Friday, 29 November 2013

Belajar Dari Ditolaknya Perpanjangan Chevron di Blok Siak

merdeka.com
Setelah tiga tahun lebih Chevron menunggu keputusan pemerintah terkait perpanjangan Blok Siak, akhirnya palu pun diketuk. Hasilnya: proposal perpanjangan kontrak Chevron ditolak. Sebagai gantinya pemerintah menunjuk Pertamina untuk mengambilalih blok tersebut.

Meski demikian, pemerintah memberikan tenggang waktu selama enam bulan yang disebut sebagai masa transisi. Selama masa transisi tersebut Chevron dan Pertamina dapat mengurus seluruh hal yang terkait dengan pengalihan asset, sumber daya manusia, dan hal lain yang berhubungan dengan perpindahan operatorship.

Keputusan pemerintah itu ibarat tamparan bagi Chevron. Meski produksi Blok Siak hanya berada di kisaran 2.000-an barrel per hari, namun keberadaannya sangat menunjang operasi Chevron Pacific Indonesia di wilayah Sumatera tengah. Chevron sendiri telah mengaplikasikan teknologi yang tepat guna untuk memaksimalkan produksi di seluruh wilayah produksinya yang sudah mature.

Saat ini Chevron masih tercatat sebagai produsen minyak terbesar di Indonesia dengan produksi sekitar 320.000 barrel per hari.  Kontrak Blok Siak sendiri telah habis masanya per 27 November 2013, setelah 50 tahun Chevron mengelolanya. Chevron telah memulai operasinya di Blok Siak sejak tahun 1963. Saat itu Chevron masih bernama PT California Texas Indonesia. Kontrak Blok Siak diperpanjang mulai tahun 1991 hingga 2013.

Proposal perpanjangan telah diajukan sejak tahun 2010. Hal tersebut sesuai dengan Peraturan Pemerintah yang dikeluarkan tahun 2004 bahwa proposal perpanjangan dapat diajukan KKKS secepat-cepatnya 10 tahun sebelum masa kontrak berakhir atau selambat-lambatnya dua tahun sebelum kontrak habis. Namun pemerintah bergeming dan terkesan mengulur-ngulur dalam memberikan keputusan tersebut. Hingga akhirnya pada tanggal 28 November keluarlah keputusan yang mengecewakan Chevron.

Kasus ini, dari kaca mata seorang investor, tentulah sangat mengecewakan. Investor membutuhkan kepastian terkait investasi yang akan ditanamkan di sebuah blok. Blok Siak misalnya, adalah sebuah blok yang sudah tua. Untuk mendapatkan produksi yang maksimal dibutuhkan sejumlah usaha yang tidak sedikit. Dan tentunya Chevron harus membuat perencanaan jangka panjang, seperti berapa banyak sumur yang harus dikembangkan, berapa investasi yang dibutuhkan, dan sebagainya. Dan tentunya tidak ada salahnya pemerintah memberikan keputusannya jauh hari sebelum tengat kontrak habis.

Kasus perpanjangan kontrak ini memang telah menjadi sorotan sejumlah elemen masyarakat, seperti politisi dan sejumlah pengamat. Bagaimana tidak, kasus yang menyerupai Blok Siak ini di Indonesia bisa berjumlah puluhan. Tercatat 29 Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) migas di 18 blok migas akan habis pada kurun waktu 2012-2021. Dan hingga kini belum ada keputusan yang diambil pemerintah.

Salah satu kasus perpanjangan yang menarik perhatian adalah Blok Mahakam yang dikelola perusahaan asal Perancis Total E&P Indonesie dan partnernya dari Jepang, Inpex Corp. Kontrak blok ini akan habis pada akhir 2017. Dan Total telah menyampaikan proposal perpanjangan sejak tahun 2008. Lima tahun telah berlalu dan pemerintah belum memberikan keputusan. Padahal tanpa keputusan perpanjangan, akan sulit bagi Total untuk mempertahankan produksi Mahakam.

Total pun mengajukan kembali proposal pengelolaan Mahakam pada Agustus silam. Intinya Total dan Inpex bersedia menurunkan porsi sahamnya dari 50 persen menjadi 35 persen, serta memberi peluang bagi Pertamina untuk bersama-sama menggarap Blok Mahakam pada masa transisi lima tahun pertama pasca 2017. Total juga memiliki itikad baik dengan bersedia memberikan transfer teknologi kepada Pertamina. Dan yang tak kalah penting, perusahaan asal Perancis tersebut bersedia menggelontorkan investasi sebesar $7,3 miliar hingga 2017 untuk menahan laju penurunan produksi. Dan pemerintah lagi-lagi diam.

Kini yang bisa kita lakukan adalah menanti keputusan pemerintah. Namun yang harus diperhatikan pemerintah adalah memahami bahwa Blok Siak jelas jauh berbeda dengan Mahakam. Produksi Siak hanya di level 2.000 barrel per hari, sementara Mahakam mencapai 1.7 miliar kaki kubik per hari. Jelas perbedaan angkanya sangat fantastis dan tidak bisa dipukul rata.


Mungkin Pertamina berpeluang untuk dapat mengelola Siak karena volumenya yang tergolong kecil. Namun jangan mimpi, jika berhasil mengelola Siak, maka secara otomatis dapat mengambilalih Mahakam. Blok yang terletak di lepas pantai ini memang terkenal sangat sulit, dibutuhkan teknologi dan investasi yang besar. Bahkan Blok Offshore West Java ataupun West Madura Offshore pun tidak memiliki karakteristik yang sama. Untuk itu, jangan sekali-kali pemerintah berani mengambil resiko untuk menyerahkan pengelolaan Mahakam kepada Pertamina jika tidak ingin produksi blok tersebut menurun.

Thursday, 21 November 2013

Perlu Terobosan Teknologi Dalam Pengelolaan Lapangan Minyak Tua Indonesia

Industri minyak dan gas tidak bisa dilepaskan dari unsur teknologi. Keduanya saling berkaitan dan melengkapi. Dengan teknologi, maka produksi dan peningkatan cadangan (recovery replacement ratio) dapat dikontrol. Kehadiran teknologi semakin dibutuhkan pada pengelolaan lapangan minyak dan gas yang sudah tua. Lapangan-lapangan tersebut perlu penanganan yang tak sederhana. Tak hanya itu, pengelolaannya juga memerlukan sumber daya manusia yang tidak biasa alias dibutuhkan tenaga ahli yang benar-benar mumpuni agar eksploitasi dan produksi minyak dan gas mencapai hasil yang optimal.
Indonesia sebagai mantan anggota OPEC, memang terkenal dengan produksi minyaknya yang aduhai. Penemuan minyak di Indonesia pertama kali terjadi pada tahun 1883 oleh seorang Belanda bernama A.G Zeijlker di Pulau Sumatra. Setelah penemuan itu, berturut-turut penemuan lain juga terjadi di berbagai pulau di seantero nusantara, berkah tersendiri sebagai negara cincin api (ring of fire).
Ratusan tahun setelah penemuan minyak di Sumatera, perusahaan Perancis Total E&P Indonesie serta mitranya Inpex Corp berhasil menemukan cadangan migas di Blok Mahakam, lepas laut Kalimantan Timur. Mahakam pertama kali memproduksikan minyaknya dari Lapangan Bekapai pada tahun 1974. Disusul dengan produksi gas pada beberapa tahun setelahnya. Produksi gas Blok Mahakam mencapai puncaknya pada sekitar tahun 2000-an dengan posisi sekitar 2,6 miliar kaki kubik per hari. Namun seriring dengan laju penurunan produksi alamiah, produksi Mahakam saat ini hanya mencapai sekitar 1,7 miliar kaki kubik per hari.
Kembali ke Bekapai, lapangan tersebut berhasil mencapai puncak produksinya di level 58.000 barel per hari pada tahun 1978 dan kemudian mengalami penurunan. Total pun melakukan re-development dengan melakukan pengeboran untuk mengusahakan agar lapangan tersebut tetap dapat berproduksi.
"Tekanan dari perut bumi pada lapangan migas tua akan menurun seiring dengan usia, sehingga untuk mendapatkan hasil migas yang optimal perlu ada berbagai upaya dan terobosan dengan menggunakan teknologi serta tenaga-tenaga ahli yang berpengalaman," ujar President Director & GM Total E&P Indonesie, Elisabeth Proust.
Total menjaga performanya di Mahakam dengan menerapkan teknologi yang pas. Selain itu perusahaan tersebut juga terus melakukan pengembangan untuk menjaga produksi tidak turun drastis, seperti misalnya South Mahakam Phase 1 dan 2, Peciko Phase 7B dan Sisi Nubi. Mengingat jika tidak dilakukan apa-apa, laju penurunan produksi bisa mencapai 50-60 persen per tahun.
Penerapan teknologi seperti yang dilakukan Total di Mahakam juga perlu dilakukan di seluruh lapangan minyak di Indonesia karena usianya yang telah mencapai ratusan tahun. Tak heran Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mencanangkan tahun zero decline atau menahan laju penurunan produksi hingga ke level 0. Dan untuk itu, lagi-lagi..teknologi sangat dibutuhkan.
Bicara mengenai teknologi, maka hal ini tak akan lepas juga dari unsur finansial. Tentunya teknologi yang canggih akan membutuhkan biaya besar. Hal-hal inilah yang akan dulit untuk dipenuhi oleh perusahaan migas nasional.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa perusahaan migas local sangat memiliki berbagai keterbatasan, baik dari segi teknologi, SDM, finansial hingga jam terbang. Padahal empat unsur tersebut mutlak diperlukan dalam pengelolaan migas.
Kita lihat apa yang dilakukan Total dalam mempertahankan produksi Mahakam agar tidak terjun bebas. Perusahaan tersebut setidaknya harus mengebor ratusan sumur dalam setahun. Hingga kini terdapat 829 sumur yang aktif per September 2013. Tercatat Total juga memiliki 10 drilling rigs yang beroperasi di Mahakam.
Akankah Pertamina memiliki kemampuan serupa? Yang pasti saat ini semua orang merasa yakin perusahaan plat merah itu sanggup mengelola Mahakam pasca 2017 –ketika kontrak Total dan Inpex berakhir-. Indikatornya menurut mereka adalah kesuksesan Pertamina ketika mengambil Blok West Offshore Madura dan Offshore North West Java (ONWJ). Kedua blok lepas pantai tersebut memang menunjukkan peningkatan produksi di tangan Pertamina. Namun tentu saja, karakteristik blok tersebut sangat jauh berbeda dibandingkan dengan Mahakam. Teknologi yang diterapkan di ONWJ dan WMO tidak akan bisa dilakukan di Mahakam. Jadi jelas, secara teknologi Pertamina bisa dikatakan tertinggal dibandingkan Total.
Jangankan Mahakam, untuk menguras produksi-produksi lapangan tuanya saja Pertamina masih banyak menemukan kesulitan. Hingga kini tercatat ratusan, bahkan ribuan lapangan tua milik Pertamina yang terbengkalai karena tidak dikembangkan.
Selain itu, Total dan Inpex telah berkomitmen untuk mengalokasikan capital expenditure sebesar US$2,5 miliar per tahunnya demi mempertahankan angka produksi Mahakam. Tentunya angka tersebut tidak lah main-main, dibutuhkan komitmen yang tinggi untuk menginvestasikan angka sebesar itu. Pertanyaannya? Sanggupkah Pertamina mengalokasikan US$2,5 miliar per tahun hanya untuk Mahakam? Padahal perusahaan itu memiliki obsesi untuk menjadi the world’s energy company pada tahun 2025. Dan jika ingin mencapai target tersebut, tentunya Pertamina harus go internasional dan tidak terpaku pada urusan Mahakam saja.



Wednesday, 20 November 2013

Kontroversi Mobil Murah ala Indonesia

liputan6.com
Kontroversi keberadaan mobil murah Indonesia alias Low Cost Green Car (LCGC) tengah menjadi topik hangat akhir-akhir ini. Sebagian mendukung adanya mobil tersebut karena dianggap menguntungkan banyak orang dan dapat meningkatkan taraf hidup orang, sementara pihak yang menentangnya beralasan keberadaan mobil tersebut hanya akan menambah kemacetan dan pemakaian BBM menjadi melonjak tajam.

Adanya wacana mobil tersebut berawal dari Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2013 tentang Insentif Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) bagi Produksi Mobil Ramah Lingkungan. Dengan demikian mobil di bawah 1.200 cc dapat dijual tanpa PPnBM.

Adanya kebijakan tersebut karuan saja menyebabkan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo yang top dengan nama Jokowi, melayangkan suratnya kepada Wakil Presiden Boediono. Jokowi menilai adanya mobil murah hanya akan menambah kemacetan Jakarta. Kebijakan tersebut dinilai kontradiktif dengan upaya Pemerintah Daerah DKI Jakarta untuk mengurai kemacetan ibukota.

Namun pemerintah bergeming. Boediono menegaskan solusi mengatasi kemacetan di Jakarta bukan dengan mengorbankan kepentingan industri yang masih dibutuhkan untuk menggerakkan ekonomi Indonesia. Produk otomotif masih banyak dibutuhkan di daerah. Pemerintah berjanji tidak akan lepas tangan dengan kemacetan yang melanda Ibukota (Tempo, 19 September 2013).

"Kita tidak perlu melarang orang beli mobil. Beli boleh, tapi kita bebani biaya kalau masuk jalan-jalan di Jakarta. Jadi ERP ini mari sama-sama segera kita laksanakan. Ini barangkali solusi yang lebih baik," kata Boediono (Merdeka, 19 September 2013).

Kebijakan Electronic Road Pricing atau ERP telah diterapkan di berbagai negara tetangga, sebut saja Singapura.

Mobil murah tersebut rencananya akan didesain hemat BBM, paling sedikit 20 kilometer per liter. Namun demikian tetap saja keberadaan mbobil ini dikhawatirkan akan meningkatkan (BBM). Ujung-ujungnya, impor BBM oleh Pertamina akan mengalami peningkatan sehingga subsidi BBM bisa jebol dan mempengaruhi neraca keuangan negara.

Meski demikian sejumlah kalangan mengusulkan pemerintah untuk melarang penggunaan BBM bersubsidi bagi mobil murah tersebut.


Solusi lainnya, menurut pengamat transportasi dari ITDP (Institute for Transportation & Development Policy) Yoga Adiwinarto seperti yang dikutip detikcom, 20 September 2013 adalah Pemda DKI Jakarta dapat menerapkan environmental tax atau penambahan pajak bagi tiap bensin yang digunakan mobil murah sebagai upaya untuk membatasi penggunaannya. Cara lainnya adalah menaikkan tarif parkir untuk daerah di Jakarta.

Gita Wirjawan, Ketahanan Energi dan Pemilihan Presiden 2014

Ketahanan energy (energy security) adalah isu yang selalu menarik untuk dibicarakan dan bahkan terus menjadi hit dari tahun ke tahun. Tak heran jika isu tersebut menjadi salah satu incaran para calon pemimpin rakyat yang hendak mencari dukungan suara. Sebut saja Gita Wirjawan, mantan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang sekarang menjadi Menteri Perdagangan, yang selama ini dikenal sebagai pro-investor tiba-tiba menjadi sangat nasionalis.

Dalam wawancaranya dengan The Jakarta Globe baru-baru ini, Gita mengungkapkan rencana Indonesia untuk merevisi seluruh kontrak penjualan minyak mentah dan gas bumi yang selama ini dieksport. Dengan demikian diharapkan pasokan minyak mentah dan gas bumi nasional akan terjaga. Indonesia pun dinilai akan mendapatkan keuntungan, karena tidak perlu lagi melakukan import. Misalnya saja pertumbuhan kendaraan bermotor pada akhirnya akan meningkatkan konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) yang ujung-ujungnya pemerintah juga yang akan mengalami kerugian karena peningkatkan volume import.

Tapi benarkah demikian? Mungkin Gita lupa, bahwa kontrak yang telah berjalan itu harus dipenuhi. Jika Indonesia merevisi sepihak, bukan hanya pemerintah akan mendapatkan penalty, melainkan juga akan menuai ancaman penyelesaian masalah di meja arbitrase internasional. Ini jelas lebih repot.

Coba tengok saja kasus Karaha Bodas dimana Pertamina menghentikan proyek tersebut karena kondisi darurat (force majeure) akibat krisis moneter dan juga atas rekomendasi International Monetary Fund (IMF). Namun nyatanya KBC menuntut Pertamina di arbitrase internasional. Kekalahan tersebut menyebabkan Pertamina harus membayar klaim ganti rugi sebesar $261,1 juta kepada KBC.

Sementara hingga saat ini terdapat ratusan kontrak penjualan gas dan minyak bumi yang telah diteken pihak Indonesia dengan investor. Jika dianulir sepihak, dapat dibayangkan berapa ratus triliun dana yang harus dikeluarkan pemerintah untuk dapat memutus kontrak-kontrak tersebut.
Sebenarnya masalah komitmen pemerintah Indonesia terhadap kontrak (sancity of contract) adalah salah satu point yang sering dikeluhkan para investor. Bagaimana tidak, di tengah kontrak berjalan, tiba-tiba muncul suatu aturan baru yang menyulitkan investor. Tak heran jika muncul suatu statement yang keras dari investor asing yang menyamakan iklim investasi di Indonesia tak ubahnya dengan iklim investasi di Nigeria. Padahal kita tahu secara pasti bahwa Nigeria merupakan negara yang memiliki resiko tinggi bagi investor akibat situasi keamanannya yang tak terkendali.

Jangan pernah bermimpi Indonesia akan berhasil seperti Venezuela di bawah kepemimpinan Hugo Chavez yang menasionalisasi beberapa perusahaan asing. Tak kurang dari perusahaan raksasa macam Exxon Mobil dan ConocoPhilips sudah disita asetnya oleh Venezuela. Itu belum seberapa, masih ada sederet perusahaan lain yang berhasil dinasionalisasi Chavez.
Tapi tentunya Indonesia dan Venezuela tidak bisa dibandingkan alias tidak apple to apple. Jangan pernah bermimpi Indonesia bisa seperti Venezuela. Bagaimana tidak, jika dilihat dari sudut produksi saja bedanya sangat jauh. Produksi minyak Venezuela saat ini mencapai sekitar 3 juta barrel per hari, sedangkan Indonesia hanya kurang dari 900.000 barrel per hari.

Indonesia sebagai negara berkembang tentunya masih membutuhkan investor, apalagi di bidang minyak dan gas bumi yang tergolong padat modal dan padat karya. Sebut saja perusahaan asal Perancis Total E&P Indonesie yang harus merogoh koceknya sebesar $40 juta untuk mengebor satu sumur eksplorasi di Blok Kepala Burung di Papua.
Sementara untuk dapat memonetisasi suatu cadangan minyak dan gas, dibutuhkan beberapa sumur untuk dibor. Dan ingat, selama masa eksplorasi pemerintah tidak menanggung biaya yang dikeluarkan investor barang sepeser pun. Lebih jauh lagi, saat ini cadangan minyak dan gas bumi Indonesia lebih banyak berlokasi di kawasan Indonesia timur dan juga laut dalam. Artinya tingkat investasi yang dibutuhkan untuk dapat menemukan hingga memproduksinya secara komersil sangatlah besar. Yang menjadi pertanyaan, mampukah perusahaan nasional untuk melakukan hal tersebut? Apakah perusahaan local sudah dianggap memiliki teknologi canggih dan memiliki modal yang kuat untuk dapat mengaduk-aduk sumber daya alam di perut bumi ini?

Jalan tengah yang dianggap win-win solution adalah bekerjasama dengan pihak asing. Kerjasama tersebut menurut saya ibarat simbiosis mutualisme, sama-sama membutuhkan dan sama-sama menguntungkan. Indonesia membutuhkan teknologi, keahlian dan modal para investor asing, sementara mereka mendapatkan bagian dari usahanya tersebut. Toh pemerintah mendapatkan bagi hasil yang jauh lebih besar dibandingkan investor, yaitu 85 persen untuk minyak dan 70% untuk gas. Dan patut diingat, pemerintah sama sekali tidak memiliki resiko apapun dalam setiap kegiatan eksplorasi yang dilakukan investor.

Bukan berarti Indonesia selalu menjadi tamu di negeri sendiri. Tentu tidak. Namun tidak sekarang, melainkan nanti. Di saat bekerjasama dengan investor asing itu lah, perusahaan nasional dapat banyak mengambil sebanyak-banyaknya pengetahuan agar kelak dapat mengoperasikan sendiri.


Meski demikian, toh banyak rakyat Indonesia yang memiliki rasa nasionalisme namun kebablasan. Mereka menilai segala sesuatu yang berbau asing buruk dan segala sesuatu yang berbau nasional itu baik. Makanya tak heran, mereka lah yang disasar oleh para kandidat presiden, seperti Gita yang lulus dalam konvensi Partai Demokrat. Padahal sebagai lulusan Harvard University tahun 2000, Gita tahu betul bagaimana posisi Indonesia di tengah kancah bisnis internasional, bagimana masih diperlukannya investor untuk membangun bumi pertiwi tercinta ini.