Industri minyak dan gas tidak bisa dilepaskan dari unsur
teknologi. Keduanya saling berkaitan dan melengkapi. Dengan teknologi, maka
produksi dan peningkatan cadangan (recovery
replacement ratio) dapat dikontrol. Kehadiran teknologi semakin dibutuhkan
pada pengelolaan lapangan minyak dan gas yang sudah tua. Lapangan-lapangan
tersebut perlu penanganan yang tak sederhana. Tak hanya itu, pengelolaannya
juga memerlukan sumber daya manusia yang tidak biasa alias dibutuhkan tenaga
ahli yang benar-benar mumpuni agar eksploitasi dan produksi minyak dan gas
mencapai hasil yang optimal.
Indonesia sebagai mantan anggota OPEC, memang terkenal
dengan produksi minyaknya yang aduhai. Penemuan minyak di Indonesia pertama
kali terjadi pada tahun 1883 oleh seorang Belanda bernama A.G Zeijlker di Pulau
Sumatra. Setelah penemuan itu, berturut-turut penemuan lain juga terjadi di
berbagai pulau di seantero nusantara, berkah tersendiri sebagai negara cincin
api (ring of fire).
Ratusan tahun setelah penemuan minyak di Sumatera,
perusahaan Perancis Total E&P Indonesie serta mitranya Inpex Corp berhasil
menemukan cadangan migas di Blok Mahakam, lepas laut Kalimantan Timur. Mahakam
pertama kali memproduksikan minyaknya dari Lapangan Bekapai pada tahun 1974. Disusul
dengan produksi gas pada beberapa tahun setelahnya. Produksi gas Blok Mahakam
mencapai puncaknya pada sekitar tahun 2000-an dengan posisi sekitar 2,6 miliar
kaki kubik per hari. Namun seriring dengan laju penurunan produksi alamiah,
produksi Mahakam saat ini hanya mencapai sekitar 1,7 miliar kaki kubik per
hari.
Kembali ke Bekapai, lapangan tersebut berhasil mencapai
puncak produksinya di level 58.000 barel per hari pada tahun 1978 dan kemudian
mengalami penurunan. Total pun melakukan re-development dengan melakukan
pengeboran untuk mengusahakan agar lapangan tersebut tetap dapat berproduksi.
"Tekanan dari perut bumi pada lapangan migas tua akan
menurun seiring dengan usia, sehingga untuk mendapatkan hasil migas yang
optimal perlu ada berbagai upaya dan terobosan dengan menggunakan teknologi
serta tenaga-tenaga ahli yang berpengalaman," ujar President Director
& GM Total E&P Indonesie, Elisabeth Proust.
Total menjaga performanya di Mahakam dengan menerapkan
teknologi yang pas. Selain itu perusahaan tersebut juga terus melakukan
pengembangan untuk menjaga produksi tidak turun drastis, seperti misalnya South
Mahakam Phase 1 dan 2, Peciko Phase 7B dan Sisi Nubi. Mengingat jika tidak
dilakukan apa-apa, laju penurunan produksi bisa mencapai 50-60 persen per
tahun.
Penerapan teknologi seperti yang dilakukan Total di
Mahakam juga perlu dilakukan di seluruh lapangan minyak di Indonesia karena
usianya yang telah mencapai ratusan tahun. Tak heran Satuan Kerja Khusus Minyak
dan Gas Bumi (SKK Migas) mencanangkan tahun zero decline atau menahan laju
penurunan produksi hingga ke level 0. Dan untuk itu, lagi-lagi…..teknologi sangat dibutuhkan.
Bicara mengenai teknologi, maka hal ini tak akan lepas
juga dari unsur finansial. Tentunya teknologi yang canggih akan membutuhkan
biaya besar. Hal-hal inilah yang akan dulit untuk dipenuhi oleh perusahaan
migas nasional.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa perusahaan migas local
sangat memiliki berbagai keterbatasan, baik dari segi teknologi, SDM, finansial
hingga jam terbang. Padahal empat unsur tersebut mutlak diperlukan dalam
pengelolaan migas.
Kita lihat apa yang dilakukan Total dalam mempertahankan
produksi Mahakam agar tidak terjun bebas. Perusahaan tersebut setidaknya harus
mengebor ratusan sumur dalam setahun. Hingga kini terdapat 829 sumur yang aktif
per September 2013. Tercatat Total juga memiliki 10 drilling rigs yang
beroperasi di Mahakam.
Akankah Pertamina memiliki kemampuan serupa? Yang pasti
saat ini semua orang merasa yakin perusahaan plat merah itu sanggup mengelola
Mahakam pasca 2017 –ketika kontrak Total dan Inpex berakhir-. Indikatornya
menurut mereka adalah kesuksesan Pertamina ketika mengambil Blok West Offshore
Madura dan Offshore North West Java (ONWJ). Kedua blok lepas pantai tersebut
memang menunjukkan peningkatan produksi di tangan Pertamina. Namun tentu saja,
karakteristik blok tersebut sangat jauh berbeda dibandingkan dengan Mahakam.
Teknologi yang diterapkan di ONWJ dan WMO tidak akan bisa dilakukan di Mahakam.
Jadi jelas, secara teknologi Pertamina bisa dikatakan tertinggal dibandingkan
Total.
Jangankan Mahakam, untuk menguras produksi-produksi
lapangan tuanya saja Pertamina masih banyak menemukan kesulitan. Hingga kini
tercatat ratusan, bahkan ribuan lapangan tua milik Pertamina yang terbengkalai
karena tidak dikembangkan.
Selain itu, Total dan Inpex telah berkomitmen untuk
mengalokasikan capital expenditure sebesar US$2,5 miliar per tahunnya demi
mempertahankan angka produksi Mahakam. Tentunya angka tersebut tidak lah
main-main, dibutuhkan komitmen yang tinggi untuk menginvestasikan angka sebesar
itu. Pertanyaannya? Sanggupkah Pertamina mengalokasikan US$2,5 miliar per tahun
hanya untuk Mahakam? Padahal perusahaan itu memiliki obsesi untuk menjadi the
world’s energy company pada tahun 2025. Dan jika ingin mencapai target
tersebut, tentunya Pertamina harus go internasional dan tidak terpaku pada
urusan Mahakam saja.

No comments:
Post a Comment