Tuesday, 12 November 2013

Defisit Migas, Pembangunan Kilang dan Mafia Minyak

Seiring dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia dan daya beli masyarakat yang semakin meningkat, maka konsumsi bahan bakar minyak (BBM) diperkirakan akan naik 10 persen per tahunnya. Dengan keterbatasan produksi minyak nasional, impor adalah satu-satunya jalan keluar untuk memenuhi kebutuhan BBM domestik.

republika.com
Baru-baru ini Badan Pusat Statistik merilis neraca perdagangan bulan September yang membuat mata terbelalak. Bagaimana tidak, neraca perdagangan September 2013 mengalami defisit US$657,2 juta yang terdiri dari defisit neraca perdagangan migas sebesar US$1,2 miliar dan nonmigas sebesar US$496,8 juta. Secara kumulatif, neraca perdagangan Januari-September 2013 mengalami defisit sebesar US$6,26 miliar yang terdari dari surplus nonmigas sebesar US$3,48 miliar dan defisit neraca perdagangan migas sebesar US$9,74 miliar.
Bahkan Kementerian Perdagangan sudah memberikan peringatan bahwa tren impor migas akan berlanjut sampai akhir tahun jika tidak ditangani dengan baik. Nah!
Tak tinggal diam, Menteri Keuangan Chatib Basri menyatakan jalan satu-satunya untuk mengantisipasi terjadi defisit neraca perdagangan akibat migas adalah membantu Pertamina meningkatkan kinerja seluruh kilangnya. Misalnya dengan membuat kilang minyak baru dan juga memberdayakan kembali kilang-kilang eksisting agar dapat mengolah dengan maksimal.
Saat ini Pertamina memilki enam kilang yang terletak dari Sabang sampai Merauke –semuanya dikelola Pertamina- dengan kapasitas terpasang 1,05 juta barrel per hari. Sementara produksi minyak dan kondensat nasional hanya menyentuh di kisaran angka 830,000 barel per hari. Itu pun tidak semuanya milik pemerintah karena sekitar 15-20 persennya milik kontraktor. Dari bagian pemerintah, tidak semua minyak juga yang digunakan untuk kebutuhan dalam negeri akibat speknya yang tidak memungkinkan untuk diolah di kilang Pertamina. Mau tidak mau, minyak tersebut harus diekspor. Untuk menutupi kekurangannya, mau tidak mau Pertamina harus melakukan impor. Saat ini tercatat, setidaknya Pertamina mengimpor minyak mentah dan BBM masing-masing sekitar 350.000-400.000 barel per hari
Pembangunan kilang minyak terakhir di Indonesia dilakukan pada era Presiden Soeharto pada tahun 1992. Saat itu Bapak Orde baru itu meresmikan kilang Balongan dengan kapasitas 125.000 barrel hari. Setelah itu, pembangunan kilang hanya menjadi wacana.

Pertamina memang getol menggandeng investor baru untuk membangun kilangm misalnya saja NIORDC dari Iran, Kuwait Petroleum Company, Saudi Aramco, dll. Proyek pembangunan kilang dengan kapasitas 300.000 barrel per hari dengan NIORDC di Banten kandas karena masalah politik. Sementara kerjasama dengan Kuwait dan Saudi Aramco terganjal masalah insentif. Mereka berencana membangun kilang dengan kapasitas masing-masing 300.000 barel/hari di Jawa Barat dan Jawa Timur. Namun kedua perusahaan tersebut meminta insentif yang dianggap Kementrian Keuangan sangat berlebihan dan tidak bisa dilakukan. Sekarang pun Pertamina tinggal gigit jari dengan sejumlah wacananya yang tetap ingin membangun kilang baru.

Lepas dari itu semua, jika ditarik garis merahnya, amatlah jelas bahwa pembangunan kilang baru di negeri ini hanya menjadi sebuah obsesi dan mimpi belaka. Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta orang dan tingkat konsumsi BBM yang terus meningkat per tahunnya mau tidak mau harus memiliki kilang baru. Jika saja pemerintah serius melihat betapa pentingnya arti pembangunan kilang bagi kedaulatan energy Indonesia di masa mendatang, tentu segala ganjalan yang ada akan diterabas. Tapi masalahnya, apakah pemerintah serius?

Banyak kalangan yang menyatakan, gagalnya sejumlah pembangunan kilang tak lepas dari lobby-lobby mafia minyak yang sudah menjadi raja di Indonesia agar pembangunan kilang di dalam negeri digagalkan. Bagaimana tidak, melalui tangan mafia inilah impor minyak dan BBM di Indonesia dilakukan. Mereka mendapatkan rente per barel dari setiap perdagangan yang dilakukan. Jika saja Indonesia memiliki kilang baru, maka ketergantungan terhadap BBM dan minyak mentah impor akan menurun. Dengan demikian pundi-pundi uang yang akan masuk ke kantong mereka pun akan terkoreksi.

Pertamina selama ini melakukan impor melalui anak perusahaannya yang berkedudukan di Singapura, Pertamina Trading Energy Ltd (Petral). Tugas utama Petral adalah memenuhi kebutuhan minyak dan BBM Pertamina pada khususnya dan Indonesia pada umumnya. Nilai transaksi yang dijalankan Petral mencapai US$ 2 miliar per bulan untuk pengadaan minyak. Suatu angka yang sangat aduhai. Dan sudah menjadi rahasia umum bahwa Petral sering disebut sebagai sarang korupsi sejak jaman Soeharto. Nah melalui Petral ini lah mafia-mafia minyak itu ditengarai ikut mengatur laju perdagangan minyak nasional.

Tentu masih ingat dalam ingatan kita bagaimana ketika Dahlan Iskan baru menjabat Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara heboh ingin membubarkan Petral karena sering disebut sebagai sarang koruptor dan tidak dapat dikontrol karena berkantor pusat di Singapura. Keberadaan Petral, menurut Dahlan, akan memperburuk citra Pertamina.
Pertamina pun bersikeras bahwa jika Petral ditutup, negara pula lah yang akan rugi. Petral dinyatakan telah menjalan good corporate governance dalam menjalankan bisnisnya. Setelah perang urat syaraf berlangsung sekian lama, akhirnya Dahlan Iskan mengendur. Keputusannya: Petral batal dibubarkan! Dahlan kalah!

Tapi apakah kita mau terus-terusan disetir oleh para mafia minyak itu? Sudah saatnya kita bangkit. Kalau pemerintahan di bawah kendali Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sulit untuk melawannya, maka harapan kita jatuh pada kepemimpinan baru di tahun 2014. Indonesia sebagai negara berdaulat sangat membutuhkan infrastruktur energi, seperti kilang agar ketergantungan kita terhadap impor segera berakhir.

No comments:

Post a Comment