Wednesday, 20 November 2013

Mengukur Kemampuan Perusahaan Nasional Dalam Mengelola Blok Mahakam

Mampukah perusahaan nasional mengelola Blok Mahakam pasca 2017? Pertanyaan pendek ini menggelitik banyak pihak, baik bagi pihak yang pro-nasionalisme maupun tidak. Banyak wacana bermunculan, namun pemerintah bergeming. Ibarat pepatah mengatakan anjing menggong khalifah berlalu. Pemerintah seperti menahan bom waktu yang siap meledak.

Kontrak Blok Mahakam memang baru akan habis empat tahun lagi. Bagi orang awam, empat tahun dinilai ‘masih lama’. Namun bagi industri minyak dan gas bumi -apalagi terkait dengan kasus perpanjangan kontrak- waktu empat tahun bukan lah waktu yang sedikit. Bahkan waktu tersebut dianggap tidak mencukupi bagi suatu perusahaan untuk melakukan kegiatan pengembangan hingga masuk ke masa produksi.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia menilai, waktu yang ideal dalam memberikan kepastian terkait masalah perpanjangan adalah lima tahun sebelum masa kontrak berakhir. Tempo lima tahun dinilai cukup bagi perusahaan untuk melakukan perencanaan investasi jangka pendek, menengah dan panjang, yang berguna bagi kegiatan produksi.

Indonesian Petroleum Association atau Asosiasi Perminyakan Indonesia bahkan menilai masalah perpanjangan kontrak di negara ini adalah salah satu bentuk ketidakpastian (uncertainty) yang sangat mempengaruhi iklim investasi migas dalam negeri. Jika saja pemerintah berhasil mengatasi masalah yang satu ini, diharapkan kendala-kendala yang dinilai menghalangi masalah investasi akan dapat diselesaikan.

Kembali ke kasus Mahakam. Blok tersebut saat ini dikelola oleh perusahaan asal Perancis Total E&P Indonesie dan partnernya perusahaan asal Jepang Inpex Corp. Dengan saham masing-masing sebesar 50 persen. Kontrak Kerja Sama Mahakam ditandatangani tahun 1967. Pada tahun 1972, ditemukan cadangan awal minyak dan gas bumi di Blok Mahakam sebesar 1,68 miliar barel minyak dan gas bumi yang tergabung dalam cadangan terbukti dan cadangan potensial atau dikenal dengan istilah 2P. Dari penemuan itu maka blok tersebut mulai diproduksikan dari lapangan Bekapai pada tahun 1974.

Tuanya Blok Mahakam menyebabkan perawatannya membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Apalagi tingkat laju penurunan produksi (depletion ratio) bisa mencapai 50 persen per tahun. Untuk itulah, Total dan Inpex menganggarkan belanja modal (capital expenditure) rata-rata $2,5 miliar per tahun. Menurut catatan Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Total dan Inpex telah menginvestasikan setidaknya US$ 27 miliar atau sekitar Rp 250 triliun sejak masa eksplorasi dan pengembangan. Blok Mahakam juga telah memberikan kontribusi yang signifikan dalam penerimaan negara sebesar US$ 83 miliar atau sekitar Rp.750 triliun.

Menurut penuturan sejumlah ahli migas, Blok Mahakam memiliki karakateristik yang tergolong sulit. Mungkin karena letaknya yang berada di wilayah lepas pantai (offshore) sehingga tidak semua perusahaan mampu melakukan pengembangan blok tersebut.

Kini, setelah pengurasan selama 40 tahun, maka sisa cadangan 2P minyak saat ini turun drastis. Produksi Mahakam yang sempat mencapai angka 2,6 miliar kaki kubik per hari kini hanya tinggal 1,7 miliar kaki kubik per hari.

Total dan Inpex menyadari betul betapa pentingnya arti investasi dalam pengelolaan Mahakam. Sehingga timbullah rencana investasi hingga tahun 2017 yang mencapai $7,3 miliar demi menjaga produksi Mahakam agar tidak terjun bebas. Diperkirakan hanya tinggal 800.000 juta kaki kubik per hari jika tidak dilakukan kegiatan apapun untuk menahan laju penurunan. Dengan demikian, ulasan-ulasan yang menilai Mahakam masih mengandung potensi Rp 1.000 trilliun itu sangat lah tidak mendasar.

Saat ini banyak sekali skenario yang bermunculan di masyarakat terkait kasus perpanjangan ini. Misalnya saja desakan sejumlah pihak untuk memberikan Blok Mahakam tersebut kepada perusahaan nasional pasca 2017. Pemerintah dianggap pro asing, sehingga hanya memberikan keuntungan kepada investor mancanegara dan sama sekali tidak memiliki keberpihakan kepada perusahaan nasional.

Benarkah demikian? Jawabannya tidak. Pemerintah pastinya menilai masalah perpanjangan blok Mahakam sangat erat kaitannya dengan upaya untuk menjamin dan memaksimalkan penerimaan negara. Jika demikian, bisakah perusahaan nasional mengambilalih Mahakam?

Bisa tidaknya tentu hanya Tuhan yang tahu. Tapi di atas kertas terlihat jelas bahwa Mahakam membutuhkan dana yang besar, teknologi yang canggih dan sumber daya manusia yang mumpuni. Sudahkah kita memilikinya?

Pertamina sejauh ini baru memiliki pengalaman dalam pengembangan blok lepas laut di Offshore North West Java (ONWJ). Pertamina mengambil alih saham perusahaan asal Inggris BP yang sebelumnya menjadi operator di blok tersebut. Selain ONWJ, pengalaman Pertamina di offshore belum ada.

Bicara mengenai finansial, perusahaan sekelas Pertamina tentunya tidak sulit untuk mencari pinjaman untuk mengelola Mahakam. Namun apakah Pertamina hanya terfokus pada Mahakam saja? Saat ini banyak pekerjaan-pekerjaan rumah Pertamina yang belum terselesaikan, misalnya Blok East Natuna yang mengandung 46 trilliun kaki kubik gas. Investasi yang dibutuhkan untuk mengelola blok tersebut diperkirakan $30-40 miliar.

Selain itu Pertamina juga tengah focus untuk menambah portfolionya dengan melakukan akuisisi-akusisi di sejumlah mancanegara. Sudah pasti, dana yang dibutuhkan tidak sedikit. Dengan demikian konsentrasi Pertamina akan terpecah jika memang diserahkan untuk mengelola Mahakam 100 persen.


Jalan terbaiknya dalam kasus perpanjangan Blok Mahakam adalah dengan memberikan kesempatan bagi Pertamina untuk ikut mengelola Mahakam pasca 2017 bergandengan dengan Total dan Inpex. Disinilah Total dapat mentrans ilmu dan teknologinya, sehingga kemampuan Pertamina akan terasah. Namun demikian, kita tetap harus sabar menunggu bagaimana keputusan akhir pemerintah.

No comments:

Post a Comment