Wednesday, 20 November 2013

Lambannya Pemerintah Perpanjang Kontrak PSC, Ancaman Bagi Produksi Migas Nasional

Pemerintah Republik Indonesia dinilai lambat dalam menyelesaikan semua persoalan, termasuk masalah perpanjangan kontrak blok minyak dan gas bumi. Hal tersebut dinilai sangat kontra produktif terhadap rencana jangka panjang pemerintah yang mematok angka 1 juta barrel per hari mulai 2014 hingga 2025. Padahal jika diamati, setelah Banyu Urip di Blok Cepu yang diperkirakan mampu memproduksi sebesar 165.000 barrel per hari mulai 2014, relative tidak ada penemuan yang signifikan lagi.

Ironisnya pemerintah tidak segera tanggap dengan hal tersebut. Masih banyak rentetan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan secepat mungkin. Salah satunya adalah kepastian masalah perpanjangan blok. Bisa dibayangkan saat ini Satuan Kerja Khusus Pelaksana Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mencatat sebanyak terdapat 29 kontrak pengelolaan blok migas bakal berakhir mulai 2013-2021. Beberapa blok yang cukup signifikan dalam menopang produksi migas nasional diantaranya adalah Blok Siak dan Blok Mahakam.

Blok Siak terletak di Sumatera Selatan, dioperatori oleh Chevron. Blok tersebut akan habis masa kontraknya pada 27 November 2013 dan proposal perpanjangan telah diajukan sejak 2010. Produksi blok tersebut sekitar 3.000 barrel per hari. Sementara Blok Mahakam di offshore Kalimantan Timur dikelola oleh Total E&P Indonesie. Saat ini produksinya mencapai 1,7 miliar kaki kubik per hari. Total dan partnernya Inpex telah mengajukan proposal perpanjangan sejak tahun 2008. Namun hingga kini kedua proposal perusahaan tersebut belum mendapatkan kepastian.

Total bahkan berencana untuk meninjau ulang rencana investasinya sebesar $7,3 miliar yang akan digunakan untuk menekan laju penurunan produksi, jika pemerintah tidak segera memberikan keputusan. Masalahnya satu lapangan membutuhkan waktu setidaknya tiga tahun untuk dapat berproduksi.

Agaknya pemerintah tidak belajar dari pengalaman sebelumnya, yaitu di Blok West Madura Offshore (WMO). Saat itu kontrak pengelolaan Migas di blok WMO oleh Kodeco Energy Ltd habis pada 7 Mei 2011. Kedua perusahaan tersebut telah meminta perpanjangan kontrak sejak lama. Pertamina pun sejak 2008 telah mengajukan proposal atas minatnya perusahaan plat merah tersebut untuk mengelola WMO jika kontraknya habis. Saat itu Pertamina memiliki 50% saham di WMO, sedang sisanya dimiliki oleh Kodeco (25%) dan CNOOC (25%). Namun pemerintah tidak segera memberi kepastian. Timbul lah polemik di sejumlah surat kabar yang menanyakan keputusan pemerintah, sementara tengat masa kontrak segera berakhir. Atas desakan itu, pemerintah memutuskan untuk menyerahkan blok tersebut ke Pertamina.

Tapi cerita tidak berakhir hingga disitu. Akibatnya pemerintah terlalu ragu untuk mengambil keputusan, Kodeco tidak melakukan investasi untuk mempertahankan produksi. Produksi WMO jeblok. Saat Blok WMO  diserahkan pada Pertamina pada 7 Mei 2011, produksinya tinggal 13.000 barel per hari.

Tentu saja, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI cukup gerah melihat situasi ini. Pasalnya lambannya pemerintah sudah sangat merugikan penerimaan negara akibat terganggunya target lifting minyak dan gas. Untuk itulah DPR melemparkan wacana untuk mengatur masalah perpanjangan kontrak kerja sama ini dalam revisi Undang Undang Minyak Dan Gas Bumi No 22 tahun 2001, seperti yang diamanatkan Mahkamah Konstitusi ada November tahun lalu.

Komisi VII DPR RI, komisi yang membidangi masalah minyak, gas, pertambangan dan energy ini hampir cenderung sepakat untuk mengatur masalah perpanjangan tersebut secara detil. Suatu perusahaan yang masa kontraknya akan habis, dapat mengajukan proposal perpanjangan kepada pemerintah tujuh tahun sebelum kontraknya usai. Dan pemerintah diwajibkan untuk memberikan kepastian masalah perpanjangan tersebut setidaknya lima tahun sebelum kontrak habis. Waktu lima tahun dinilai cukup bagi investor untuk menghitung ulang rencana investasi serta melakukan kegiatan-kegiatan penunjang produksi. Dengan demikian, pemerintah dan investor sama-sama tidak dirugikan.

Sebagai perbandingan, menurut Peraturan Pemerintah Nomor 35 tahun 2004, permohonan perpanjangan kontrak dapat disampaikan paling cepat 10 tahun dan paling lambat dua tahun sebelum kontrak berakhir, kecuali kontraktor telah terikat dengan kesepakatan jual beli gas. Kontraktor dapat mengajukan perpanjangan kontrak lebih cepat dari batas waktu. Meski demikian, PP tersebut tidak mengatur batas waktu kapan pemerintah harus memberikan keputusan. Padahal hal tersebut sangat krusial dalam industry migas.


Meski demikian, toh tetap saja harapan terhadap pemerintah masih sangat besar. Semoga saja pemerintah segera menyadari kesalahannya dan segera memberikan keputusan terkait nasib 29 blok yang akan habis masa kontraknya itu. Jangan sampai masalah ini dipolitisir karena bagaimanapun Indonesia adalah negara berkembang yang masih membutuhkan sokongan investasi dari investor asing.

No comments:

Post a Comment