Pemerintah Republik Indonesia
dinilai lambat dalam menyelesaikan semua persoalan, termasuk masalah
perpanjangan kontrak blok minyak dan gas bumi. Hal tersebut dinilai sangat
kontra produktif terhadap rencana jangka panjang pemerintah yang mematok angka
1 juta barrel per hari mulai 2014 hingga 2025. Padahal jika diamati, setelah
Banyu Urip di Blok Cepu yang diperkirakan mampu memproduksi sebesar 165.000
barrel per hari mulai 2014, relative tidak ada penemuan yang signifikan lagi.
Ironisnya pemerintah tidak segera
tanggap dengan hal tersebut. Masih banyak rentetan pekerjaan rumah yang harus
diselesaikan secepat mungkin. Salah satunya adalah kepastian masalah
perpanjangan blok. Bisa dibayangkan saat ini Satuan Kerja Khusus Pelaksana
Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mencatat sebanyak terdapat 29
kontrak pengelolaan blok migas bakal berakhir mulai 2013-2021. Beberapa blok
yang cukup signifikan dalam menopang produksi migas nasional diantaranya adalah
Blok Siak dan Blok Mahakam.
Blok Siak terletak di Sumatera
Selatan, dioperatori oleh Chevron. Blok tersebut akan habis masa kontraknya
pada 27 November 2013 dan proposal perpanjangan telah diajukan sejak 2010.
Produksi blok tersebut sekitar 3.000 barrel per hari. Sementara Blok Mahakam di
offshore Kalimantan Timur dikelola oleh Total E&P Indonesie. Saat ini
produksinya mencapai 1,7 miliar kaki kubik per hari. Total dan partnernya Inpex
telah mengajukan proposal perpanjangan sejak tahun 2008. Namun hingga kini
kedua proposal perusahaan tersebut belum mendapatkan kepastian.
Total bahkan berencana untuk
meninjau ulang rencana investasinya sebesar $7,3 miliar yang akan digunakan
untuk menekan laju penurunan produksi, jika pemerintah tidak segera memberikan
keputusan. Masalahnya satu lapangan membutuhkan waktu setidaknya tiga tahun
untuk dapat berproduksi.
Agaknya pemerintah tidak
belajar dari pengalaman sebelumnya, yaitu di Blok West Madura Offshore (WMO).
Saat itu kontrak pengelolaan Migas di
blok WMO oleh Kodeco Energy Ltd habis pada 7 Mei 2011. Kedua perusahaan
tersebut telah meminta perpanjangan kontrak sejak lama. Pertamina pun sejak
2008 telah mengajukan proposal atas minatnya perusahaan plat merah tersebut
untuk mengelola WMO jika kontraknya habis. Saat itu Pertamina memiliki 50%
saham di WMO, sedang sisanya dimiliki oleh Kodeco (25%) dan CNOOC (25%). Namun
pemerintah tidak segera memberi kepastian. Timbul lah polemik di sejumlah surat
kabar yang menanyakan keputusan pemerintah, sementara tengat masa kontrak
segera berakhir. Atas desakan itu, pemerintah memutuskan untuk menyerahkan blok
tersebut ke Pertamina.
Tapi cerita tidak berakhir
hingga disitu. Akibatnya pemerintah terlalu ragu untuk mengambil keputusan,
Kodeco tidak melakukan investasi untuk mempertahankan produksi. Produksi WMO
jeblok. Saat Blok WMO diserahkan
pada Pertamina pada 7 Mei 2011, produksinya tinggal 13.000 barel per hari.
Tentu saja, Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) RI cukup gerah melihat situasi ini. Pasalnya lambannya pemerintah
sudah sangat merugikan penerimaan negara akibat terganggunya target lifting
minyak dan gas. Untuk itulah DPR melemparkan wacana untuk mengatur masalah
perpanjangan kontrak kerja sama ini dalam revisi Undang Undang Minyak Dan Gas
Bumi No 22 tahun 2001, seperti yang diamanatkan Mahkamah Konstitusi ada
November tahun lalu.
Komisi VII DPR RI, komisi yang
membidangi masalah minyak, gas, pertambangan dan energy ini hampir cenderung
sepakat untuk mengatur masalah perpanjangan tersebut secara detil. Suatu
perusahaan yang masa kontraknya akan habis, dapat mengajukan proposal
perpanjangan kepada pemerintah tujuh tahun sebelum kontraknya usai. Dan
pemerintah diwajibkan untuk memberikan kepastian masalah perpanjangan tersebut
setidaknya lima tahun sebelum kontrak habis. Waktu lima tahun dinilai cukup
bagi investor untuk menghitung ulang rencana investasi serta melakukan
kegiatan-kegiatan penunjang produksi. Dengan demikian, pemerintah dan investor
sama-sama tidak dirugikan.
Sebagai perbandingan, menurut
Peraturan Pemerintah Nomor 35 tahun 2004, permohonan
perpanjangan kontrak dapat disampaikan paling cepat 10 tahun dan paling lambat
dua tahun sebelum kontrak berakhir, kecuali kontraktor telah terikat dengan
kesepakatan jual beli gas. Kontraktor dapat mengajukan perpanjangan kontrak
lebih cepat dari batas waktu. Meski demikian, PP tersebut tidak mengatur batas
waktu kapan pemerintah harus memberikan keputusan. Padahal hal tersebut sangat krusial
dalam industry migas.
Meski demikian, toh tetap saja
harapan terhadap pemerintah masih sangat besar. Semoga saja pemerintah segera
menyadari kesalahannya dan segera memberikan keputusan terkait nasib 29 blok
yang akan habis masa kontraknya itu. Jangan sampai masalah ini dipolitisir
karena bagaimanapun Indonesia adalah negara berkembang yang masih membutuhkan
sokongan investasi dari investor asing.

No comments:
Post a Comment