![]() |
| merdeka.com |
Setelah tiga tahun lebih Chevron
menunggu keputusan pemerintah terkait perpanjangan Blok Siak, akhirnya palu pun
diketuk. Hasilnya: proposal perpanjangan kontrak Chevron ditolak. Sebagai
gantinya pemerintah menunjuk Pertamina untuk mengambilalih blok tersebut.
Meski demikian, pemerintah memberikan
tenggang waktu selama enam bulan yang disebut sebagai masa transisi. Selama
masa transisi tersebut Chevron dan Pertamina dapat mengurus seluruh hal yang
terkait dengan pengalihan asset, sumber daya manusia, dan hal lain yang
berhubungan dengan perpindahan operatorship.
Keputusan pemerintah itu ibarat
tamparan bagi Chevron. Meski produksi Blok Siak hanya berada di kisaran
2.000-an barrel per hari, namun keberadaannya sangat menunjang operasi Chevron
Pacific Indonesia di wilayah Sumatera tengah. Chevron sendiri telah
mengaplikasikan teknologi yang tepat guna untuk memaksimalkan produksi di
seluruh wilayah produksinya yang sudah mature.
Saat ini Chevron masih tercatat
sebagai produsen minyak terbesar di Indonesia dengan produksi sekitar 320.000
barrel per hari. Kontrak Blok Siak
sendiri telah habis masanya per 27 November 2013, setelah 50 tahun Chevron
mengelolanya. Chevron telah memulai
operasinya di Blok Siak sejak tahun 1963. Saat itu Chevron masih bernama PT
California Texas Indonesia. Kontrak Blok Siak diperpanjang mulai tahun 1991
hingga 2013.
Proposal perpanjangan telah diajukan
sejak tahun 2010. Hal tersebut sesuai dengan
Peraturan Pemerintah yang dikeluarkan tahun 2004 bahwa proposal perpanjangan
dapat diajukan KKKS secepat-cepatnya 10 tahun sebelum masa kontrak berakhir
atau selambat-lambatnya dua tahun sebelum kontrak habis. Namun pemerintah bergeming dan terkesan mengulur-ngulur dalam
memberikan keputusan tersebut. Hingga akhirnya pada tanggal 28 November keluarlah
keputusan yang mengecewakan Chevron.
Kasus ini, dari kaca mata seorang
investor, tentulah sangat mengecewakan. Investor membutuhkan kepastian terkait
investasi yang akan ditanamkan di sebuah blok. Blok Siak misalnya, adalah
sebuah blok yang sudah tua. Untuk mendapatkan produksi yang maksimal dibutuhkan
sejumlah usaha yang tidak sedikit. Dan tentunya Chevron harus membuat
perencanaan jangka panjang, seperti berapa banyak sumur yang harus
dikembangkan, berapa investasi yang dibutuhkan, dan sebagainya. Dan tentunya
tidak ada salahnya pemerintah memberikan keputusannya jauh hari sebelum tengat
kontrak habis.
Kasus perpanjangan kontrak ini memang
telah menjadi sorotan sejumlah elemen masyarakat, seperti politisi dan sejumlah
pengamat. Bagaimana tidak, kasus yang menyerupai Blok Siak ini di Indonesia
bisa berjumlah puluhan. Tercatat 29 Kontraktor Kontrak
Kerja Sama (KKKS) migas di 18 blok migas akan habis pada kurun waktu 2012-2021.
Dan hingga kini belum ada keputusan yang diambil pemerintah.
Salah satu kasus perpanjangan yang menarik
perhatian adalah Blok Mahakam yang dikelola perusahaan asal Perancis Total
E&P Indonesie dan partnernya dari Jepang, Inpex Corp. Kontrak blok ini akan
habis pada akhir 2017. Dan Total telah menyampaikan proposal perpanjangan sejak
tahun 2008. Lima tahun telah berlalu dan pemerintah belum memberikan keputusan.
Padahal tanpa keputusan perpanjangan, akan sulit bagi Total untuk
mempertahankan produksi Mahakam.
Total pun mengajukan kembali
proposal pengelolaan Mahakam pada Agustus silam. Intinya Total dan Inpex
bersedia menurunkan porsi sahamnya dari 50 persen menjadi 35 persen, serta
memberi peluang bagi Pertamina untuk bersama-sama menggarap Blok Mahakam pada
masa transisi lima tahun pertama pasca 2017. Total juga memiliki itikad baik
dengan bersedia memberikan transfer teknologi kepada Pertamina. Dan yang tak
kalah penting, perusahaan asal Perancis tersebut bersedia menggelontorkan
investasi sebesar $7,3 miliar hingga 2017 untuk menahan laju penurunan
produksi. Dan pemerintah lagi-lagi diam.
Kini yang bisa kita lakukan
adalah menanti keputusan pemerintah. Namun yang harus diperhatikan pemerintah
adalah memahami bahwa Blok Siak jelas jauh berbeda dengan Mahakam. Produksi
Siak hanya di level 2.000 barrel per hari, sementara Mahakam mencapai 1.7
miliar kaki kubik per hari. Jelas perbedaan angkanya sangat fantastis dan tidak
bisa dipukul rata.
Mungkin Pertamina berpeluang
untuk dapat mengelola Siak karena volumenya yang tergolong kecil. Namun jangan
mimpi, jika berhasil mengelola Siak, maka secara otomatis dapat mengambilalih
Mahakam. Blok yang terletak di lepas pantai ini memang terkenal sangat sulit,
dibutuhkan teknologi dan investasi yang besar. Bahkan Blok Offshore West Java
ataupun West Madura Offshore pun tidak memiliki karakteristik yang sama. Untuk itu,
jangan sekali-kali pemerintah berani mengambil resiko untuk menyerahkan
pengelolaan Mahakam kepada Pertamina jika tidak ingin produksi blok tersebut
menurun.




