Mampukah perusahaan nasional
mengelola Blok Mahakam pasca 2017? Pertanyaan pendek ini menggelitik banyak
pihak, baik bagi pihak yang pro-nasionalisme maupun tidak. Banyak wacana
bermunculan, namun pemerintah bergeming. Ibarat pepatah mengatakan anjing
menggong khalifah berlalu. Pemerintah seperti menahan bom waktu yang siap meledak.
Kontrak Blok Mahakam memang baru akan
habis empat tahun lagi. Bagi orang awam, empat tahun dinilai ‘masih lama’.
Namun bagi industri minyak dan gas bumi -apalagi terkait dengan kasus
perpanjangan kontrak- waktu empat tahun bukan lah waktu yang sedikit. Bahkan
waktu tersebut dianggap tidak mencukupi bagi suatu perusahaan untuk melakukan
kegiatan pengembangan hingga masuk ke masa produksi.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Republik Indonesia menilai, waktu yang ideal dalam memberikan kepastian terkait
masalah perpanjangan adalah lima tahun sebelum masa kontrak berakhir. Tempo
lima tahun dinilai cukup bagi perusahaan untuk melakukan perencanaan investasi
jangka pendek, menengah dan panjang, yang berguna bagi kegiatan produksi.
Indonesian Petroleum Association atau
Asosiasi Perminyakan Indonesia bahkan menilai masalah perpanjangan kontrak di
negara ini adalah salah satu bentuk ketidakpastian (uncertainty) yang sangat
mempengaruhi iklim investasi migas dalam negeri. Jika saja pemerintah berhasil
mengatasi masalah yang satu ini, diharapkan kendala-kendala yang dinilai
menghalangi masalah investasi akan dapat diselesaikan.
Kembali ke kasus Mahakam. Blok
tersebut saat ini dikelola oleh perusahaan asal Perancis Total E&P
Indonesie dan partnernya perusahaan asal Jepang Inpex Corp. Dengan saham
masing-masing sebesar 50 persen. Kontrak Kerja Sama Mahakam ditandatangani tahun 1967. Pada tahun 1972, ditemukan cadangan
awal minyak dan gas bumi di Blok Mahakam sebesar 1,68 miliar barel minyak dan
gas bumi yang tergabung dalam cadangan terbukti dan cadangan potensial atau
dikenal dengan istilah 2P. Dari penemuan itu maka blok tersebut mulai
diproduksikan dari lapangan Bekapai pada tahun 1974.
Tuanya Blok Mahakam menyebabkan
perawatannya membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Apalagi tingkat laju
penurunan produksi (depletion ratio) bisa mencapai 50 persen per tahun. Untuk
itulah, Total dan Inpex menganggarkan belanja modal (capital expenditure)
rata-rata $2,5 miliar per tahun. Menurut catatan Satuan Kerja Khusus Minyak dan
Gas Bumi (SKK Migas), Total dan Inpex telah
menginvestasikan setidaknya US$ 27 miliar atau sekitar Rp 250 triliun sejak
masa eksplorasi dan pengembangan. Blok Mahakam juga telah memberikan kontribusi
yang signifikan dalam penerimaan negara sebesar US$ 83 miliar atau sekitar
Rp.750 triliun.
Menurut penuturan sejumlah ahli
migas, Blok Mahakam memiliki karakateristik yang tergolong sulit. Mungkin
karena letaknya yang berada di wilayah lepas pantai (offshore) sehingga tidak
semua perusahaan mampu melakukan pengembangan blok tersebut.
Kini, setelah pengurasan selama 40
tahun, maka sisa cadangan 2P minyak saat ini turun drastis. Produksi Mahakam
yang sempat mencapai angka 2,6 miliar kaki kubik per hari kini hanya tinggal 1,7 miliar kaki kubik per hari.
Total dan Inpex menyadari betul
betapa pentingnya arti investasi dalam pengelolaan Mahakam. Sehingga timbullah
rencana investasi hingga tahun 2017 yang mencapai $7,3 miliar demi menjaga
produksi Mahakam agar tidak terjun bebas. Diperkirakan hanya tinggal 800.000
juta kaki kubik per hari jika tidak dilakukan kegiatan apapun untuk menahan
laju penurunan. Dengan demikian, ulasan-ulasan yang menilai Mahakam masih
mengandung potensi Rp 1.000 trilliun itu sangat lah tidak mendasar.
Saat ini banyak sekali skenario yang
bermunculan di masyarakat terkait kasus perpanjangan ini. Misalnya saja desakan
sejumlah pihak untuk memberikan Blok Mahakam tersebut kepada perusahaan
nasional pasca 2017. Pemerintah dianggap pro asing, sehingga hanya memberikan
keuntungan kepada investor mancanegara dan sama sekali tidak memiliki
keberpihakan kepada perusahaan nasional.
Benarkah demikian? Jawabannya tidak.
Pemerintah pastinya menilai masalah perpanjangan blok Mahakam sangat erat
kaitannya dengan upaya untuk menjamin dan memaksimalkan penerimaan negara. Jika
demikian, bisakah perusahaan nasional mengambilalih Mahakam?
Bisa tidaknya tentu hanya Tuhan yang
tahu. Tapi di atas kertas terlihat jelas bahwa Mahakam membutuhkan dana yang
besar, teknologi yang canggih dan sumber daya manusia yang mumpuni. Sudahkah
kita memilikinya?
Pertamina sejauh ini baru memiliki
pengalaman dalam pengembangan blok lepas laut di Offshore North West Java
(ONWJ). Pertamina mengambil alih saham perusahaan asal Inggris BP yang
sebelumnya menjadi operator di blok tersebut. Selain ONWJ, pengalaman Pertamina
di offshore belum ada.
Bicara mengenai finansial, perusahaan
sekelas Pertamina tentunya tidak sulit untuk mencari pinjaman untuk mengelola
Mahakam. Namun apakah Pertamina hanya terfokus pada Mahakam saja? Saat ini
banyak pekerjaan-pekerjaan rumah Pertamina yang belum terselesaikan, misalnya
Blok East Natuna yang mengandung 46 trilliun kaki kubik gas. Investasi yang
dibutuhkan untuk mengelola blok tersebut diperkirakan $30-40 miliar.
Selain itu Pertamina juga tengah
focus untuk menambah portfolionya dengan melakukan akuisisi-akusisi di sejumlah
mancanegara. Sudah pasti, dana yang dibutuhkan tidak sedikit. Dengan demikian
konsentrasi Pertamina akan terpecah jika memang diserahkan untuk mengelola
Mahakam 100 persen.
Jalan terbaiknya dalam kasus
perpanjangan Blok Mahakam adalah dengan memberikan kesempatan bagi Pertamina
untuk ikut mengelola Mahakam pasca 2017 bergandengan dengan Total dan Inpex.
Disinilah Total dapat mentrans ilmu dan teknologinya, sehingga kemampuan
Pertamina akan terasah. Namun demikian, kita tetap harus sabar menunggu
bagaimana keputusan akhir pemerintah.

No comments:
Post a Comment