![]() |
| beritatrans |
PT Pertamina terpaksa menempuh langkah
mengurangi pasokan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi ke Stasiun Pengisian
Bahan Bakar Umum (SPBU) karena semakin menipisnya stock yang ada. Jika langkah
tersebut tidak diambil, maka konsumsi BBM bersubsidi akan melebihi quotanya
sebesar 46 juta kiloliter. Atau jika tidak, maka kuota solar sudah
habis pada 30 November dan premium habis 19 Desember 2014
Langkah tidak populis ini akan mulai
diberlakukan mulai awal Agustus 2014, setelah Badan Usaha Hilir Migas (BPH
Migas) memberikan rekomendasi kebijakan tersebut. Dengan demikian Pertamina
akan mengurangi jatah solar subsidi di SPBU sebesar 20 persen dan
premium 10 persen. Penjualan BBM subsidi jenis solar di SPBU hanya
dilakukan pada pukul 08.00-18.00. Rencana ini hanya satu dari
beberapa rencana pemerintah lainnya.
Rencana lainnya, seluruh SPBU yang berada di ruas
seluruh jalan tol tidak akan lagi menjual BBM bersubsidi dan juga khusus di
Jakarta Pusat. Alasannya, hanya mobil-mobil mewah lah yang berseliweran di
wilayah-wilayah tersebut. Sebagai gantinya, Pertamina telah menyiapkan SPBU
yang menjual BBM nonsubsidi seperti pertamax dan pertamina dex sebagai
antisipasi pemotongan jatah solar dan premium subsidi.
Kementerian Keuangan memang telah mengeluarkan
surat yang berisikan tidak akan membayarkan klaim subsidi atas kelebihan kuota
BBM. Pemerintah terpaksa menekan alokasi
belanja subsidi BBM untuk mengurangi beban fiskal, namun sulit untuk menerapkan
kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi di saat pesta politik pada tahun ini.
Konsekuensinya, jika konsumsi BBM bersubsidi
melebihi quota, maka Pertamina harus merogoh koceknya sendiri. Sebelumnya
pemerintah dan Dewan Pertimbangan Rakyat (DPR) telah sepakat untuk memotong
volume quota BBM bersubsidi dari semula 48 juta kiloliter menjadi 46 juta
kiloliter pada Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara Perubahan (APBNP) 2014.
Belanja subsidi energi terutama BBM dan listrik
selalu membebani APBN, dan membuat ruang fiskal menjadi terbatas, padahal
pemerintah memerlukan dana untuk membangun sarana infrastruktur dan belanja
sosial lainnya. Pasalnya pemerintah harus mengalokasikan sekitar Rp 300 triliun
setiap tahunnya untuk memenuhi kebutuhan subsidi tersebut.
Agaknya pemerintah telah belajar dari
pengalaman-pengalaman sebelumnya, dimana quota BBM bersubsidi senantiasa
melebihi quota. Dan pemerintah sangat toleran dalam menggelontorkan subsidi
BBM. Padahal di sisi lain, konsumsi BBM akan semakin naik dari tahun ke
tahunnya.
Bagaimana konsumsi BBM tidak naik, jika
trend penjualan kendaraan bemotor juga terus meningkat. Menurut data Gabungan
Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), penjualan mobil di dalam
negeri mencetak rekor tertinggi sepanjang sejarah, mencapai 103.219 unit pada
Juli 2012. Penjualan tertinggi sebelumnya terjadi pada Juni lalu, sebanyak
101.743 unit. Peningkatan penjualan terjadi pada hampir semua merek mobil,
terutama asal Jepang. Penjualan terbanyak tetap dikontribusi Toyota, diikuti
Daihatsu dan Suzuki.
Untuk periode Januari-Juli 2012,
penjualan mobil di tingkat distributor (wholesale)
sudah mencapai 638.264. Angka tersebut naik 26% dibanding periode sama tahun
lalu sebanyak 506.728 unit. Sedangkan target penjualan pada 2012 kini
diturunkan menjadi 875 ribu unit, atau lebih kecil dari target semula karena
ada peraturan kenaikan uang muka (downpayment/DP)
minimal untuk pembelian mobil secara kredit.
Pemerintah memang harus tegas dalam menerapkan
kebijakan subsidi BBM. Sudah saatnya Indonesia tidak lagi memberikan subsidi
BBM karena sangat memberatkan fiskal negara. Apalagi negara-negara
di dunia yang masih memberikan subsidi BBM kepada rakyatnya relatif sangat
sedikit. Di kawasan ASEAN, hanya Indonesia dan Malaysia yang masih menerapkan
subsidi BBM.
Harga BBM Indonesia sangat murah, hanya Rp 6.500
per liter untuk premium dan Rp 5.500 untuk solar. Sedangkan di negara-negara
Eropa, harganya mencapai Rp 28.000 per liter. Sedangkan harga BBM di Thailand, Myanmar, Brunei,
Filipina dan lainnya berkisar Rp 12.000-Rp 15.000 per liter.
Memang harus ada gebrakan yang dilakukan pemerintah
terkait kebijakan subsidi BBM. Dengan demikian masyarakat jadi mulai mengerti
bahwa era energi murah sudah lewat. Malahan Indonesia sudah dalam kondisi
krisis energi yang dikhawatirkan dapat terjadi berkepanjangan. Nah, inilah
tugas presiden ke-7 Indonesia untuk membenahi carut marut kebijakan energi
negara ini.

No comments:
Post a Comment