nah, inilah tugas presiden ke-7 Indonesia untuk membenahi carut marut kebijakan energi negara ini.


No comments:

Post a Comment