Seiring dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia dan daya beli
masyarakat yang semakin meningkat, maka konsumsi bahan bakar minyak (BBM)
diperkirakan akan naik 10 persen per tahunnya. Dengan keterbatasan produksi
minyak nasional, impor adalah satu-satunya jalan keluar untuk memenuhi
kebutuhan BBM domestik.
![]() |
| republika.com |
Baru-baru ini Badan Pusat Statistik
merilis neraca perdagangan bulan September yang membuat mata terbelalak.
Bagaimana tidak, neraca
perdagangan September 2013 mengalami defisit US$657,2 juta yang terdiri dari
defisit neraca perdagangan migas sebesar US$1,2 miliar dan nonmigas sebesar
US$496,8 juta. Secara kumulatif, neraca perdagangan Januari-September 2013
mengalami defisit sebesar US$6,26 miliar yang terdari dari surplus nonmigas
sebesar US$3,48 miliar dan defisit neraca perdagangan migas sebesar US$9,74
miliar.
Bahkan Kementerian Perdagangan
sudah memberikan peringatan bahwa tren impor migas akan berlanjut sampai akhir
tahun jika tidak ditangani dengan baik. Nah!
Tak tinggal diam, Menteri Keuangan Chatib Basri
menyatakan jalan satu-satunya untuk mengantisipasi terjadi defisit neraca perdagangan
akibat migas adalah membantu Pertamina meningkatkan kinerja seluruh kilangnya.
Misalnya dengan membuat kilang minyak baru dan juga memberdayakan kembali
kilang-kilang eksisting agar dapat mengolah dengan maksimal.
Saat ini Pertamina memilki enam kilang yang
terletak dari Sabang sampai Merauke –semuanya dikelola Pertamina- dengan
kapasitas terpasang 1,05 juta barrel per hari. Sementara produksi minyak dan
kondensat nasional hanya menyentuh di kisaran angka 830,000 barel per hari. Itu
pun tidak semuanya milik pemerintah karena sekitar 15-20 persennya milik
kontraktor. Dari bagian pemerintah, tidak semua minyak juga yang digunakan
untuk kebutuhan dalam negeri akibat speknya yang tidak memungkinkan untuk
diolah di kilang Pertamina. Mau tidak mau, minyak tersebut harus diekspor. Untuk
menutupi kekurangannya, mau tidak mau Pertamina harus melakukan impor. Saat ini
tercatat, setidaknya Pertamina mengimpor minyak mentah dan BBM masing-masing
sekitar 350.000-400.000 barel per hari
Pembangunan kilang minyak terakhir
di Indonesia dilakukan pada era Presiden Soeharto pada tahun 1992. Saat itu
Bapak Orde baru itu meresmikan kilang Balongan dengan kapasitas 125.000 barrel
hari. Setelah itu, pembangunan kilang hanya menjadi wacana.
Pertamina memang getol menggandeng
investor baru untuk membangun kilangm misalnya saja NIORDC dari Iran, Kuwait
Petroleum Company, Saudi Aramco, dll. Proyek pembangunan kilang dengan
kapasitas 300.000 barrel per hari dengan NIORDC di Banten kandas karena masalah
politik. Sementara kerjasama dengan Kuwait dan Saudi Aramco terganjal masalah
insentif. Mereka berencana membangun kilang dengan kapasitas masing-masing
300.000 barel/hari di Jawa Barat dan Jawa Timur. Namun kedua perusahaan
tersebut meminta insentif yang dianggap Kementrian Keuangan sangat berlebihan
dan tidak bisa dilakukan. Sekarang pun Pertamina tinggal gigit jari dengan
sejumlah wacananya yang tetap ingin membangun kilang baru.
Lepas dari itu semua, jika ditarik
garis merahnya, amatlah jelas bahwa pembangunan kilang baru di negeri ini hanya
menjadi sebuah obsesi dan mimpi belaka. Indonesia dengan jumlah penduduk lebih
dari 200 juta orang dan tingkat konsumsi BBM yang terus meningkat per tahunnya
mau tidak mau harus memiliki kilang baru. Jika saja pemerintah serius melihat
betapa pentingnya arti pembangunan kilang bagi kedaulatan energy Indonesia di
masa mendatang, tentu segala ganjalan yang ada akan diterabas. Tapi masalahnya,
apakah pemerintah serius?
Banyak kalangan yang menyatakan,
gagalnya sejumlah pembangunan kilang tak lepas dari lobby-lobby mafia minyak
yang sudah menjadi raja di Indonesia agar pembangunan kilang di dalam negeri
digagalkan. Bagaimana tidak, melalui tangan mafia inilah impor minyak dan BBM
di Indonesia dilakukan. Mereka mendapatkan rente per barel dari setiap
perdagangan yang dilakukan. Jika saja Indonesia memiliki kilang baru, maka
ketergantungan terhadap BBM dan minyak mentah impor akan menurun. Dengan
demikian pundi-pundi uang yang akan masuk ke kantong mereka pun akan
terkoreksi.
Pertamina selama ini melakukan
impor melalui anak perusahaannya yang berkedudukan di Singapura, Pertamina
Trading Energy Ltd (Petral). Tugas utama Petral adalah memenuhi kebutuhan
minyak dan BBM Pertamina pada khususnya dan Indonesia pada umumnya. Nilai
transaksi yang dijalankan Petral mencapai US$ 2 miliar per bulan untuk
pengadaan minyak. Suatu angka yang sangat aduhai. Dan sudah menjadi rahasia
umum bahwa Petral sering disebut sebagai sarang korupsi sejak jaman Soeharto.
Nah melalui Petral ini lah mafia-mafia minyak itu ditengarai ikut mengatur laju
perdagangan minyak nasional.
Tentu masih ingat dalam ingatan
kita bagaimana ketika Dahlan Iskan baru menjabat Menteri Negara Badan Usaha
Milik Negara heboh ingin membubarkan Petral karena sering disebut sebagai
sarang koruptor dan tidak dapat dikontrol karena berkantor pusat di Singapura.
Keberadaan Petral, menurut Dahlan, akan memperburuk citra Pertamina.
Pertamina pun bersikeras bahwa jika
Petral ditutup, negara pula lah yang akan rugi. Petral dinyatakan telah
menjalan good corporate governance dalam menjalankan bisnisnya. Setelah perang
urat syaraf berlangsung sekian lama, akhirnya Dahlan Iskan mengendur.
Keputusannya: Petral batal dibubarkan! Dahlan kalah!
Tapi apakah kita mau terus-terusan
disetir oleh para mafia minyak itu? Sudah saatnya kita bangkit. Kalau
pemerintahan di bawah kendali Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sulit untuk
melawannya, maka harapan kita jatuh pada kepemimpinan baru di tahun 2014.
Indonesia sebagai negara berdaulat sangat membutuhkan infrastruktur energi,
seperti kilang agar ketergantungan kita terhadap impor segera berakhir.



No comments:
Post a Comment