Thursday, 21 November 2013

Perlu Terobosan Teknologi Dalam Pengelolaan Lapangan Minyak Tua Indonesia

Industri minyak dan gas tidak bisa dilepaskan dari unsur teknologi. Keduanya saling berkaitan dan melengkapi. Dengan teknologi, maka produksi dan peningkatan cadangan (recovery replacement ratio) dapat dikontrol. Kehadiran teknologi semakin dibutuhkan pada pengelolaan lapangan minyak dan gas yang sudah tua. Lapangan-lapangan tersebut perlu penanganan yang tak sederhana. Tak hanya itu, pengelolaannya juga memerlukan sumber daya manusia yang tidak biasa alias dibutuhkan tenaga ahli yang benar-benar mumpuni agar eksploitasi dan produksi minyak dan gas mencapai hasil yang optimal.
Indonesia sebagai mantan anggota OPEC, memang terkenal dengan produksi minyaknya yang aduhai. Penemuan minyak di Indonesia pertama kali terjadi pada tahun 1883 oleh seorang Belanda bernama A.G Zeijlker di Pulau Sumatra. Setelah penemuan itu, berturut-turut penemuan lain juga terjadi di berbagai pulau di seantero nusantara, berkah tersendiri sebagai negara cincin api (ring of fire).
Ratusan tahun setelah penemuan minyak di Sumatera, perusahaan Perancis Total E&P Indonesie serta mitranya Inpex Corp berhasil menemukan cadangan migas di Blok Mahakam, lepas laut Kalimantan Timur. Mahakam pertama kali memproduksikan minyaknya dari Lapangan Bekapai pada tahun 1974. Disusul dengan produksi gas pada beberapa tahun setelahnya. Produksi gas Blok Mahakam mencapai puncaknya pada sekitar tahun 2000-an dengan posisi sekitar 2,6 miliar kaki kubik per hari. Namun seriring dengan laju penurunan produksi alamiah, produksi Mahakam saat ini hanya mencapai sekitar 1,7 miliar kaki kubik per hari.
Kembali ke Bekapai, lapangan tersebut berhasil mencapai puncak produksinya di level 58.000 barel per hari pada tahun 1978 dan kemudian mengalami penurunan. Total pun melakukan re-development dengan melakukan pengeboran untuk mengusahakan agar lapangan tersebut tetap dapat berproduksi.
"Tekanan dari perut bumi pada lapangan migas tua akan menurun seiring dengan usia, sehingga untuk mendapatkan hasil migas yang optimal perlu ada berbagai upaya dan terobosan dengan menggunakan teknologi serta tenaga-tenaga ahli yang berpengalaman," ujar President Director & GM Total E&P Indonesie, Elisabeth Proust.
Total menjaga performanya di Mahakam dengan menerapkan teknologi yang pas. Selain itu perusahaan tersebut juga terus melakukan pengembangan untuk menjaga produksi tidak turun drastis, seperti misalnya South Mahakam Phase 1 dan 2, Peciko Phase 7B dan Sisi Nubi. Mengingat jika tidak dilakukan apa-apa, laju penurunan produksi bisa mencapai 50-60 persen per tahun.
Penerapan teknologi seperti yang dilakukan Total di Mahakam juga perlu dilakukan di seluruh lapangan minyak di Indonesia karena usianya yang telah mencapai ratusan tahun. Tak heran Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mencanangkan tahun zero decline atau menahan laju penurunan produksi hingga ke level 0. Dan untuk itu, lagi-lagi..teknologi sangat dibutuhkan.
Bicara mengenai teknologi, maka hal ini tak akan lepas juga dari unsur finansial. Tentunya teknologi yang canggih akan membutuhkan biaya besar. Hal-hal inilah yang akan dulit untuk dipenuhi oleh perusahaan migas nasional.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa perusahaan migas local sangat memiliki berbagai keterbatasan, baik dari segi teknologi, SDM, finansial hingga jam terbang. Padahal empat unsur tersebut mutlak diperlukan dalam pengelolaan migas.
Kita lihat apa yang dilakukan Total dalam mempertahankan produksi Mahakam agar tidak terjun bebas. Perusahaan tersebut setidaknya harus mengebor ratusan sumur dalam setahun. Hingga kini terdapat 829 sumur yang aktif per September 2013. Tercatat Total juga memiliki 10 drilling rigs yang beroperasi di Mahakam.
Akankah Pertamina memiliki kemampuan serupa? Yang pasti saat ini semua orang merasa yakin perusahaan plat merah itu sanggup mengelola Mahakam pasca 2017 –ketika kontrak Total dan Inpex berakhir-. Indikatornya menurut mereka adalah kesuksesan Pertamina ketika mengambil Blok West Offshore Madura dan Offshore North West Java (ONWJ). Kedua blok lepas pantai tersebut memang menunjukkan peningkatan produksi di tangan Pertamina. Namun tentu saja, karakteristik blok tersebut sangat jauh berbeda dibandingkan dengan Mahakam. Teknologi yang diterapkan di ONWJ dan WMO tidak akan bisa dilakukan di Mahakam. Jadi jelas, secara teknologi Pertamina bisa dikatakan tertinggal dibandingkan Total.
Jangankan Mahakam, untuk menguras produksi-produksi lapangan tuanya saja Pertamina masih banyak menemukan kesulitan. Hingga kini tercatat ratusan, bahkan ribuan lapangan tua milik Pertamina yang terbengkalai karena tidak dikembangkan.
Selain itu, Total dan Inpex telah berkomitmen untuk mengalokasikan capital expenditure sebesar US$2,5 miliar per tahunnya demi mempertahankan angka produksi Mahakam. Tentunya angka tersebut tidak lah main-main, dibutuhkan komitmen yang tinggi untuk menginvestasikan angka sebesar itu. Pertanyaannya? Sanggupkah Pertamina mengalokasikan US$2,5 miliar per tahun hanya untuk Mahakam? Padahal perusahaan itu memiliki obsesi untuk menjadi the world’s energy company pada tahun 2025. Dan jika ingin mencapai target tersebut, tentunya Pertamina harus go internasional dan tidak terpaku pada urusan Mahakam saja.



No comments:

Post a Comment